Demi meningkatkan pendapatan daerah tahun 1909, pemerintah kolonial Belanda berusaha fokus pada sektor perekonomian dari industri kerajinan. Pemerintah kolonial melihat peluang besar dari hasil penjualan industri kerajinan di Hindia Belanda. Kemudian mereka membangun sekolah pengrajin tahun 1909.
Tujuannya untuk memuluskan niat pemerintah kolonial dalam menjadikan Jawa sebagai pusat penghasil kerajinan terbesar di dunia.
Ada beberapa jurusan di sekolah pengrajin yang dibangun Belanda, antara lain jurusan ukir kayu, ukir tanduk, anyaman-anyaman, dan keramik.
Awal pendirian sekolah pengrajin pertama kali di daerah Ngawi. Namun para Zending Belanda memperluas lagi ke beberapa daerah yang ada di Kediri, Majawarna, Kuwu, Mendut, dan Waru.
Baca Juga: Sistem Penjualan Pacht, Cara Kolonial Belanda Membendung Pengusaha Asing
Semua perekrutan para pelajar di sekolah ini gratis tak dipungut biaya. Kebanyakan anak-anak para seniman ukir yang terpilih menjadi siswa sekolah tersebut.
Mereka belajar sungguh-sungguh di sekolah pengrajin. Selain itu beberapa siswa yang punya semangat tinggi memperjuangkan nasibnya menjadi seniman ukir belajar kepada ayahnya yang juga berprofesi sebagai pengukir selepas waktu sekolah selesai.
Sejarah Sekolah Kerajinan 1909 Menginspirasi Pelatihan Tukang
Selain memperoleh pengetahuan baru dari sekolah pengrajin, alumni pertama yang lulus pada tahun 1912-1913 menginspirasi pembentukan sekolah Pelatihan Tukang tahun 1914.
Para lulusan sekolah pengrajin terkenal multitalenta, mereka bisa mengerjakan seluruh pekerjaan yang berbau pertukangan. Seperti membangun ukiran pintu, jendela, bahkan beberapa desain bangunan etnik rumah full ukiran klasik ala rumah adat di Bali.
Sekolah Pelatihan Tukang ini dibiayai langsung oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana sekolah pengrajin tahun 1909, Pelatihan Tukang mendapatkan dana dari Departemen Pertanian dalam bidang Perdagangan dan Kerajinan.
Kalau sekarang mungkin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf). Dari naungan Departemen itulah Pelatihan Tukang menjadi bagian penunjang bagi tercapainya cita-cita pemerintah: membangun ekonomi dari sektor industri kerajinan.
Baca Juga: Sejarah Kristenisasi di Yogyakarta 1920, Tanah Sultan Dimasuki Misionaris Barat
Selain memperoleh murid dari kalangan remaja pengrajin ukir di berbagai daerah, Pelatihan Tukang ini juga memanfaatkan tenaga para narapidana di penjara.
Instruktur Pelatihan Tukang memberikan ilmu pembangunan rumah, cara mengukir, menganyam, dan pembuatan keramik langsung di halaman lapas (lembaga pemasyarakatan).
Didukung oleh Perkumpulan Jong Java
Karena tujuan Sekolah Pengrajin yang berdiri pada tahun 1909 dan Pelatihan Tukang bersifat visioner, maka dukungan dari berbagai kalangan pun berdatangan.
Salah satu yang pernah mendukung program Gubernemen ini antara lain yaitu Perkumpulan Jong Java (Pemuda Jawa). Mereka menyatakan kesiapan bekerjasama untuk mengawal program ini dengan pemerintah kolonial.
Perkumpulan Jong Java melihat ada keuntungan yang memihak pribumi dari program baru tersebut. Antara lain yaitu mulai terkelolanya SDM masyarakat dari kalangan rendah untuk mempunyai keahlian.
Hal ini juga merupakan wujud nyata pemerintah kolonial Belanda dalam mempersiapkan regenerasi pribumi.
Secara tidak langsung pemerintah Belanda sedang melatih kemandirian para generasi muda dalam hal pembangunan ekonomi. Mengelola industri yang bisa menunjang sektor perekonomian negara.
Perkumpulan Jong Java tentu setuju dengan gerakan ini karena mereka memiliki keyakinan Belanda tak akan lama lagi memerintah di negerinya.
Dengan adanya persiapan seperti mengadakan Sekolah Pengrajin tahun 1909 dan lembaga Pelatihan Tukang 1914, Belanda mencerminkan sebagai sosok orang tua yang renta sedang mempersiapkan warisan untuk anaknya.
Salah satu bentuk dukungan perkumpulan Jong Java pada program tersebut terlihat dari adanya proteksi yang bisa meningkatkan bea masuk beberapa jenis barang impor yang dianggap bisa menyaingi produksi kerajinan rakyat.
Baca Juga: Sejarah Pergerakan Nasional 1900-an, Pemuda adalah Koentji
Berhasil Mengekspor Kerajinan
Pada puncaknya tahun 1915, alumni Sekolah Pengrajin berhasil menjual kerajinan ke berbagai negara di dunia (ekspor). Salah satunya ke negeri-negeri di Eropa seperti Belanda, Prancis, Inggris, Belgia, dan lain sebagainya.
Pemerintah kolonial menyokong para alumni Sekolah Pengrajin agar terus semangat meraih cita-citanya: menjadikan industri kreatif (kerajinan) jadi sektor penunjang utama ekonomi negara. Caranya, pemerintah kolonial memfasilitasi mereka dengan teknologi sederhana.
Salah satunya mesin pemutar tanah liat yang berjalan memutar dengan bantuan kaki, oven pembakar keramik dan guci, serta beberapa pisau ukir modern pada zamannya.
Tujuan pemberian fasilitas ini tidak lain untuk menyemangati para pengrajin. Mereka terus dilatih meningkatkan inovasi (kreativitas) pada bentuk karyanya, supaya bisa lebih memenuhi selera konsumen Barat.
Sedangkan Majalah Prisma Edisi 8 Agustus 1983 dalam tulisan Soeri Soeroto berjudul, “Sejarah Kerajinan di Indonesia” mengatakan jika sekolah pengrajin tahun 1909 sedikit banyak telah membuktikan bahwa Belanda sudah mengimplementasikan tujuan Politik Etis yang menekankan pemberian Edukasi pada masyarakat pribumi. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)