Sistem ekspor-impor kolonial Belanda jadi penyebab utama terbentuknya gerakan sosial di pedesaan Jawa. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan abad ke-19 atau sekitar tahun 1888. Masyarakat desa di Jawa yang notabene petani tiba-tiba berubah dari penurut jadi pemberontak.
Mereka banyak melakukan perlawanan-perlawanan sosial sebagaimana yang terjadi di Garut, Cikande Udik, Banten, Bogor, Klaten, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Terkadang pemberontakan itu dibarengi dengan tuntutan pemogokan kerja.
Para petani menyudutkan kolonial agar membatasi sistem ekspor yang menguntungkan bagi mereka dan impor yang merugikan bagi rakyat pribumi khususnya petani.
Mereka ingin pemerintah Hindia Belanda mengevaluasi ulang kebijakan ini karena tidak cocok dengan sistem bagi adil dalam hukum profesional.
Baca Juga: Sejarah Tanah Lungguh, Pemicu Mogok Buruh Tahun 1822
Nampaknya para petani yang awalnya penurut dan mengiyakan seluruh permintaan kolonial mendadak berubah dan melawan.
Para petani menjadi pintar dan punya pemikiran terbuka setelah sistem ekspor-impor kolonial mereka rasakan sebagai faktor yang menghambat ekonomi pribumi.
Sistem Ekspor-Impor Kolonial Belanda Merugikan Ekonomi Petani
Menurut S.I. Poeradisastra dalam tulisan yang dimuat di Majalah Prisma Edisi November 1981 berjudul, “Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah”, kebijakan ekspor-impor pemerintah kolonial Belanda telah menodai kesabaran para petani di Jawa.
Para petani geram, mereka marah dengan ketidakadilan kolonial yang semakin hari semakin kelihatan memonopoli ekonomi rakyat kecil.
Pemerintah Hindia Belanda kedapatan mengekspor komoditi langka dari tanah Jawa dengan harga lelang (murah) dari para petani. Namun ia juga mengimpor beberapa benda dari asing dan dijual di daerah jajahannya dengan harga yang mahal.
Jangankan golongan sosial Inlanders (pribumi), golongan kelas dua (Asing, Arab, India, dan Tionghoa) pun belum tentu bisa memiliki barang impor tersebut.
Peristiwa ini jelas memperlihatkan bagaimana pemerintah kolonial melakukan politik ekonomi dalam pemerintahannya.
Baca Juga: Sejarah Ajaran Saminisme, Gerakan Tanpa Kekerasan yang Dicemooh
Menurut budayawan sekaligus ahli sejarah S.I. Poeradisastra, hal ini yang mendorong dinamisasi rakyat desa dari sifat tunduk menghamba, nrimo, dan dahulu dianggap gambaran umum sifat rakyat desa, telah mengalami perubahan yang cukup radikal.
Terdistraksi Gerakan Sosial
Para penduduk desa di beberapa titik pulau Jawa mengalami distraksi (terpengaruh) oleh gerakan sosial yang mengarah pada pemberontakan dan pemogokan kerja. Seiring berjalannya waktu fenomena sosial ini semakin terang terlihat pada tahun 1920-an.
Selain karena sadar akan sistem ekonomi imperialisme yang kotor, lahirnya intelektual dari kalangan pribumi pun menjadi salah satu faktor yang paling menonjol atas terjadinya pemberontakan dan pemogokan.
Mereka (golongan intelektual) melatih orang-orang desa lebih kritis pada kebijakan-kebijakan baru pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya para petani yang hidup di desa mudah terpengaruh oleh berbagai gerakan protes sosial.
Kelompok sosial dari lapisan masyarakat desa berlomba-lomba mengkoreksi kinerja pemerintah kolonial. Mereka selalu skeptis terhadap kebijakan pemerintah, khawatir ada penyalahgunaan kekuasaan seperti, korupsi oleh Penguasa Feodal, Residen, dan Pamong Desa.
Dari peristiwa ini pemerintah kolonial mulai mengerahkan kekuatan militer untuk mengawasi orang-orang desa. Golongan orang desa itu perlu diberikan kontrol, dipersempit gerak politiknya, dan dibatasi percakapan-percakapannya (diskusi).
Sejak saat itu pemerintah Belanda mulai menganggap orang-orang desa sebagai kelompok kriminal baru. Oleh karena itu kehadiran orang asing di perkotaan dan berpenampilan seperti orang desa menjadi kontradiksi bagi spion kolonial kala itu.
Bergotong Royong, Kunci Orang Desa Berani Mogok dan Memberontak
Sistem gotong royong dalam kehidupan orang-orang desa menjadi perhatian mata-mata Belanda pasca meletusnya tragedi pemberontakan dan pemogokan kerja dari golongan petani dan buruh di pedesaan Jawa.
Spion Belanda mengetahui rahasia orang desa berani mogok dan memberontak. Rupanya mereka punya jiwa solidaritas yang tinggi: mati satu tumbuh seribu, berasal dari budaya lokal setempat bernama gotong royong.
Baca Juga: Sejarah Negara Pasundan, Kisah Kegagalan Subversif di Jabar
Tak heran ketika Indonesia sudah merdeka Bung Karno sering mengungkapkan istilah gotong royong, bahkan Presiden Pertama RI ini juga pernah membuat gotong royong menjadi nama kabinet kerjanya.
Pantas saja, jika kita berkaca pada sejarah ke belakang, rupanya orang-orang desa yang punya semangat gotong royong itulah kelompok sosial pertama di Indonesia yang memantik api revolusi (perubahan dunia: Mardika View).
Istilah “Sambat Sinambat” sebagai bentuk kerja sosial tanpa pembayaran membuat orang-orang desa merasakan hidup saling memiliki. Berbagai macam istilah tersebut menjadi latar belakang mereka bersatu, berani, dan memperjuangkan hak-hak berkeadilan.
Demi memotong perjuangan gotong royong orang desa, Belanda yang berasal dari golongan kapitalisme Barat terus berusaha menghancurkan kekuatan tersebut melalui berbagai sarana, salah satunya teknologi.
Menurut orang kapitalis teknologi bisa membuat orang terpecah belah, dari yang tadinya punya rasa solidaritas tinggi mendadak berubah menjadi apatis. Selain teknologi komunikasi antar desa dan kota (urbanisasi) juga mengacaukan gagasan gotong royong.
Karena teknologi semakin canggih: adanya mobil, sepeda motor, kapal, dan pesawat, membuat orang desa tergiur berangkat ke kota. Sudah sejak zaman Belanda iming-iming upah yang tinggi di kota menjadi faktor pemicu penumpukan penduduk yang akhirnya menghancurkan budaya lokal dari berbagai daerah. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)