Studiefonds Praja Mangkunegaran adalah beasiswa pendidikan dari Pura Mangkunegaran di Surakarta, untuk menyekolahkan anak-anak golongan aristokrat yang hidup di lingkungan kerajaan.
Pendiri dari beasiswa ini adalah Mangkunegaran VI pada tahun 1912. Konon Studiefonds Praja Mangkunegaran merupakan ikhtiar Mangkunegaran VI untuk mewujudkan masyarakat kerajaan yang profesional.
Namun pada perkembangannya pemberian beasiswa ini menimbulkan banyak pertentangan. Terutama dari kalangan pribumi yang merasa tak mendapatkan keadilan. Sebab beasiswa Studiefonds Praja Mangkunegaran hanya diberikan pada orang terdekat Mangkunegaran.
Baca Juga: Deforestasi Kerajaan Sriwijaya, Penyebab Hutan Palembang Gundul Abad ke-7
Mereka –orang-orang terdekat Mangkunegaran VI memiliki jaringan khusus mendapatkan biaya pemotongan untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya. Sedangkan rakyatnya yang membayar pajak tidak mendapatkan subsidi secuil pun.
Selain membuat rakyat kecil mengalami kecemburuan sosial, wacana pemberian beasiswa Studiefonds Praja Mangkunegaran tersebut juga semakin menyulut kebencian rakyat pada struktur birokrasi feodal yang ada di Surakarta.
Studiefonds Praja Mangkunegaran, Beasiswa Tebang Pilih
Menurut Wasino dalam buku berjudul, “Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944” (2014), Studiefonds Praja Mangkunegaran adalah beasiswa pendidikan yang bersifat tebang pilih.
Pengertian dari tebang pilih maksudnya yaitu, beasiswa Studiefonds Praja Mangkunegaran hanya bisa dimiliki oleh kerabat kerajaan. Sedangkan rakyat biasa tidak punya kesempatan untuk memperoleh subsidi biaya pendidikan.
Jangankan subsidi pembayaran, kesempatan ikut mengenyam pendidikan pun belum tentu bisa. Sebab pada saat itu sistem pendidikan belum merata sampai kalangan bawah. Hanya keturunan-keturunan terpandanglah yang bisa mengalami indahnya bersekolah.
Pemberian Studiefonds Praja Mangkunegaran untuk para kerabat Raja antara lain beralasan membantu mereka yang kesulitan membiayai sekolah anak-anaknya. Dengan ini dimungkinkan banyak putra, Sentana, Pegawai, dan anak Perwira Legiun Mangkunegaran yang pandai namun kurang mampu dapat meneruskan studinya.
Baca Juga: Sejarah Mataram, Kerajaan Agraris Pemasok Padi Terbesar di Nusantara
Padahal pada kenyataannya mereka yang disebut profesinya itu adalah orang-orang kaya yang tidak mungkin tidak mampu membiayai anak-anaknya bersekolah. Dengan kata lain Studiefonds Praja Mangkunegaran adalah beasiswa pendidikan yang salah sasaran.
Pernyataan ini bukan lagi rahasia publik, Mangkunegaran VI mengemukakan pendapat tersebut dalam berbagai forum dinas yang banyak dihadiri oleh rakyatnya se-Surakarta. Tentu pernyataan tersebut jadi kontroversial, rakyat kecewa dan beasiswa tebang pilih itu merupakan tindakan yang menindas.
Karena peristiwa tersebut konon percikan api pemberontakan rakyat Surakarta semakin membara.
Apalagi ketika dr. Tjipto Mangoenkoesoemo hadir dan ikut mengompori rakyat Surakarta untuk memberontak pada dua kerajaan di Surakarta. Rakyat mengamuk dan terjadi beberapa kerusuhan titik dekat dengan istana Pura Mangkunegaran.
Mangkunegaran VII Memperbaiki Sistem Pendidikan
Setelah Mangkunegaran VI turun takhta, sebagai penggantinya adalah putra mahkota Mangkunegaran VII. Ia terkenal sebagai raja Mangkunegaran yang berpikiran maju.
