Mogok buruh Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) tahun 1950 berujung dengan terbunuhnya Ketua Cabang Sarbupri di Rangkasbitung, Banten.
Hal itu sebagaimana laporan Kantor Berita Nasional Antara pada tanggal 1 September 1950.
Korban bernama Moh. Toha tewas di tengah perkebunan milik pemerintah dengan posisi kepala dan badan terpisah. Pembunuhan kejam tersebut disinyalir merupakan aksi pembantaian darah dingin terhadap tokoh-tokoh mogok buruh.
Konon Moh. Toha merupakan Ketua Cabang Sarbupri yang vokal. Sebelum tahun 1950-an ia mampu mengumpulkan massa dari kelompok buruh perkebunan di Banten untuk mogok. Aksi mogok ini ditengarai oleh wacana tuntutan upah pada penguasa perkebunan.
Baca Juga: Sejarah Pembubaran Ormas di Indonesia, dari PKI hingga HTI
Ketika Moh. Toha ditemukan terkulai tak bernyawa, para buruh perkebunan khawatir si pembunuh darah dingin itu akan menyasar mereka.
Apalagi pada saat itu perlawanan buruh untuk mogok kerja masih terbilang tinggi terjadi di beberapa perkebunan Banten.
Lantas bagaimana para buruh yang tergabung dalam Sarbupri mengusut kasus pembunuhan Moh. Toha? Apakah perlawanan buruh perkebunan tetap berapi-api atau diam tak berdaya karena pemimpin pergerakan mogok sudah pergi terdahulu?
Mogok Buruh Sarbupri dan Kronologi Terbunuhnya Moh. Toha
Menurut surat kabar Nusantara: Warta Harian Merdeka yang terbit pada Sabtu, 1 September 1950 bertajuk, “Pembunuh Kedjam Atas Dirinja Pemimpin Buruh –Kepala dipisah dari badan”, peristiwa ini berawal dari seorang buruh perkebunan menemukan jasad tak dikenal di perkebunan Onderneming Karet, Gunung Mandur, Banten.
Mayat tak dikenal itu masih utuh dan menggunakan baju warna hijau, namun yang membuat si penemu itu kaget karena posisi kepala berpisah dengan badan. Tidak lain korban pembunuhan dengan cara dipenggal.
Visualisasi peristiwa sebagaimana yang ada dalam surat kabar di atas berikut; “mayat itu ditemukan dengan berpakaian hidjau dalam keadaan kepala terpisah dari badannja. Tanda bahwa pembunuhan dilakukan dengan memenggal kepala. Disebelah majat jang diketemukan itu kabarnya terdapat seputjuk Karabijn –senapan berpisau tajam.
Penemuan jasad tak berkepala ini menggegerkan masyarakat sekitar. Ketika wartawan meliput kejadian ini tersebarlah berita yang menghebohkan jagat buruh di Indonesia.
Mengapa buruh? Sebab korban tewas itu –Moh. Toha merupakan Ketua Cabang Sarbupri, organisasi buruh afiliasi PKI yang besar dan punya banyak massa dan kerap melakukan mogok kerja.
Ketika berita pembunuhan Moh. Toha sampai ke meja redaksi organisasi Sarbupri, pengurus pusat organisasi tersebut bertindak.
Baca Juga: Penghapusan Becak Kayuh Tahun 1950 yang Diwarnai Kericuhan
Pertama yang Sarbupri lakukan adalah memuat berita resmi berskala Nasional yang berisi imbauan pada seluruh anggota Sarbupri agar selalu berhati-hati tatkala bepergian sendiri.
Sebab kemungkinan besar tewasnya Moh. Toha –Kepala Cabang Sarubupri Rangkasbitung, Banten karena perbuatan kelompok anti buruh. Hal ini mereka laporkan karena Moh. Toha sendiri merupakan buruh perkebunan yang vokal, aktif mengkritik dan memimpin pemogokan.
