Bung Hatta adalah figur pejabat tinggi negara yang teladan. Banyak kisah hidup yang sederhana darinya. Ia tidak impulsif seperti kebanyakan para pejabat hari ini, salah satu contoh kesederhanaan Bung Hatta adalah kisah sepatu impian yang tak terbeli sampai ia wafat.
Kisah kesederhanaan Bung Hatta itu tertuang dari tutur kata keluarganya yang bangga. Mereka terkejut dan sedih tatkala membuka dompet Bung Hatta setelah wafat. Konon ada potongan kertas iklan koran yang berisi alamat tukang sepatu impiannya.
Bung Hatta menyimpan sobekan kertas itu untuk sewaktu-waktu apabila ia punya rejeki lebih bisa membelinya. Akan tetapi sampai Bung Hatta wafat uang tabungannya selalu berkurang hingga membuatnya tak cukup mengantongi sepatu impian.
Baca Juga: Peristiwa Perang Kamang, Keluarga Bung Hatta Jadi Korbannya
Kendati Bung Hatta bisa menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh sepatu bermerk Bally itu, namun ia enggan melakukan hal itu. Bagi Bung Hatta fashion bukan hal yang prioritas untuk pejabat negara. Cukup berpakaian rapi dan sopan, itu sudah bagus.
Menurut kisah keluarga Bung Hatta, uang tabungan untuk membeli sepatu Bally selalu habis untuk berbagai keperluan.
Salah satu diantaranya seperti keperluan rumah tangga, membantu ekonomi sanak keluarga, bahkan menopang rakyat yang kerap menyambangi kediamannya dan meminta bantuan uang.
Kesederhanaan Bung Hatta dan Sepatu Bally Impian: Nyaman, Fashionable, dan Stylish
Bally Shoes merupakan merek sepatu legendaris asal Swiss yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1850. Penampilan sepatu yang nyaman, fashionable, dan stylish membuat Bally jadi impian banyak orang termasuk Bung Hatta.
Adapun pendiri perusahaan sepatu asal Swiss legendaris ini bernama Carl Franz Bally. Merk Bally merupakan nama belakangnya ternyata bisa terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri. Padahal ia mengawali perusahaan ini di sebuah desa Swiss bernama Schonenwerd –home industry.
Awal kepopuleran sepatu Bally berada pada tahun 1870. Ketika itu Bally Shoes menempati pasar dunia, perusahaan ini mendominasi kesukaan orang Amerika dalam memilih sepatu.
Akhirnya Bally menjadi merek terkenal di pasar sepatu Amerika, pelanggan setianya pun berasal dari berbagai kalangan, kebanyakan orang-orang kaya dan pejabat di White House.
Tahun 1950-an pabrik sepatu Bally sudah maju dan sukses. Salah satu pabriknya terdapat di Indonesia, perusahaan Bally juga aktif mempromosikan produknya di berbagai media. Salah satunya di media surat kabar yang terbaca secara tak sengaja oleh Bung Hatta.
Selain menjadi sepatu yang dipakai oleh orang kaya, pejabat di Amerika, dan alas kaki impian Bung Hatta, sepatu Bally juga pernah menjadi brand ambassador pendaki gunung Everest pertama bernama Sherpa Tenzing Norgay.
Sepatu Bally jenis Bally Reinder Himalaya adalah produk perusahaan tersebut yang menemani Sherpa si pendaki berhasil menaklukan Everest.
Kesederhanaan Bung Hatta Tak Lepas dari Sistem Pendidikan Keluarga
Menurut Wachid Nugroho dalam buku berjudul, “Mozaik Integritas Guru: Membangun Mindset Pendidikan Inspiratif” (2018), kesederhanaan hidup Bung Hatta sebagai pejabat tinggi negara tak lepas dari sistem pendidikan yang diberikan oleh keluarga.
Ayahnya merupakan tokoh taat agama yang juga seorang keturunan Ulama Naqsyabandiyah di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Baca Juga: De Waarheid, Koran Komunis Belanda yang Serang Wapres Hatta
Konon sejak kecil Hatta telah diberikan pondasi karakter sebagai anak yang taat beragama oleh keluarga dari garis ayah.
Begitupun dengan sosok kakeknya, Abdurrahman Batuhampar. Tokoh Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat ini punya surau yang luas. Setiap hari diisi oleh anak-anak belajar agama, termasuk sang cucu, Moh. Hatta.
Peran kakek dan saudara-saudara dari garis ayahnya cukup kuat melindungi pergaulan Bung Hatta sejak kecil.
Meskipun ia kehilangan sosok ayah yang meninggal sejak ia berumur 7 bulan tak membuat hatinya kurang dalam belajar agama. Sebab sanak saudara dari ayah yang Islami selalu menuntun Hatta hingga dewasa.
Bahkan sang kakek ingin Hatta menjadi seorang Ulama. Menjadi guru agama Islam untuk rakyat Payakumbuh. Kendati demikian Hatta memilih jalan lain, dan itu sempat menyakitkan hati sang kakek. Walaupun begitu kakeknya bangga dengan keputusan tersebut.
Sebab meskipun menempuh pendidikan formal dan bergaul dengan berbagai bangsa hingga ke Belanda, dalam perilakunya Hatta tetap berpegang pada iman, akidah, dan tauhid Islam.
Sistem pendidikan dari keluarga itulah yang membawa dirinya sederhana meskipun sudah menjadi pejabat tinggi negara –wakil presiden pertama RI.
Selain Sederhana Hatta adalah Pejabat yang Bersih, Jujur, dan Anti Korupsi
Bung Hatta merupakan pejabat tinggi negara yang bersih, jujur, dan anti korupsi. Pernyataan ini sesuai dengan fakta dari kisahnya yang memimpikan sepatu Bally, menolong sanak family, dan menopang ekonomi rakyat di muka tadi.
Baca Juga: Hattanomics, Widjojonomics, dan Habibienomics: Tokoh Penting dalam Sejarah Pembangunan Nasional
Namun lebih jelas lagi kisah untuk mempercayai Hatta sebagai pejabat yang bersih, jujur, dan anti korupsi bisa kita tinjau dari saksi mantan ajudannya yang bekerja di Sekretariat Negara (Setneg) bernama I Wangsa Wijaya.
Bung Hatta pernah memarahinya gara-gara ia memakai kertas Setneg untuk membuat surat kantor Wakil Presiden.
Menurut Hatta itu bagian dari korupsi, lantas sang wakil presiden pertama ini menyuruhnya mengganti 3 lembar kertas itu dari uang pribadi Bung Hatta. I Wangsa Wijaya melihat bagaimana uang receh itu keluar dari saku bajunya.
Kesederhanaan lain yang patut diteladani oleh para pejabat hari ini juga adalah waktu Bung Hatta berwasiat agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Baginya pemakaman itu terlalu mewah dan tidak pantas untuk Hatta yang berjiwa merakyat. Ia tidak ingin punya keistimewaan yang melebihi rakyatnya. Bung Hatta selalu hitung-hitungan dalam hal itu.
Menurut keluarganya selama hidup bung Hatta selalu berpegang teguh pada wasiat saudaranya yaitu H. Agus Salim. Ia memberikan pepatah dalam bahasa Belanda “Leiden is Lijden” yang artinya memimpin berarti menderita. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)