Penulis buku berjudul, “Boedi Oetomo, Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa” (2008), Gamal Komandoko menuturkan, Tri Koro Dharmo merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia yang lahir dari rasa kecewa.
Para pemuda yang kala itu tergabung dalam organisasi Boedi Oetomo merasa tersingkir oleh golongan tua.
Konon semenjak kongres pertama di Yogyakarta pada 5 Oktober 1908, organisasi Boedi Oetomo tidak lagi menampung aspirasi kaum muda.
Akibatnya mereka (golongan muda) tidak respect lagi dengan organisasi tersebut. Apalagi setelah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo bersama Suryodipuro mengundurkan diri dari kepengurusan Boedi Oetomo.
Baca Juga: Kebakaran Ladang Tebu Zaman Belanda, Terinspirasi Revolusi Industri?
Para pemuda terpelajar memilih mundur bersama mereka berdua. Sebab dr. Tjipto dan Suryodipuro merupakan golongan tua yang memihak golongan muda.
Maka itu ketika mereka berdua keluar dari Boedi Oetomo para pemuda kehilangan arah perjuangan. Mereka hanya jadi penonton politik, golongan tua dalam Boedi Oetomo tak memberinya ruang politik yang bebas.
Dari persoalan ini golongan muda ex –Boedi Oetomo berinisiatif membentuk organisasi sendiri. Mereka menamakan organisasi tersebut dengan sebutan Tri Koro Dharmo.
Sejarah Tri Koro Dharmo, Organisasi yang Lahir dari Rasa Kecewa
Ketika kongres pertama Boedi Oetomo terlaksana dengan lancar di Yogyakarta, ada sebagian kelompok yang tak sependapat dengan notulensi kongres yang memihak golongan tua sebagai penentu arah politik dalam organisasi tersebut.
Mereka yang tak sependapat itu antara lain terdiri dari para pelajar STOVIA (Sekolah Kedokteran Jawa di Batavia) yaitu, Satiman Wirjosandjojo, Kardiman, dan satu mahasiswa hukum Rechschool bernama R. T. Soenardi Djaksodipoero.
Komplotan pemuda eks-Boedi Oetomo itu sepakat mundur dari kepengurusan dan mencap organisasi tersebut sebagai organisasi yang etnosentrisme (kesukuan).
Budaya Jawa merupakan “seragam” para anggota organisasi Boedi Oetomo. Seolah menolak tradisi luar Jawa, Boedi Oetomo sering diklaim sebagai organisasi pergerakan Nasional yang tak sejalan dengan cita-cita kebangsaan.
Apalagi setelah Boedi Oetomo terisi oleh anggota dari kalangan aristokrasi Jawa. Seperti kebanyakan budaya Jawa yang mengedepankan aspek kramanisasi, para pemuda muak dengan kebiasaan mereka yang suka memerintah para yunior.
Golongan muda (yunior) pun kecewa, mereka merasa tak punya harga diri dalam Boedi Oetomo. Akibatnya tiga orang terpelajar dari STOVIA dan Rechschool di atas berinisiatif mendirikan organisasi sendiri yaitu Tri Koro Dharmo.
Tri Koro Dharmo berdiri pada tanggal 7 Maret 1915. Organisasi pemuda pertama di Hindia Belanda ini terbentuk dari forum diskusi di gedung STOVIA yang terletak di Gg. Menjangan, Weltevreden Jakarta.
Baca Juga: Kisah Agus Salim Mengkritik Polisi: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara
Menurut Momon Abdul Rahman, dkk dalam “Sumpah Pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional” (2005), organisasi ini merupakan perkumpulan politik yang anggota dan cita-citanya sesuai keinginan pemuda.
Mereka memiliki orientasi perjuangan politik yang kontra kolonial alias revolusioner. Pemuda Tri Koro Dharmo kerap mendiskusikan tema-tema politik yang mengarah pada perjuangan kemerdekaan bangsa dan melahirkan tokoh Nasional, salah satunya Sukarno.
Makna dari Nama Tri Koro Dharmo
Menurut Koentjoro Poerbopranoto dalam buku berjudul, “Gedenkboek Jong Java 7 Maret 1915-1930” (1930), makna dari nama Tri Koro Dharmo berarti “Tiga Tujuan Mulia”.
Antara lain “Sakti yang berarti Cerdas, Budi yang bermakna Bijaksana, dan Bakti yang menyimbolkan Kasih Sayang”.
Nama Tri Koro Dharmo dipilih para pemuda yang kecewa oleh Boedi Oetomo berdasarkan pada kritik mereka untuk organisasi tersebut.
Selain kecewa tak diberikan corong suara, para pemuda juga merasa Boedi Oetomo tidak punya visi dan misi di atas.
Organisasi Boedi Oetomo hanya sibuk dengan urusan sosial. Itu pun masih bersifat kolonialsentris, sebab Boedi Oetomo sering bekerjasama menggarap pekerjaan sosial dengan orang-orang Belanda di bawah pengawasan pemerintah.
Selain mengkritik Boedi Oetomo, makna Tri Koro Dharmo juga termasuk ajaran filsafat yang berarti simbol kemajuan bangsa. Konon orang Jawa memaknai arti Tri Koro Dharmo sebagai 3 langkah menuju kehidupan yang sentosa (bebas; merdeka).
Organisasi Pemuda yang Membentuk Sukarno jadi Revolusioner
Menurut Walentina Waluyanti de Jonge dalam tulisan berjudul, “Orasi Bung Karno dan Orasi Pak Tjok” (2013), Tri Koro Dharmo merupakan organisasi yang membentuk Sukarno jadi pemimpin revolusioner.
Konon Sukarno merupakan anggota Tri Koro Dharmo termuda, bahkan ketika ia berstatus menjadi bagian dari organisasi tersebut usianya belum genap 17 tahun.
Baca Juga: Gaboengan Moeda Partindo, Organisasi Politik Kontra Spionase
Menurut arsip yang Walentina temukan di Belanda, Sukarno bergabung dengan Tri Koro Dharmo cabang Surabaya pada tahun 1917 tatkala ia masih terdaftar jadi murid di HBS.
Sontak Sukarno jadi sorotan banyak orang yang saat itu terdaftar dalam organisasi tersebut. Apalagi sejak saat itu Sukarno kerap melemparkan tema-tema diskusi yang panas tentang sistem kolonialisme-imperialisme di Nusantara.
Tak jarang karena tema diskusi yang pedas ini Sukarno sering dipanggil oleh direktur sekolah. Kendati demikian Sukarno tak kapok, kemarahan penguasa kolonial terhadapnya justru bagai kayu yang mengubahnya jadi bara api.
Seiring bertambahnya usia dan pengalaman di Tri Koro Dharmo, Sukarno semakin beranjak dewasa dan revolusioner. Sebagian pendapat mengatakan jika pengalaman Sukarno dalam organisasi ini membuatnya sukses mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Selain menjadi organisasi populer di kalangan pemuda revolusioner STOVIA, pengalaman Sukarno dalam Tri Koro Dharmo juga menunjukan organisasi tersebut jadi wadah diskusi bergengsi bagi kelompok terpelajar di MULO dan HBS. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)