Belanda pernah mengontrol bangsa asing agar tidak mendominasi ekonomi pemerintahannya dengan menggunakan sistem penjualan pacht.
Pertanyaannya apa itu sistem penjualan pacht? Menurut catatan sejarah kolonial Belanda, sistem penjualan pacht merupakan regulasi penjualan hak-hak pajak dan cukai untuk penjualan candu (opium), garam, bunga gadai, penyeberangan kali (ferry), dan sarang burung walet.
Pemerintah kolonial sengaja menetapkan pajak tertentu (pacht) untuk komoditi tersebut. Sebab barang-barang itulah yang biasa digunakan oleh orang asing sebagai bisnis mereka menguntungkan bagi mereka.
Rata-rata orang asing itu berasal dari etnis Tionghoa. Belanda sudah memahami cara main (bisnis) mereka yang handal. Pemerintah kolonial tak ingin kecolongan lagi, mereka akhirnya menetapkan pacht sebagai proteksi sistem ekonomi dalam birokrasinya.
Akibatnya orang-orang asing yang berada di Hindia Belanda tak bebas. Mereka tak bisa berdagang dan punya harapan akan menjadi orang sukses di sana.
Baca Juga: Sejarah Kristenisasi di Yogyakarta 1920, Tanah Sultan Dimasuki Misionaris Barat
Padahal sebelum mereka menjelajah dan memantapkan tujuan pelayaran ke Hindia Belanda yaitu bercita-cita menjadi golongan sosial yang sukses. Namun realitanya terbalik dan Belanda lebih pintar dari mereka.
Cara Kolonial Belanda Menerapkan Sistem Penjualan Pacht
Penggunaan sistem penjualan pacht hanya berlaku pada orang asing. Salah satunya pada orang-orang Tionghoa yang memang saat itu mendominasi golongan Timur Asing di Hindia Belanda.
Meskipun banyak orang Tionghoa di Hindia Belanda, hanya segelintir dari mereka yang bisa membeli pacht. Biasanya ia adalah orang kaya Tionghoa berpangkat Kapitan.
Mereka bisa membayar pacht pada pemerintah kolonial karena bisnisnya mendapat peran penting dalam komoditi opium untuk orang-orang Belanda.
Pertanyaannya untuk apa sebetulnya mereka membeli pacht? Jawabannya sederhana, selain mendapatkan otoritas berbisnis secara legal, pacht juga membantu si pemilik paspor bisnis ini keluar masuk wilayah pelabuhan di seluruh Hindia Belanda.
Mereka juga diizinkan punya tempat tinggal di luar komunitasnya (pecinan). Para Kapitan Tionghoa biasanya punya rumah mewah di komplek perumahan kolonial yang isinya orang-orang Eropa, Arab, Persia, Gujarat, dan lain sebagainya.
Selain itu bagi mereka yang punya pacht bisa juga memiliki kebun di pedesaan agraris. Artinya pacht bisa membantu pemiliknya memudahkan perkembangan bisnis.
Baca Juga: Sejarah Pergerakan Nasional 1900-an, Pemuda adalah Koentji
Namun tetap saja bisnis mereka terkontrol oleh pemerintah kolonial. Melalui data pacht Belanda hanya memperbolehkan mereka (para pembeli) memiliki tanah, kekayaan, dan investasi dengan angka yang telah ditentukan.
Membatasi Penumpukan Modal Keluarga Tionghoa
Selain mengawasi harta kekayaan melalui legalitas bisnis orang asing di Hindia Belanda, pacht juga berguna untuk membatasi penumpukan modal asing di tanah jajahan (investasi).
Biasanya para penimbun investasi tersebut berasal dari kalangan etnis Tionghoa. Mereka kemudian menjadi sasaran pertama Belanda untuk membatasi harta melalui pacht.
Gubernemen mengimbau mereka agar membayar pajak penjualan pacht. Apabila membantah dan mencoba menghindari ketetapan ini, konsekuensinya adalah hukuman penjara dan deportasi (pemulangan ke negeri asal).
Konon pada tahun 1800-an awal terdapat orang Tionghoa yang menimbun harta kekayaan dari bisnis tak terlacak di Hindia Belanda. Kekayaan mereka tak habis dimakan 7 turunan, hal ini menyebabkan ekonomi kolonial inflasi sementara.
Karena peristiwa inilah pemerintah Belanda menetapkan pembayaran pacht pada orang-orang Tionghoa kaya. Sistem pacht dianggap sebagai undang-undang penjerat bisnis orang Tionghoa sampai dengan awal abad ke-20 masehi.
Mencegah Pengusaha Tionghoa Mendominasi Ekspor Internasional
Regulasi pembayaran pacht terhadap orang asing juga bertujuan untuk mencegah pengusaha Tionghoa mendominasi ekspor-impor Internasional.
Sebab pernah kejadian pada tahun 1860-1875 ada segelintir orang Tionghoa kaya yang bisa menembus pasar dunia. Mereka menjual rempah dan komoditas lain dari Hindia Belanda ke beberapa negara besar di dunia.
Menurut J. Rush dalam buku berjudul, “Opium Farms In Nineteenth Century Java” (1977), penggunaan pacht bagi bertujuan untuk mencegah peristiwa itu terjadi lagi. Lebih pentingnya pacht menjadi aturan resmi untuk menghukum pelanggar ketentuan.
Baca Juga: Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC Pencetus Perbudakan di Batavia
Akibatnya orang-orang Tionghoa hanya bisa menjadi pemasok komoditi untuk pemerintah. Parahnya mereka menetapkan harga yang murah untuk para pemasok komoditas saat mereka hendak menjual barang tersebut ke Gubernemen.
Namun diam-diam orang Tionghoa menjadi penyelundup beberapa komoditi berbahan keras untuk dunia Internasional. Antara lain menjual logam mulia (emas), intan, dan izin pendirian tempat tinggal di komplek perumahan elit Eropa yang ada di Hindia Belanda.
Sayangnya para pebisnis Tionghoa semakin turun pamornya setelah mereka terkenal suka berebut harta warisan.
Bahkan sempat terjadi kerusuhan antar keluarga yang menimbulkan korban jiwa akibat peristiwa pembagian harta warisan.
Pemerintah kolonial mencap orang-orang Tionghoa sebagai golongan sosial yang gila materi, oleh sebab itu sampai saat ini banyak visual yang merepresentasikan mereka sebagai pengusaha dengan etos kerja yang tinggi dan pelit. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)