“Lebih baik mati syahid daripada diperbudak kembali Belanda” adalah potongan slogan Ulama di Kebumen, Jawa Tengah dalam mengobarkan revolusi kemerdekaan. Slogan tersebut dipekikkan di depan ribuan umat Islam yang hendak pergi perang mengusir Belanda.
Slogan ini berhasil mengajak seluruh umat Islam dari berbagai daerah di Kebumen pergi melawan Belanda di medan tempur. Mereka membekali diri dengan senjata seadanya, ada golok, celurit, senapan, dan bambu runcing. Semua semangat mengobarkan perang sabil.
Dari peristiwa ini kita semakin paham bahwa Ulama memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka menggerakan massa dan mengobarkan semangat jihad memerangi kaum kafir –Tentara Belanda.
Tidak hanya umat Islam yang terpengaruh oleh perang sabil, akan tetapi pekikan semangat para Ulama di Kebumen berhasil menyokong semangat perjuangan orang-orang desa abangan –tidak beragama pergi perang bersama orang Islam melawan Belanda.
Pengaruh Ulama Kebumen dalam perjuangan revolusi menyumbang pasukan ke beberapa wilayah perang yang ada di Jawa. Antara lain di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Para jihadis Kebumen menyebar memberikan bantuan pasukan perang mengusir kaum kafir.
Baca Juga: Pajak Zaman Kolonial Belanda, Penyebab Lahirnya Perbanditan
Kemunculan Fatwa Ulama Kebumen “Berani Mati Syahid” Zaman Revolusi Kemerdekaan
Menurut surat kabar Kedaulatan Rakyat yang terbit pada 6 Desember 1945 bertajuk, “Lebih Baik Mati Syahid daripada Diperboedak Kembali” kemunculan fatwa “berani mati syahid” mengusir Belanda di Kebumen pertama kali dicetuskan oleh Hadji Mahfoed Abd. Rochman Somolangoe.
Fatwa ini muncul pada saat H. Mahfoed Abd. Rochma Somolangoe menggelar vergadering (pertemuan publik) yang dihadiri oleh 12.000 umat Islam. Pertemuan antara H. Mahfoed dengan pengikutnya terjadi pada tanggal 5 Desember 1945 di alun-alun Kutowinangun –perbatasan Kebumen dan Purworedjo, Jawa Tengah.
Dengan semangat berapi-api H. Mahfoed membawakan pidato tentang perang sabil. Ia juga menyebut perang sabil merupakan bagian dari gerakan jihadis yang hukumnya wajib apabila keadaan negara sedang genting dikuasai oleh bangsa lain.
Maka dari itu H. Mahfoed yang merupakan seorang Ulama berpengaruh di Kebumen mengeluarkan fatwa bahwa “berani mati syahid” adalah solusi paling tepat menyelesaikan persoalan konflik antara Belanda-Indonesia. Semua harus bergerak mendukung keadilan.
Selain mengeluarkan fatwa tersebut, H. Mahfoed dalam pertemuan itu turut menyusun strategi perang yang akan kaum jihadis pakai. Salah satunya yaitu dengan cara mengepung tentara Belanda di hutan menggunakan taktik gerilya. Sebelumnya militer republik mengajarkan mereka menggunakan taktik tersebut.
Baca Juga: Kekejaman Tentara NICA di Banten, Melanggar Batas Kemanusiaan
Pasukan Berani Mati Syahid tak Mengampuni Penghianat Perang
Sebelum pertemuan akbar ditutup, H. Mahfoed mengatakan tak akan memberi tempat dan ampun pada para penghianat perang. Ia menekankan penghianatan adalah kebusukan manusia yang tak bisa ditolerir, sebab penghianatan adalah musuh yang paling kuat dan bisa menenggelamkan rakyat pada kekalahan.
Lalu siapa sajakah yang dimaksud H. Mahfoed sebagai penghianat? Para penghianat yang dimaksud H. Mahfoed adalah mereka yang bekerja pada Belanda dan membocorkan rahasia-rahasia perjuangan revolusi (pembelot).
Sebagaimana semangat memerangi penghianat, ucapan tak memberi ampun pada mereka terekam melalui kutipan dari berita Kedaulatan Rakyat (1945) sebagai berikut:
“Dan terhadap siapapoen djuga jang terang membantu moesoeh-moesoeh kita, tidak akan kita beri ampoen lagi. Mereka haroes teroesir semoeanja dari Indonesia bersama-sama moesoeh, djika tidak akan habislah riwajatnja” –H. Mahfoed Abd. Rachman Somolangoe.
Sedangkan beberapa pengamat sejarah lokal di Kebumen menilai reaksi ini sebagai pernyataan sekaligus tekanan dari umat Islam agar seluruh pejuang bekerja serius. Tidak membelot pada kelompok musuh dan mengadu-domba sesama pejuang agar mereka menemui kekalahan.
Selain itu, pernyataan ini juga termasuk jadi tekanan dan sindiran pada elit-elit lokal yang dekat dengan Belanda. Mereka juga pro dengan Belanda dan ingin mantan penjajah bangsa itu kembali berkuasa. Kelompok ini merupakan salah satu golongan yang umat Islam benci saat itu.
Baca Juga: Sejarah Perlawanan Umat Islam Ciamis terhadap Belanda, Menginspirasi Bandung Lautan Api
Menggelar Doa Bersama Sebelum Terjun ke Medan Tempur
Penutupan vergadering H. Mahfoed memimpin doa bersama. Ia bertakbir dan memberikan doa untuk seluruh peserta yang jumlahnya ribuan telah hadir agar selamat ketika berada di medan tempur.
H. Mahfoed mendoakan kesatuan dan persatuan bangsa selamat, bisa menciptakan sejarah dan memenangkan kemerdekaan. Belanda terusir dan seluruh bangsa di Indonesia bisa membangun negara sendiri sesuai dengan suara rakyat.
Nuansa khidmat saat berdoa di penutupan acara ini begitu kuat. Apalagi saat beberapa orang di sana berdoa sambil meneteskan air mata. Penuh rasa sedih dan haru, yang jelas nuansa ini jadi penyemangat mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Seluruh umat Islam dan rakyat di Kebumen yang hadir dalam vergadering H. Mahfoed Somolangoe berjanji, mereka siap mati syahid membela kedaulatan NKRI. Kendati harus robek jasadnya asal Belanda sama kalahnya tak menjadi penghalang bagi mereka untuk kehilangan nyawa.
Setelah doa bersama selesai, seluruh rakyat Kebumen membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan mempersiapkan alat tempur.
Ada yang membawa golok, celurit, pedang, dan bambu runcing serta ada juga mengemas perbekalan untuk pergi bergerilya ke hutan-hutan di Jawa untuk merealisasikan kemenangan melawan Belanda. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)