Salah satu bukti kemajuan berpikir Mangkunegaran VII adalah memperbaiki sistem pendidikan sebelumnya dan memperjuangkan rakyat kecil agar bisa bersekolah.
Mangkunegaran VII mendirikan banyak sekolah di Surakarta, salah satunya HIS Siswo yang terletak di halaman Pura Mangkunegaran. Saking seriusnya memperbaiki sistem pendidikan di wilayahnya, Mangkunegaran VII membangunkan gedung baru pada tahun 1920.
Gedung baru itu menjadi salah satu bukti Mangkunegaran VII menjadi seorang raja yang teladan. Karena selain untuk gedung pendidikan, tempat baru yang dibangun olehnya memiliki status sebagai gedung serba guna.
Jadi siapapun yang punya kepentingan dengan Mangkunegaran bisa menggunakan gedung HIS Siswo setiap selesai jam sekolah.
Selain membangun HIS Siswo, Mangkunegaran VII terkenal juga sebagai seorang raja yang bisa mengayomi nasib rakyatnya hingga ke daerah terpencil.
Untuk menampung semakin meluapnya animo siswa yang berkeinginan masuk sekolah di daerah kekuasaan Mangkunegaran, maka Mangkunegaran VII telah mengajukan izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membangun HIS di Wonogiri.
Tak selang lama waktu berlalu, pemerintah Hindia Belanda merespon langsung usul tersebut. Pada tahun yang sama dengan berdirinya HIS Siswo di Mangkunegaran, sekolah HIS Wonogiri berdiri dengan menggunakan biaya pemerintah Hindia Belanda sepenuhnya.
Mangkunegaran VII dianggap telah memberikan aspirasi rakyat agar bisa mengenyam pendidikan secara layak. Oleh sebab itu pada masa pemerintahan Mangkunegaran VII kerusuhan sosial mereda dan hampir tak ada.
Baca Juga: Sejarah Malaka, Kerajaan Maritim yang Kaya Tanpa Hasil Produksi
Menghapuskan Studiefonds Praja Mangkunegaran
Demi mewujudkan kesetaraan pendidikan, Mangkunegaran VII menghapuskan pemberian Studiefonds Praja Mangkunegaran pada para penguasa dan kerabat raja di lingkungan Pura Mangkunegaran.
Dahulu penerima Studiefonds Praja Mangkunegaran mendapatkan subsidi dari kerajaan untuk biaya pendidikan, kini mereka tidak lagi dapat beasiswa. Sebaliknya, bisa-bisa kerajaan menagih uang beasiswa dari si anak penikmat Studiefonds.
Sempat mendapatkan perlawanan yang ketat dari para Sentana, Pegawai Kerajaan, dan jajaran Legiun, namun Mangkunegaran VII tetap berada di jalan yang benar. Ia merasa pemberian beasiswa warisan kebijakan sang ayah tidak tepat sasaran dan menjadi sumber kerugian Mangkunegaran.
Selain menghapus kebijakan subsidi belajar untuk kaum feodal di Surakarta, Mangkunegaran VII juga merubah total kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah pribumi.
Antara lain seperti sekolah Angka Loro (Tingkat Dua) Siswa Rini yang semula hanya menggunakan pengantar bahasa Jawa, namun pada masa pemerintahan Mangkunegaran VII ditambah dengan pelajaran bahasa Belanda.
Mangkunegaran VII ingin melihat adanya modernitas dalam kerja kebirokrasian istana. Maka dari itu ia tidak alergi dengan pengetahuan Barat termasuk mempergunakan bahasa Belanda untuk jadi pengantar pelajaran di sekolah-sekolah pribumi.
Selain itu Mangkunegaran VII merehabilitasi struktur birokrasi dengan ilmu pengetahuan. Ia memberikan pula kursus bahasa Belanda untuk para juru tulis kerajaan pada tahun 1924.
Hal ini ia lakukan karena kemampuan Narapaja (pegawai istana Mangkunegaran) saat berbahasa Belanda masih buruk. Padahal bahasa Belanda saat itu merupakan media komunikasi sehari-hari yang penting, apalagi di lingkungan kerajaan seperti Pura Mangkunegaran. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu