Nikita Khrushchev adalah pemimpin Uni Soviet (sekarang Rusia) pada tahun 1958-1964. Selain jadi kepala pemerintahan ia juga merupakan sekretaris pertama partai komunis di negeri Beruang Merah.
Perjalanan politiknya begitu luas, ia merupakan bapak komunisme dunia pada pertengahan abad ke-20. Hal ini membuat Khrushchev berkenalan dengan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Aidit dan menyentilnya akibat tidak akur dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Peristiwa ini terjadi pada awal Januari 1960, ketika itu Aidit bertandang ke Hongaria untuk bertemu dengan para pemimpin komunis termasuk Khrushchev. Aidit tak menyangka jika orang nomor satu di Uni Soviet itu akan mengkritiknya.
Sebab pada beberapa waktu Aidit dan Khrushchev baik-baik saja. Keduanya saling mendukung perjuangan. Namun akibat surat kabar Harian Rakyat menggoreng isu rasisme pada orang Tionghoa di Indonesia, Khrushchev menegurnya.
Baca Juga: Profil Fidel Castro, Pemimpin Komunis Kuba yang Anti Amerika Serikat
Khrushchev tidak ingin PKI dengan RRT bercerai berai. Hal ini bisa mengganggu stabilitas politik komunis di dunia. Sebab RRT merupakan perwakilan Soviet di seluruh Asia.
Kendati menyentil dengan cukup pedas tak membuat Nikita Khrushchev sebal pada Aidit. Ia melakukan itu untuk kebaikan bersama partai komunis di seluruh dunia. Tak lama setelah pertemuan itu Aidit berjanji akan mengevaluasi kerja-kerja kepartaiannya.
Puncaknya Aidit menyambangi RRT untuk berdiplomasi memperbaiki hubungan politik yang lama usang. Aidit semakin dekat dengan RRT, Khrushchev semakin optimis memenangkan komunis menjadi partai penguasa dunia.
Profil Nikita Khrushchev, Tokoh Dunia yang Mengkritik Sikap Pribumi “Anti Tionghoa”
Menurut surat kabar Indonesia Merdeka yang terbit pada Jum’at, 1 Januari 1960 bertajuk, “Aidit Berunding dengan RRT: Krustjof tidak senang sikap PKI”, pemimpin komunis terbesar di dunia (Uni Soviet), Nikita Khrushchev mengkritik sikap pribumi yang anti terhadap orang Tionghoa.
Peristiwa ini memang sering terjadi di kalangan pribumi Indonesia sejak zaman kejayaan Hindia Belanda. Sudah menjadi struktur sosial yang mendarah daging, leluhur bangsa Indonesia mewariskan permusuhan itu bagai sekam dalam tumpukan jerami: membara.
Pemerintah Hindia Belanda sengaja membagi struktur kelas sosial yang mendudukkan orang-orang Tionghoa lebih tinggi dari pada pribumi. Karena kedudukan itu pula mereka mendapatkan layanan istimewa dari Belanda; bisa bekerja di kantoran, punya banyak uang, dan diizinkan membangun komunitas sebangsanya secara bebas.
Ketika Indonesia merdeka struktur sosial itu terbalik. Rakyat pribumi seolah membalas dendam dengan apa yang pernah mereka benci pada orang Tionghoa pada zaman Belanda. Padahal orang Tionghoa sama sekali tak punya salah, yang keliru adalah Belanda.
Menurut Nikita Khrushchev hal ini adalah upaya borjuasi Barat (kolonial Belanda) mengadu domba orang Tionghoa dengan rakyat Indonesia.
Mereka senang jika dua kekuatan ini terpecah, dengan begitu Belanda bisa mudah mengkolonisasi bekas jajahannya dalam bentuk baru yang lebih soft dan tak terlihat.
Baca Juga: Sejarah Bubarnya Marxisme di China, Akhir Idelogi Komunis
Maka dari itu, PKI di bawah pimpinan Aidit harus memperbaiki kekeliruan struktur produk kolonial. Apabila hal ini sukses, Khrushchev optimis komunisme akan merajai dunia. Paling tidak bisa setengah menguasai dunia dan menindas keserakahan borjuasi Barat.
Nikita Khrushchev Bertandang ke Indonesia
Ketika Aidit menjanjikan evaluasi kerja-kerja kepartaian di Hongaria yang lalu, Nikita Khrushchev berusaha mengontrol janji-janjinya itu dengan bertandang ke Indonesia pada tanggal 18 Februari 1960.
Khrushchev datang ke Indonesia juga punya niat lain yang lebih penting dan prioritas. Antara lain yaitu mendekati Sukarno dan meminta dukungan Indonesia untuk memenangkan Cold War (Perang Dingin) antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Misi diplomasi negara Soviet-Indonesia membuat Sukarno bertindak leluasa. Orang nomor satu di Indonesia saat itu meminta berbagai bantuan dari Uni Soviet. Salah satunya rumor biaya pembangunan mega proyek seperti pembangunan std. Gelora Bung Karno, (GBK).
Nikita Khrushchev bertandang ke Indonesia untuk mempraktikan politik domestik –menggaet massa agar Soviet memenangkan perang dingin. Selain itu Khrushchev juga ingin komunisme sebagai koagulan ideologi yang dominan dan menguasai dunia.
Upaya Soviet mendekati Indonesia terdengar oleh Amerika. Negeri Paman Sam ini ikut memberlakukan politik domestik dan mendekati Sukarno sebagai pemimpin tongkat revolusi. John F. Kennedy –Presiden Amerika merencanakan bertandang ke Indonesia tahun 1964.
Namun gagal sebab Kennedy tewas tertembak oleh sniper tak dikenal. Banyak yang menyangka erat kaitannya dengan perang dingin. Namun sejarawan Australia Greg Poulgrain menyangkalnya, sebab tewasnya JFK disebabkan oleh konflik internal Amerika Serikat.
Baca Juga: De Waarheid, Koran Komunis Belanda yang Serang Wapres Hatta
Khrushchev Mengkritik Surat Kabar PKI: Harian Rakyat
Ketika Khrushchev bertandang ke Indonesia ia melihat surat kabar PKI –Harian Rakjat masih menyudutkan orang-orang Tionghoa dalam headline–headline beritanya.
Peristiwa ini membuat Khrushchev naik darah, ia kecewa dengan janji Aidit di Hongaria –mengevaluasi kerja kepartaian termasuk tidak mendiskreditkan minoritas: orang Tionghoa. Akibatnya Khrushchev mengkritik pedas Harian Rakyat.
Dalam bahasa Rusia, Khrushchev mengatakan bubarkan saja surat kabar PKI “Harian Rakjat”. Koran tak bermutu dan tidak punya etika persatuan sebagai komunis sejati.
Mendengar kritik itu Aidit langsung tergopoh-gopoh menghubungi Khrushchev. Ia meminta maaf dan sekali lagi akan mengevaluasi kerja redaksi Harian Rakyat supaya tidak mengulang kedua kali kejadian tersebut.
Aidit juga berharap tim redaksi Harian Rakjat bisa membantu orang-orang Hoakiauw (RRT) mendapat tempat untuk menyampaikan aspirasinya.
Khrushchev tak banyak menanggapi Aidit. Ia hanya mengamanahkan apa yang telah Aidit lakukan agar terus dipertahankan. Mengingat persatuan negara komunis bisa membawa dunia lebih sejahtera lagi.
Saat itu beberapa negara komunis seperti Vietnam Utara dan Korea Utara juga telah bergabung dan mengakui RRT sebagai pusat komunis di Asia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)