Pada tanggal 28 Januari 1963 Kantor Berita Nasional ANTARA mewartakan telah terjadi pemerasan yang disertai pembunuhan oleh mantan Lurah Singaparna di Kabupaten Tasikmalaya. Kasus tersebut kemudian dikenal dengan peristiwa Linggasirna Tasikmalaya.
Korbannya berasal dari ragam kelas sosial, yang pasti mereka adalah golongan sosial elit daerah yang berprofesi sebagai tuan tanah, petani kaya, dan pedagang.
Menurut keterangan dari keluarga yang ditinggalkan, pemerasan itu berbentuk permintaan harta kekayaan berupa uang secara paksa.
Baca Juga: Sejarah Perumusan Naskah Proklamasi, Diketik ketika Sahur dan Dibacakan saat Puasa
Pemaksaan tersebut disertai intimidasi yang tak main-main. Beberapa korban pembunuhan adalah orang-orang Singaparna yang menolak pemerasan.
Konon mantan Lurah Singaparna mempekerjakan orang-orang pentolan DI/TII anak buah Kartosuwiryo pada saat pemerasan itu terjadi.
Kurang lebih ada 6 orang anak buah Kartosuwiryo yang turun gunung keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka ikut bekerja dengan Lurah Singaparna bernama Otong untuk melakukan pemerasan ke setiap kampung berisi elit-elit lokal.
Atas kejadian ini warga Singaparna melapor pada pihak yang berwenang. Mereka mengadu telah diresahkan oleh oknum lurah yang sewenang-wenang telah merampas harta kekayaan.
Apalagi beberapa kali dari warga ada yang terbunuh oleh peluru anak buahnya akibat menolak permintaan paksa dari lurah tersebut.
Lurah Otong Cikal Bakal Peristiwa Linggasirna di Tasikmalaya Tahun 1963
Menurut surat kabar Bintang Timur yang terbit pada tanggal 23 Januari 1963 bertajuk, “Seorang Lurah jang Harus Dikutuk”, lurah Singaparna bernama Otong merupakan aktor utama dibalik terjadinya pemerasan yang disertai pembunuhan di kampung Linggasirna, Singaparna, Tasikmalaya.
Adapun peristiwa pemerasan ini terjadi sebelum tahun 1960-an, saat itu lurah Singaparna bernama Otong masih aktif menjabat. Karena sikap serakah sang lurah, lahirlah ide licik untuk memperkaya diri dengan cara memeras.
Baca Juga: Kisah di Balik Pembebasan Irian Barat 1963, Ada Kekecewaan RPKAD
Tak hanya itu lurah Otong juga mempekerjakan kenalan lamanya mantan gerombolan DI/TII sebanyak 6 orang.
Mereka bekerja pada lurah Otong sebagai orang yang memaksa (pemeras) warga Singaparna untuk menyerahkan sebagian hartanya pada si lurah.
Anak buat lurah Otong tersebut membawa senjata api, wajahnya seperti kombatan, mereka tak segan-segan menembak siapapun apabila permintaannya ditolak warga.
Selain memaksa warga Linggasirna di Singaparna, anak buah lurah Otong kerap meneror beberapa warga kampung lainnya. Mereka mengintimidasi masyarakat di luar Singaparna bagaikan perampok yang siap menikam dalam kondisi apapun.
Khususnya warga Singaparna tak nyaman dengan tindakan lurah Otong yang sewenang-wenang. Mereka mengadu pada aparat berwenang bersama para warga lain yang jadi korban gerombolan tersebut.
Para warga menuntut agar keamanan di Singaparna diperketat supaya peristiwa Linggasirna tak terulang kembali.
Komplotan Lurah Otong Tertangkap Militer
Pasukan militer Angkatan Darat berhasil menangkap komplotan bersenjata terduga anak buah lurah Otong di Singaparna.
Angkatan Darat mengaku telah mengincar 6 orang pentolan DI/TII anak buah Kartosuwiryo yang lolos dari operasi pagar betis di kaki gunung Galunggung pada tahun 1950.
Tentara Angkatan Darat baru berhasil menangkap 6 orang pentolan DI/TII ini pada Januari 1963, para tersangka kemudian mendekam di penjara Tasikmalaya.
Mereka menunggu putusan hakim dan menjadi tahanan kejaksaan sampai waktu yang belum ditentukan.
Ketika 6 pentolan DI/TII ini tertangkap posisi lurah Otong masih aman. Ia bebas berkeliaran kemana-mana seolah tak terjadi apa-apa.
Ketika 6 tersangka dihadapkan ke meja persidangan, mereka semua membuka mulut dan meminta agar jaksa memidanakan juga lurah Singaparna bernama Otong.
Mereka menyebut lurah Otong lah yang menjadi kepala di balik terjadinya peristiwa Linggasirna. Ia adalah orang pertama yang memiliki ide pemerasan warga bahkan dengan cara kekerasan termasuk mendorongnya agar membunuh siapapun yang menolak saat dimintai uang dengan cara memaksa.
Akibat ini terungkap polisi setempat menangkap lurah Otong yang sedang bersantai di teras rumah sambil membaca koran dan meminum teh. Sebelumnya tak ada yang berani menyangka bahwa lurah Otong pelaku utama dibalik pemerasan. Entah apa alasannya sampai pada waktu persidangan pun masih belum diketahui.
Baca Juga: Sejarah Partai Murba, Perkumpulan Penganut Politik Radikal di Indonesia
Mencurigai Lurah Otong Mempunyai Kekuasaan yang Kuat
Sebelum lurah Otong terbawa masuk penjara bersama 6 komplotan bersenjata di Singaparna, warga sekitar Linggasirna bertanya-tanya mengapa mantan lurahnya itu tidak ikut menjadi tersangka juga.
Padahal secara jelas mereka melihat lurah Otong ikut terlibat dalam pemerasan yang disertai pembunuhan di kampung Linggasirna.
Kekebalan lurah Otong terhadap hukum yang saat itu berlaku membuat warga curiga jika dirinya punya otoritas (kekuasaan) yang kuat lebih dari sekadar jadi seorang lurah.
Kendati begitu desas-desus ini tak terbukti, sebab lurah Otong tertangkap polisi setelah 6 pentolan DI/TII menuntut agar aparat berwenang juga menangkap mantan lurah Linggasirna, Singaparna, di Kabupaten Tasikmalaya.
Atas peristiwa Linggasirna masyarakat se-Singaparna Tasikmalaya mengalami trauma yang mendalam. Hal ini tercermin dari pernyataan surat kabar Bintang Timur (1963) yang meliput kejadian sebagaimana berikut di bawah ini:
“Masjarakat Singaparna juga dg djelas melihat bagaiman kedjahatan melampaui batas-batas peri –kemanusiaan jg telah dilakukan oleh bekas lurah Singaparna. Peristiwa ini mengakibatkan psikis warga Linggasirna terganggu dan mengalami banjak trauma jg mendalam”.
Supaya tidak terulang lagi peristiwa kelam semacam ini, warga Linggasirna meminta bantuan aparat mengawasi wilayahnya. Paling tidak satuan aparat setempat membangun pos pengamanan supaya segala kejahatan bisa terbendung. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)