Pengurus Pusat Sarbupri Menerjunkan Wakilnya dalam Penyidikan
Pengurus pusat Sarbupri menekan Kementerian Perburuhan di Jakarta dan Sekretaris Perburuhan di Yogyakarta agar turut serta mencampuri urusan penyelidikan pada musibah yang menimpa Moh. Toha.
Organisasi Underbow Partai Komunis Indonesia ini mengancam Kementerian Perburuhan yang berpusat di jantung Ibu Kota untuk bertindak cepat menangkap pelaku. Mereka ingin tahu motif di balik pembunuhan keji terhadap kadernya, Moh. Toha.
Selain menuntut Kementerian mengurusi penyelesaian kasus Moh. Toha, Sarbupri sendiri ikut mengirimkan perwakilannya untuk turut menjadi saksi dalam penyidikan.
Pengiriman wakil Sarbupri dalam proses penyelidikan ini merupakan cara organisasi buruh perkebunan melatih tanggung jawab kadernya.
Dengan menaruh salah seorang kader jadi penanggung jawab pemecahan masalah tersebut, secara tidak langsung membuat anggota lainnya punya jiwa yang sama. Mungkin saat itu penyelidikan dengan melibatkan kader Sarbupri menjadi tolak ukur kejujuran dalam berogranisasi.
Meskipun sudah mengirimkan wakilnya dalam penyelidikan kasus Moh. Toha, hasilnya justru meluas hingga ke mana-mana. Apalagi ketika masyarakat dari kelas buruh di Banten tahu motif pembunuhan terhadap Moh. Toha akibat jiwa vokalnya dalam membela rakyat –buruh perkebunan.
Masyarakat buruh di Banten menyasar para Sentara –tuan tanah perkebunan partikelir (swasta).
Mereka melempari rumah-rumah si tuan tanah, bahkan sebagian kebun ada yang dirusak dan menempelkan tulisan di beberapa tempat berisi umpatan-umpatan kasar dan tak senonoh.
Baca Juga: Pemberantasan Buta Huruf 1962 dan Kisah Sukarno Sindir Wartawan Asing
Sarbupri, Organisasi Buruh yang Kompak
Ketika Pengurus Pusat mempublikasi laporan resmi tentang meninggalnya Ketua Cabang Sarbupri Rangkasbitung, Banten ke berbagai wilayah di Indonesia, seluruh anggota Nasional Sarbupri geram dengan tindakan keji si pembunuh Moh. Toha.
Mereka mengutuk dengan kompak pembunuh, seluruh anggota Sarbupri bergerak mencari informasi tentang siapa pembunuh Moh. Toha.
Akibat peristiwa ini Sarbupri juga semakin gencar menyuarakan pembalasan dengan terus membela hak-hak kaum buruh perkebunan sebagaimana yang dahulu Moh. Toha perjuangkan.
Poster-poster siapakah Moh. Toha menghiasi daerah perkebunan karet di Gunung Mandur, Banten bertebaran secara luas. Poster itu antara lain berisi ajakan untuk masyarakat Banten khususnya mengadakan pencarian massal siapa pelaku pembunuhan.
Selain itu ada pula yang menyertakan ajakan mogok kerja dari perkebunan sebelum kasus Moh. Toha bisa terungkap. Aksi gerakan ini terus berjalan hingga tahun 1953, konon suasana Rangkasbitung saat itu seperti hari yang kacau dan penuh dengan terror.
Namun pada akhirnya kerusuhan akibat meninggalnya Moh. Toha bisa mereda meskipun sampai detik ini motif dan pelaku pembunuhan tak pernah ketemu.
Massa buruh Sarbupri di Rangkasbitung kembali stabil setelah pemerintah Orde Lama menyadarkan bahwa pemerintah tak tinggal diam dan turut berduka atas meninggalnya Moh. Toha.
Sukarno mengaku mendukung gerakan buruh, ia menyebut revolusi kaum marjinal. Pemerintah Orde Lama menghargai gerakan tersebut, namun Sukarno mengimbau agar mereka menyimpan energi saling menuduh sesama saudara (sebangsa). Sebab bisa jadi kasus Moh. Toha karena ulah Neo-kolonialisme. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)