Sejarah orang Tionghoa di Bangka adalah salah satu sejarah penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat, meskipun menjadi etnis minoritas di Indonesia, namun etnis Tionghoa memberikan sumbangsih sejarah yang tidak sedikit.
Salah satunya adalah keberadaan orang-orang Tionghoa di Pulau Bangka. Orang-orang Tionghoa inilah yang menjadi saksi perjalanan sejarah tambang timah di Pulau Bangka.
Sejarah orang-orang Tionghoa memang cukup unik. Banyak orang yang menganggap bahwa orang-orang Tionghoa selalu kaya dan sukses.
Namun, fenomena tersebut dipatahkan dengan fenomena orang Tionghoa miskin yang ada di Pulau Bangka.
Tulisan ini akan menjelaskan tentang sejarah orang Tionghoa di Bangka, dari imigrasi hingga fenomena Tionghoa miskin.
Sejarah Orang Tionghoa di Bangka, Awal Mula Kedatangan Imigran dari China
Secara umum kedatangan orang-orang Tionghoa ke tanah Nusantara bertujuan untuk melakukan transaksi perdagangan. Kebanyakan mereka menetap di kota-kota besar seperti Batavia waktu itu.
Berbeda halnya dengan orang-orang Tionghoa yang datang ke Pulau Bangka terutama pada abad ke-18. Mereka yang datang pada masa tersebut merupakan para pekerja tambang timah yang tidak membawa anak dan istri.
Para imigran ini sengaja didatangkan untuk menggarap tambang timah yang ada di Pulau Bangka.
Kedatangan para imigran Tionghoa ini tentu saja berdampak terhadap orang-orang Melayu yang sejak awal sudah mendiami kawasan tersebut.
Menurut Erwiza Erman, dalam “Dari Pembentukan Kampung Ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung” (2009), menjelang akhir abad ke-19 para Kepala Tambang dan Tuan Kongsi banyak yang membuka perkebunan lada.
Baca Juga: Sejarah Festival Cioko di Indonesia, Tradisi Buang Sial Tionghoa
Untuk memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan biasanya para Kepala Tambang dan Tuan Kongsi ini mempekerjakan para pekerja Tionghoa yang tidak cocok bekerja tambang atau orang-orang Melayu.
Perkawinan Campuran Etnis Tionghoa dengan Melayu
Interaksi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan munculnya akulturasi antara orang-orang Tionghoa dengan orang Melayu.
Akulturasi tersebut tidak hanya meliputi kebudayaan, melainkan dalam urusan perkawinan. Orang-orang Tionghoa yang tidak membawa istri dan anak selama menjadi menjadi pekerja tambang di Pulau Bangka akhirnya menikah dengan penduduk lokal.
Orang-orang Tionghoa dan para keturunannya ini kebanyakan tinggal di kawasan pedalaman Pulau Bangka. Mereka cenderung membentuk komunitas pemukiman Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Pecinan.
Perkawinan campuran antara orang-orang Tionghoa dan Melayu sering terjadi. Baik oleh mereka yang sudah beragama Islam atau masih menganut kepercayaan lokal.
Di dalam pandangan masyarakat Bangka, pernikahan antara kedua etnis tersebut adalah hal yang lumrah. Agaknya interaksi yang terjadi selama berabad-abad lamanya membuat batasan antara kedua etnis sangatlah tipis.
Baca Juga: Sejarah Tahun Baru Imlek: Tradisi Tionghoa dari Folklore yang Melegenda
Menurut Agustina Zubair dalam, “Identitas Budaya Etnik Cina & Etnik Melayu di Bangka” (2017), fenomena ini disebut dengan Fan Ngin Tong Ngin Jit Jong atau Cina atau Tionghoa dan Melayu “sama saja”.
Sama saja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahwa Orang Melayu dan Tionghoa sama-sama memiliki latar belakang yang sama.
Tionghoa dan Melayu adalah sama-sama pendatang, sama-sama punya nenek moyang kuli tambang timah, dan sama-sama warga negara Indonesia. Persamaan inilah yang membuat proses akulturasi terjadi bahkan hingga saat ini.
Fenomena Tionghoa Miskin
Stigma yang mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa selalu kaya mungkin tidak berlaku ketika kita mempelajari sejarah dan perkembangan orang-orang Tionghoa di pedalaman Pulau Bangka.
Menurut penelitian Yodha Tony. J dalam “Fenomena Sosial Tionghoa Miskin di Desa Trubus Kabupaten Bangka Tengah”, mereka yang tinggal dan membentuk pemukiman komunitas Tionghoa ini berprofesi sebagai buruh harian, petani, dan penambang timah.
Selain itu, ada juga beberapa orang yang menggarap kebun dengan tanaman seperti lada, durian, duku, hingga rambutan. Biasanya hasil panen itu akan mereka jual pada pengepul. Mereka juga menjualnya ke warga-warga sekitar.
Selain berkebun, orang-orang yang tinggal di pecinan biasanya beternak babi. Babi-babi itu selain jadi hewan ternakan, juga menjadi bahan konsumsi pribadi.
Sehingga, sangat wajar ketika berkunjung ke kawasan perkampungan komunitas Tionghoa ini akan banyak ditemukan babi-babi ternakan.
Salah satu kebiasaan yang tidak bisa hilang dari orang-orang Tionghoa adalah melakukan perburuan babi hutan atau celeng.
Perburuan yang dikenal dengan istilah belapun atau lapun ini biasanya dilakukan oleh lebih dari 3 orang. Para pemburu membawa kawat-kawat jaring dan anjing peliharaan sebagai pengalih perhatian babi hutan.
Baca Juga: Sejarah Tambang Timah dan Orang-Orang Tionghoa di Pulau Bangka
Selain babi hutan, target buruan lain yang menjadi incaran adalah kijang, kancil, dan pelanduk Fenomena atau kebiasaan ini memang melekat pada orang-orang Tionghoa pedalaman. Meskipun saat ini orang Tionghoa pedalaman mulai meninggalkan kebiasaan tersebut.
Alasannya selain karena hewan buruan yang semakin sedikit, bahkan punah adalah karena berkurangnya kawasan hutan di Pulau Bangka.
Terlepas dari stigma Tionghoa miskin pada orang-orang Tionghoa pedalaman ini nyatanya sejarah mereka telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam perkembangan Pulau Bangka.
Akar sejarah antara orang Tionghoa dengan Melayu menyebabkan perbedaan antara keduanya tidak menimbulkan konflik dan menciptakan kerukunan dalam kehidupan. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)