Saat presiden Sukarno menghadiri acara pemberantasan buta huruf tahun 1962 di Jakarta, tiba-tiba ia didatangi oleh wartawan asing untuk mewawancarainya. Sang wartawan menanyakan apa bangganya Sukarno bisa membuat bangsa Indonesia terbebas dari buta huruf, bagi bangsa Barat itu hal biasa sebab mereka punya rakyat melek huruf.
Tentu pertanyaan yang berakhir cemoohan wartawan itu membuat telinga Sukarno sedikit panas. Ia tahu kalau pertanyaan itu adalah the dark question of journalistic Barat untuk menjatuhkan jati diri bangsa Indonesia.
Kendati begitu Sukarno tak terbawa emosi, ia menjawab pertanyaan itu dengan rendah hati. Sukarno menunggu waktu yang tepat untuk membalas pernyataan diskredit sang wartawan –saat naik ke atas podium untuk berpidato pada ribuan bangsa Indonesia.
Wartawan asing itu tiba-tiba menghilang. Entah kemana ia pergi, mendadak lepas pantauan Sukarno yang sukses membenamkan perbandingan gelap antara bangsa Indonesia dengan bangsa Barat lainnya yang ada di dunia.
Baca Juga: Allen Dulles, Agen CIA Pemicu Kerusuhan G30S Tahun 1965
Mungkin wartawan itu malu maka darinya ia memilih pergi diam-diam dari kumpulan massa yang berhimpit-himpit. Lantas apa pernyataan yang dilemparkan Sukarno untuk membalas jebakan pertanyaan wartawan tersebut? Berikut ulasannya.
Tiga Kebanggaan Sukarno, Salah Satunya Pemberantasan Buta Huruf 1962
Kendati tertinggal dengan bangsa Barat, bagi Sukarno keberhasilan memberantas buta huruf pada tahun 1962 di Jakarta merupakan pencapaian yang membanggakan.
Sukarno menghargai proses kemajuan bangsa dari yang awalnya sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Tentu salah satu faktor penyebab buta huruf itu sendiri merupakan produk Barat yang menjajah Indonesia.
Selain itu Sukarno juga menyindir wartawan asing yang mendiskreditkan kemampuan literasi bangsa Indonesia tahun 1962 dengan mengatakan we are success survive for life in the new world. Meskipun sebelumnya harus diterjang pembodohan bangsa asing; Barat karena sistem imperialisme-kolonialisme.
Sukarno juga menambahkan pernyataannya dalam bahasa Inggris untuk menyindir si wartawan asing dari atas podium. “but not only that is our greatest achievement” –ada pencapaian lainnya (selain bisa survive memberantas buta huruf) yang tanpa disadari telah mengubah kehidupan bangsa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Baca Juga: Mengenal Ajaran Sukarnoisme, Ideologi Anti Imperialis dan Kolonialisme
Intinya Sukarno ingin mempublikasikan pada dunia bahwa kontur sosial negaranya istimewa. Meskipun mereka hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan yang ketat, tapi bangsa Indonesia bisa hidup sampai ke zaman sekarang: paling tidak sampai awal tahun 1962-an.
Mereka bisa mengejar ketertinggalan bangsa Barat. Etos kerja dan kemampuan menguasai pengetahuan juga sama kuatnya dengan orang-orang Eropa, Asia lainnya. Maka dari itu Sukarno optimis menjadikan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang maju meskipun harus ditempuh dengan tertatih-tatih.
Wartawan Asing Hilang: Menjauh dari Acara Pemberantasan Buta Huruf 1962
Seperti tak puas dengan jawaban Sukarno sebelumnya, sebelum akhirnya hilang dan meninggalkan acara pemberantasan buta huruf di Jakarta, wartawan asing asal Belanda itu menanyakan kembali “what is your greatest achievement in your revolution?” –apa pencapaian berharga dari revolusi Sukarno?
Sukarno menjawab dari atas podium, “our greatest achievement is that we have survived also equality gender strongly –the emancipation of women”.
Presiden pertama Republik Indonesia itu menyampaikan emansipasi wanita sebagai bentuk pencapaian revolusi. Sukarno membalas dengan mempertanyakan balik, apakah di negara barat emansipasi wanita itu ada?
Setidaknya sampai tahun 1960-an memang belum kelihatan ada emansipasi wanita di Barat. Sedangkan di Indonesia Kartini mempelopori itu jauh sebelum abad ke 20.
Bagi Sukarno itulah pencapaian berharga dari sebuah revolusi Indonesia. Sebab di dunia Barat wanita-wanita sulit mendapatkan kesetaraan.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip pidato Sukarno berjudul, “Kerdja terus! Tiada hasil achir dalam perdjuangan: Amanat presiden Soekarno pada hari proklamasi bebas buta huruf Djakarta Raya” 27 Desember 1962 sebagai berikut:
“tidak ada satu jang terketjuali semuanja mereka itu kagum melihat Indonesia. Bahkan tamu Agung dari negara sosialis kaget, kagum melihat wanita Indonesia kok lain dengan wanita di negaranja. Wanita disana tetap dikuntji dalam kamar, saudara-saudara! Ja, boleh keluar tetapi belum menondjol ke muka seperti wanita Indonesia”.
Pidato ini Sukarno sampaikan di depan ribuan publik Jakarta sebagai jawaban atas pertanyaan wartawan asing yang kerap mendiskreditkan bangsa Indonesia. Akibatnya si wartawan malu, tiba-tiba menghilang tak tahu ke mana perginya.
Baca Juga: Kisah Sukarno Pilih Jalan Oposisi dengan Pemerintah Kolonial Belanda
Pemberantasan Buta Huruf Penanda Majunya Sistem Pendidikan
Sukarno juga menyebut adanya program pemberantasan buta huruf merupakan penanda majunya sistem pendidikan di Indonesia.
Program pemberantasan buta huruf berhasil mengejar ketertinggalan akibat politik adanya edukasi Belanda yang kala itu membentuk stratifikasi pendidikan tumpang tindih tak setara.
Pendidikan di Indonesia zaman Sukarno terus berusaha memperbaiki diri. Tokoh-tokoh pendidikan zaman itu mempersatukan semangat agar terhindar dari politik edukasi gelap Belanda yang kadang masih terlihat di beberapa sekolah partikelir perkotaan.
Agar semakin tepat memberikan edukasi –khususnya kemampuan membaca, pemerintah Orde Lama menggunakan program pemberantasan buta huruf.
Dengan adanya program pemberantasan buta huruf masyarakat Indonesia semakin mendapat kemudahan untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Hal ini dikarenakan semua kegiatan era 60-an sudah menerapkan budaya baca bukan lagi budaya mendengarkan.
Pada puncaknya tahun 1962 di Jakarta sudah bebas buta huruf, terhitung dari adanya jumlah Mahasiswa yang belajar di kampus-kampus metropolitan sebanyak 120.000 orang. Mereka menjadi penanda kemajuan bangsa pada zaman tersebut. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)