Penghapusan becak kayuh tahun 1950 sempat diwarnai kericuhan. Kementerian PTPU (sekarang Kementerian Perhubungan) awalnya bermaksud untuk menghapuskan becak sebagai moda transportasi umum di jalanan Jakarta.
Pemerintah akan menggantinya dengan pengadaan becak motor yang datang langsung dari Italia (Kemungkinan besar Bajaj). Akan tetapi wacana ini diwarnai oleh kericuhan sejumlah tukang becak yang tidak setuju.
Mereka menggelar unjuk rasa di beberapa titik jalanan Jakarta, menuntut pemerintah –Kementerian PTPU agar enggan merealisasikan wacana penghapusan becak di Ibu Kota.
Becak kayuh merupakan alat transportasi populer sejak tahun 1936, para pemiliknya sudah nyaman dengan tunggangan tersebut.
Tukang becak kayuh tidak ingin meninggalkan kendaraan tua itu, kendati pemerintah akan menggantinya dengan becak motor (bajaj) tetap saja memicu meluasnya aksi demonstrasi.
Baca Juga: Konflik Soemitro dan Ali Moertopo, Dua Jenderal yang Saling Sikut
Menghadapi hal ini pemerintah tak gentar, Kementerian PTPU memberhentikan izin operasional 10.000 becak kayuh di Jakarta. Mereka mengganti biaya kerugian tukang becak kayuh dengan mengganti becak motor, sesuai janji sebelumnya.
Namun demo tukang becak terus terjadi hingga ke daerah pinggiran Jakarta. Lantas bagaimana akhir kericuhan yang mewarnai penolakan penghapusan izin membecak di Jakarta? Berikut ulasannya.
Wacana Penghapusan Becak Kayuh, PTPU Menjanjikan Ganti Rugi 100.000 Becak Motor
Menurut koran Nusantara: Warta Harian Merdeka pada Senin, 1 September 1950 bertajuk, “Betja Biasa Akan Lenjap? Presiden Demonstrasi dengan Betja Bermotor”, PTPU telah menjanjikan ganti rugi 100.000 becak motor untuk para tukang becak kayuh yang bersedia mengganti wahana bisnisnya pada sejak bulan September 1950.
Menteri PTPU juga menjanjikan bantuan uang secukupnya bagi para tukang becak kayuh yang bersedia menggunakan becak motor untuk mencari pundi-pundi rupiah di Jakarta.
Hal ini Menteri PTPU lakukan karena minat para tukang becak kayuh pada tahun 1950-an begitu sukar meninggalkan kendaraan manual tersebut.
Maka dari itu Kementerian PTPU hanya mengimport becak motor dari Italia termin pertama sejumlah 30.000 unit, jauh janji yang telah mereka layangkan pada para tukang becak kayuh -100.000 unit.
Kabar penolakan ini kemudian terdengar oleh Sukarno. Awalnya Kementerian PTPU bersama sang Presiden saling bekerjasama dengan menggunakan Sukarno menjajal becak motor import dari Italia tersebut. Sukarno pun mencobanya mengelilingi Istana.
Sebelum momentum itu terjadi media sudah siap dengan lensa dan pena tajamnya untuk memuat peristiwa menarik berbau iklan tersebut. Namun tetap saja tukang becak kayuh tak tertarik, mereka sudah tahu bahwa Sukarno hanya mempermainkannya saja.
Baca Juga: Pemberantasan Buta Huruf 1962 dan Kisah Sukarno Sindir Wartawan Asing
Puncaknya Sukarno pun memanggil Kementerian PTPU ke Istana. Bung besar pemimpin revolusi Indonesia itu menyampaikan agar tidak memaksakan kehendaknya, lagi pula tukang becak kayuh lebih bekerja secara natural ketimbang memakai becak mesin menambah-nambah jumlah polusi.
Memberi Sosialisasi Pemakaian Becak Motor
Kendati sudah dipanggil ke Istana dan diimbau tidak memaksakan kehendak oleh Sukarno, Kementerian PTPU tetap optimis dengan keberhasilan program penghapusan becak kayuh di Jakarta.
Mereka percaya bahwa penolakan tukang becak kayuh itu berasal dari ketidaktahuan dan ketertinggalan menggunakan teknologi modern.
Maka dari itu Kementerian PTPU memberikan sosialisasi pemakaian becak motor secara cuma-cuma alias gratis.
Tak disangka banyak tukang becak kayuh yang mau ikut pelatihan menggunakan becak motor. Peristiwa ini membuat mata tukang becak kayuh lainnya tertarik.
Awalnya hanya puluhan yang mendaftar sosialisasi pemakaian becak motor pada awal tahun 1951-an terdapat ratusan tukang becak kayuh yang penasaran ingin menjajal becak motor buatan Italia itu.
Mereka mulai tertarik menggunakan becak motor, akibatnya perlahan-lahan kebijakan penggantian becak kayuh ke motor mendapatkan hasil yang lumayan.
Peristiwa di atas sebagaimana tergambar dalam kutipan surat kabar Nusantara: Warta Berita Merdeka (1950) berikut ini:
“Bagi kalangan buruh betja hal ini berarti suatu keringanan bagi pemakaian tenaganja. Tambahan penghasilannja, dan peninggian drajadnja sebagai buruh manusia tetapi juga permintaan sjarat-sjarat jang baru seperti sjarat-sjarat Rijbewijs pengetahuan tekhnik motor betja. Tetapi Kementerian PTPU pertjaja bahwa mereka akan mengatasi sjarat-sjarat ini dengan segala senang hati”.
Baca Juga: Sejarah Musik Keroncong di Indonesia, Instrumen Tradisional Bangsa Moor
Kementerian PTPU Meringankan Kerja Buruh
Wacana penghapusan becak kayuh dan menggantikannya dengan becak motor bertujuan untuk meringankan beban kerja buruh. Kementerian PTPU ingin memperbaiki harkat dan martabat buruh jasa di negeri yang baru 5 tahun merdeka.
Hal ini sebagaimana kutipan Kementerian PTPU berikut ini: “Sesungguhnya betja jang ada sekarang merupakan penghasilan bagi suatu lapisan buruh Indonesia. Tetapi dalam pengalamannja kita beberapa tahun memakai betja makin terasa negatif jang merupakan keraguan bagi buruh kita chususnja –masjarakat kita umumnja.
Oleh sebab itu program penghapusan becak bukan berarti menjatuhkan profesi buruh jasa, melainkan memperbaiki dan meningkatkan penghargaan orang lain terhadap sebuah profesi jasa itu sendiri.
Lambat laun sosialisasi Kementerian PTPU tersebut diterima oleh para tukang becak kayuh. Apalagi pada saat itu pajak becak kayuh ditingkatkan dari yang semula hanya 3% menjadi 25%.
Pajak itu sengaja diterbitkan untuk ‘menghapus’ becak kayuh di jalanan Jakarta. Pajak becak kayuh yang melampau tinggi juga bertujuan untuk menghapuskan sistem kapitalisasi transportasi umum sewaan. Sebab pada saat itu banyak pengepul becak yang menindas buruh jasa. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)