Mitologi perkawinan sedarah bukanlah sesuatu hal yang baru terjadi di dunia termasuk di Irian Barat. Perkawinan sedarah juga jadi bagian mitologi suku Inkai dan peradaban Firaun. Mereka melakukannya untuk menjaga silsilah keturunan.
Sedangkan di wilayah Asia Tenggara, daerah Irian Barat memiliki kisah mitologi yang sama dengan dua peradaban di atas. Konon orang-orang Irian Barat zaman dulu percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari seorang ibu yang mengawini anaknya.
Mitologi perkawinan sedarah yang terjadi dalam kehidupan leluhur orang Irian Barat berasal dari keinginan menjaga silsilah keturunan. Apalagi pada zaman dulu garis keturunan amat penting untuk menjaga rasa persaudaraan kesukuan yang kuat.
Suku-suku di Irian Barat berlomba-lomba memperluas keturunan dari garis persaudaraan yang sama. Sebab zaman dulu kepercayaan mengawini suku lain merupakan larangan berat, mereka terpaksa menikahi adik, kakak kandung, ataupun sepupu, ibu, dan ayah.
Baca Juga: Suku Ifugao di Filipina, Pandai Bertani Padi di Dataran Tinggi
Mitologi perkawinan sedarah di Irian Barat membuat para peneliti antropologi Barat penasaran. Mereka datang untuk melakukan riset tentang kebudayaan masyarakat di sana, terutama meneliti cara pandang orang Irian dalam kehidupan rumah tangga.
Asal Mula Mitologi Perkawinan Sedarah di Irian Barat
Menurut peneliti antropologi kenamaan Universitas Indonesia, Parsudi Suparlan dalam majalah Manusia Indonesia: Madjalah Penggali Budaja, No. 4, Th ke III Djuli 1969 bertajuk, “Beberapa Dongeng Mithologi pada orang Irian Barat jang mempunjai Motif Incest”, mitologi tersebut datang karena dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama orang-orang Irian Barat yang tinggal di sekitar teluk Arguni, dan yang kedua berasal dari dongeng-dongeng mitologi yang terdapat pada orang Manition yang tinggal di daerah distrik Steenkool.
Dua kemungkinan itu berasal dari penelitian Parsudi yang terbit pada tahun 1960-an. Ia melakukan riset partisipatori –hidup bersama, melihat kebudayaan dan perilaku sehari-hari orang Irian, sehingga berani menyimpulkan mitologi perkawinan sedarah berasal dari hal di atas.
Supardi juga mengklaim mitologi perkawinan sedarah orang Irian Barat terbit karena kepentingan politik kesukuan. Mereka sengaja membuat mitologi tersebut agar orang Irian Barat bisa menjaga jumlah suku, karena itu bisa memperluas wilayah kekuasaan.
Orang Irian Barat memiliki suku-suku yang berbeda satu sama lainnya. Mereka harus mempertahankan jumlah clan agar bisa menjaga daerah kekuasaan. Tanpa adanya jumlah anggota suku yang banyak maka bagian dari clan tersebut akan tergilas oleh suku lain.
Artinya dongeng perkawinan sedarah merupakan motivasi orang Irian Barat zaman dulu agar mempertahankan jumlah keturunan. Lebih banyak anak lebih baik, kendati tidak harus kawin dengan saudara setidaknya masih satu suku yang sama.
Baca Juga: Satu Keluarga Satu Anak: Propaganda Otoriter Cina Menekan Fertilitas
Mempercayai Wanita Sumber Kehidupan yang Abadi
Orang Irian Barat zaman dulu mempercayai wanita sebagai sumber kehidupan yang abadi. Mereka tak perlu pria untuk punya keturunan, konon mitos ini membentuk adanya budaya perkawinan sedarah dalam kehidupan nenek moyang orang Irian.
Adapun perempuan pertama yang jadi leluhur orang Irian Barat bernama Kaar. Orang Irian Barat mempercayai Kaar telah melahirkan anak laki-laki yang berasal dari ubun-ubun kepalanya. Tak ada lelaki yang menghamili Kaar namun ia mampu melahirkan bayi laki-laki.
Menurut kepercayaan orang Irian Barat kala itu, anak laki-laki Kaar berasal dari telunjuk jarinya sendiri. Kaar memasukan telunjuk sendiri ke lubang telinga dan tiba-tiba tumbuh janin di kepalanya. Setelah hampir 9 bulan janin di kepala Kaar berpindah ke rahim dan lahirlah melalui lubang vagina.
Kaar begitu senang melihat ada bayi laki-laki yang lahir dari dalam tubuhnya. Ia pun merawat anak laki-laki tersebut hingga dewasa. Pada saat anak tersebut remaja Kaar menjadikannya sebagai suami. Anak laki-laki itu mengawini ibunya sendiri dan melahirkan beberapa anak lainnya.
Kisah perkawinan sedarah ini dipercaya sebagai cikal bakal lahirnya penduduk kampung Suwiam, Basena, dan Tebah di Irian Barat. Konon seluruh penduduk di sana merupakan keturunan Kaar yang saat itu mengawini anak laki-lakinya sendiri.
Menyelamatkan Kehidupan Setelah Peperangan
Selain menjadi alat untuk menjalankan kepentingan politik kesukuan, kisah perkawinan sedarah dalam mitologi orang Irian Barat juga memiliki tujuan lain yaitu menyelamatkan kehidupan setelah peperangan.
Kala itu peperangan di Irian Barat menjadi sesuatu hal yang lumrah. Mereka berkonflik antar suku untuk memperebutkan wilayah kekuasaan.
Bukannya berhasil menduduki satu wilayah tujuan, dua suku yang saling serang justru kalah dan jarang ada yang selamat, mereka mati sia-sia.
Baca Juga: Sejarah Pariwisata Dunia, Pertama Kali Dilakukan Orang Primitif
Nenek moyang orang Irian Barat menggunakan dongeng perkawinan sedarah untuk menyelamatkan kehidupan setelah perang.
Hal ini bertujuan agar orang-orang Irian zaman itu mau menikahi anggota keluarga sendiri supaya jumlah clan mereka kembali tumbuh dan bisa menguasai lahan yang diinginkan.
Peristiwa konflik antar suku pernah dialami oleh Suku Sawi dan Suku Bahomia. Mereka bertempur habis-habisan, akibatnya banyak anggota suku dari dua belah pihak saling serang dan bunuh. Namun menariknya ada satu perempuan yang selamat, ia berlindung di tempat tak terduga.
Perempuan itu sedang hamil bernama O’uwutu. Singkat cerita ia melahirkan anak laki-laki, O’uwutu si korban perang antar suku itu pun mengurus anaknya sampai dewasa. Ketika sudah dewasa mereka hanya tinggal berdua, mereka sepakat untuk memperoleh keturunan akibatnya O’uwutu mengawini anak laki-lakinya.
Meskipun O’uwutu saat itu sudah berusaha senja, rahimnya masih kuat menyimpan janin hingga melahirkan dua anak: laki-laki dan perempuan di tepi kali Suwawita. Keturunan O’uwutu semua melakukan kawin sedarah. Hal ini mereka lakukan untuk menciptakan kehidupan baru di tanah gersang yang kehilangan penduduk akibat peperangan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)