Masyarakat Betawi pada abad 19 memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, terutama dalam mengagungkan nilai-nilai luhur Islam.
Oleh sebab itu masyarakat Betawi pada tahun 1800-an terkenal sebagai golongan sosial di pusat kota pelabuhan yang kental akan ajaran Islamnya.
Akan tetapi setelah kita pelajari lebih dalam lagi, orang Betawi yang diklaim memiliki tingkat religiusitas Islam yang tinggi tetap percaya dan enggan meninggalkan upacara para leluhurnya.
Seperti halnya masih mempercayai spiritualitas terhadap roh, hantu, jin dan sesuatu hal yang bersifat kosmologis lainnya. Mereka masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang identik dengan takhayul.
Baca Juga: Sejarah Intelijen di Indonesia, dari Orde Baru hingga Era Reformasi
Pernyataan ini sebagaimana mengutip buku berjudul, “Ensiklopedia Jakarta” (2005). Adapun keunikan masyarakat Betawi yang tak ada dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Mereka menjalani 3 kali lebaran dalam satu tahun. Lebaran apa sajakah itu? Berikut ulasannya.
Lebaran Anak Yatim dalam Tradisi Masyarakat Betawi Abad 19
Selain merayakan lebaran Idul Fitri dan lebaran Idul Adha, masyarakat Betawi pada abad 19 juga merayakan lebaran anak yatim.
Lebaran anak yatim jatuh pada hari Assyuro atau setiap tanggal 10 Muharram. Maksud lebaran anak yatim adalah mengistimewakan kehidupan anak-anak yang sudah tak punya ayah dengan membelikan berbagai kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat Betawi pada zaman itu rajin membantu anak-anak yatim. Menurut Ensiklopedia Jakarta (2005), biasanya ketika waktu lebaran anak yatim itu telah tiba, suasana di kampung-kampung Batavia (Jakarta) akan terasa sakral.
Penuh lantunan doa-doa untuk mengantarkan arwah para ayah si anak yatim. Setelah doa bersama selesai mereka akan menutupnya dengan merayakan tumpengan.
Menyantap nasi berbentuk kerucut yang berisi lauk pauk dari hasil bumi. Hal ini menimbulkan kebersamaan yang kuat. Tradisi membangun kebersamaan ini kemudian diwariskan secara turun temurun pada orang Betawi Asli hingga hari ini.
Bagi masyarakat Betawi zaman itu kebersamaan adalah paling utama. Sedangkan membantu anak-anak yatim dipercaya bisa membawa keberkahan hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Lebaran anak yatim merupakan kolaborasi kepercayaan masyarakat Betawi akan hidup sejahtera dan penuh dengan syafaat (pertolongan).
Baca Juga: Sejarah Panggilan Aden di Tatar Sunda, Pernah Dikecam Para Raden
Religiusitas Masyarakat Betawi Sebab Akibat Kematangan Ekonomi
Menurut kacamata antropologi budaya, tingginya tingkat religiusitas masyarakat Betawi didasarkan pada sebab akibat kematangan ekonomi penduduk waktu itu.
Kematangan ekonomi bisa membuat suatu masyarakat fokus pada sesuatu hal yang dianggap spiritualis seperti religi (agama). Mereka akan tekun memperdalam agama sampai pada akhirnya meninggal dunia dan sejahtera dalam bayang-bayang surgawi.
Lantas apakah yang menyebabkan kematangan ekonomi masyarakat Betawi ini terbentuk, dari manakah kehidupan sejahtera yang mereka peroleh?
Kurang lebih pertanyaan itu bisa dijawab dengan mengetahui terlebih dahulu rata-rata profesi yang ada di masyarakat Betawi abad 19. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai, pedagang, buruh, petani-peladang, dan pengrajin.
Pedagang dan pengrajin memiliki kualitas hidup lebih baik daripada buruh dan petani–peladang. Maka dari itu biasanya masyarakat Betawi yang tingkat religiusnya tinggi berasal dari dua golongan tersebut.
Selain itu kemapanan dua golongan tersebut terlihat dari banyaknya jumlah anggota keluarga Betawi (pedagang-pengrajin) berangkat naik haji.
Bahkan beberapa di antara mereka ada yang memilih tinggal dan menetap di Mekkah. Kebanyakan alasan mereka tinggal di tanah suci tidak lain untuk ibadah dan menuntut ilmu agama Islam. Sehingga nanti jika pulang ke tanah kelahiran bisa membawa dampak perubahan untuk masyarakat Betawi.
Dengan demikian spiritualitas dan religiusitas masyarakat Betawi terus meningkat setiap zamannya. Meskipun masih ada sifat-sifat takhayul peninggalan zaman Hindu-Buddha, pada intinya masyarakat Betawi sukses membangun kestabilan dalam beragama lebih baik dari sebelumnya.
Baca Juga: Majalah Al-Mawaidz, Inspirasi NU Tasikmalaya Dirikan Pesantren Modern
Melahirkan Ulama Besar: Syeikh Abdullah Al Batawi
Syeikh Abdullah Al Batawi merupakan putera Betawi asli yang sejak tahun 1834 menjadi guru umat Islam di pesisir Batavia.
Konon saking berilmu Islam yang luas dan tinggi, Syeikh Abdullah Al Batawi pernah menjabat sebagai imam besar Masjidil Harram di Mekkah.
Syeikh Abdullah Al Batawi merupakan satu-satunya orang Indonesia saat itu yang menjadi imam besar seluruh umat Islam yang menunaikan ibadah haji.
Syeikh Abdullah Al Batawi memiliki putra bernama Imam Muj Taba. Berbeda dengan sang ayah yang memilih pulang ke Betawi setelah selesai tugas menjadi imam Masjidil Harram, Imam Muj Taba justru memilih tinggal selamanya di Mekkah.
Sejak tahun 1860 Imam Muj Taba menuntut ilmu di Mekkah. Perjalanan jauh ini membuat ia berkeluarga di sana dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya di tanah suci Makkah.
Sungguh luar biasa pengabdian putra Betawi Asli. Tak heran sejak abad 19 kota ini mendapat klaim sebagai daerah dengan tingkat religiusitas tinggi.
Syeikh Abdullah Al Batawi mempelopori pembangunan masjid-masjid besar dan luas di Jakarta. Pada abad 20, pembangunan masjid-masjid besar di Jakarta semakin gencar karena mendapat sokongan dana dari orang-orang Betawi kaya. Mereka bergotong royong menggunakan Sebagian hartanya untuk membangun tempat ibadah yang megah dan penuh dengan sejarah. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)