Razia PSK (Pekerja Seks Komersial) pada tahun 1936 merupakan pertama kalinya terjadi di Hindia Belanda. Titik razia PSK bermula di Batavia atau pusat ibukota Indonesia saat ini yaitu Jakarta.
Pada zaman itu PSK banyak berkeliaran di jalan-jalan elit Jakarta, salah satunya di jalan Menteng –tempat orang-orang elit Eropa bermukim di Batavia. Daerah tersebut seolah jadi pusat nongkrong para PSK, lebih tepatnya wilayah mangkal mencari pelanggan si hidung belang.
Namun sebagian pendapat mempercayai keberadaan PSK di Menteng bertujuan untuk memperoleh pelanggan yang lebih berduit. Mereka menyasar lelaki-lelaki Eropa tetapi ada juga orang Tionghoa dan elit pribumi.
Seiring berjalannya waktu, pelanggan PSK di daerah Menteng terus berdatangan. Akibatnya jumlah PSK terus meningkat, hal ini menyebabkan resiko tertular penyakit kelamin semakin tinggi.
Baca Juga: Nu Bisa Basa Walanda Sok Hese Sakarat, Doktrin Kiai Cicalengka Usir Kolonial
Sebagian penduduk Menteng mengkhawatirkan penularan penyakit seksual akan terus menyebar hingga mengakibatkan kekacauan sosial. Oleh sebab itu mereka mengadu pada pemerintah kolonial agar masalah ini segera teratasi. Maka dari itu pemerintah kolonial mengadakan razia PSK.
Sejarah Razia PSK di Batavia, Berawal dari 13 Perempuan Nakal
Menurut surat kabar Kengpo yang terbit pada tanggal 6 Juni 1936 bertajuk, “Boeat Djaga Kesopanan”, sejarah razia PSK di Batavia berawal dari adanya 13 perempuan nakal yang berkeliaran tengah malam di daerah Menteng.
Mereka adalah pekerja seks komersial yang berasal dari luar Batavia. Datang ke pusat kota kolonial untuk mengadu nasib –mencari sesuap nasi dengan menjual diri sendiri.
Memang ini miris tetapi lama kelamaan para wanita ini memicu tumbuhnya penyakit kelamin yang berbahaya.
Akibatnya salah seorang yang mewakili penduduk Menteng melaporkan keresahannya terhadap PSK. Hal ini membuat pemerintah kolonial bergerak. Mereka mengerahkan veldpolitie untuk menangkapi wanita-wanita nakal itu di berbagai sudut daerah Menteng.
Para wanita tersebut pun ditangkap. Jumlahnya ada 13, mereka meringkuk dalam mobil truk dan tertunduk seperti bersedih menahan malu. Rata-rata umur para wanita itu masih muda, bahkan ada yang masih berusia 14 tahun.
Sebagian PSK yang lebih senior menjalani profesi ini menawarkan diri secara bebas pada petugas razia. Namun jika mereka tertarik si perempuan itu minta dibebaskan dari jeratan razia. Bagi petugas yang hasratnya tak tertahan, tawar menawar ini diladeni.
Oleh sebab itu ketika kasus ini terbongkar, pemerintah kolonial memperketat petugas zenden politie supaya lebih berintegritas dan profesional saat menjalankan misinya.
Baca Juga: Tetamoe Malem di Surabaya, Kisah Maling Tak Kasat Mata Tahun 1920-an
Pemerintah Kolonial Membuat Kebijakan “Djaga Kesopanan”
Menurut surat kabar Kengpo (1936) pemerintah kolonial telah meregulasi ulang kebijakan mengenai razia PSK di Batavia dengan membentuk slogan Djaga Kesopanan.
Slogan itu terpasang di berbagai tempat yang rawan jadi area mangkal PSK. Selain dipasangi slogan biasanya petugas Zenden Politie akan berjaga-jaga di sekitar tempat tersebut. Mereka tak segan menangkapi para PSK yang masih bandel –menjajakan diri di tengah keramaian kota Batavia.
Peristiwa ini sebagaimana tergambar dalam kutipan surat kabar Kengpo (1936) berikut di bawah ini:
“Perempoewan moendar-mandir djalan pada waktoe tengah malem dengan maksoed dagangken diri, maka akan ditangkap Zenden Politie”
Para petugas razia PSK selalu berpatroli setiap tengah malam. Mereka mencari wanita-wanita yang masih mencoba ulang mangkal di sepi dinginnya malam kota Batavia. Tak jarang para petugas mengejar PSK sampai ke daerah tempat mereka berasal.
Konon slogan dan kebijakan Djaga Kesopanan merupakan bagian dari aturan penting pemerintah kolonial di Batavia. Sebab pemerintah menaruh harapan optimis pada para petugas yang merazia PSK agar bisa menekan jumlah penyakit kelamin yang berbahaya.
Penduduk Menteng Resah PSK Berkeliaran
Masyarakat Menteng resah dengan adanya PSK bandel yang tetap berkeliaran di daerah tersebut. Para PSK di Batavia ini pintar, supaya tidak terjaring razia Zenden Politie mereka mengubah jam mangkal menjadi lebih awal dari sebelumnya.
Pemandangan PSK yang seksi membuat risih penduduk Menteng saat itu. Apalagi mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak remaja. Tentu risiko tinggi menjaga hasrat agar tidak terjebak pada rayuan si perempuan nakal itu begitu sulit.
Baca Juga: Penangkapan Si Pitung Tahun 1893, Jawara Betawi Kontroversial
Akibat keadaan yang berisiko inilah para penduduk Menteng melapor kembali kepada pemerintah kolonial bahwa para PSK masih tetap bandel. Mereka menjajakan diri dengan mengubah jam mangkal.
Masyarakat Menteng begitu terganggu, situasi ini sebagaimana tergambar dari kutipan suratkabar Kengpo (1936) sebagai berikut: “ini penangkapan pada prampoewan djalang jalan atas pemintahan dari pendodoek di itu bilangan (Menteng) jang berasa dapet ganggoean”.
Dari sejak itulah Menteng terkenal pada zaman kolonial sebagai pusat berkeliarannya PSK. Mereka selalu nongkrong di jalan-jalan Menteng untuk mendapat pelanggan yang berduit. Paling tidak bisa mendapat lelaki Eropa, Tionghoa, atau pribumi tuan tanah. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)