Sejarah pergerakan nasional merupakan salah satu rentetan peristiwa penting dalam kemerdekaan Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat, aktor atau kunci utama dalam peristiwa ini adalah golongan pemuda.
Mereka mempunyai peran utama dalam mengubah keadaan sosial masyarakat Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi rakyat yang merdeka.
Para pemuda menjadi sentral revolusi pemberani. Namun sebelum abad ke-20 mereka menunjukan ekspresi yang lemah, apalagi para pemuda yang ada di Pulau Jawa. Mereka sudah terbiasa dengan didikan lemah lembut orang Jawa yang mengakibatkan kehilangan ekspresi masa-masa mudanya yang revolusioner.
Baca Juga: Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC Pencetus Perbudakan di Batavia
Rata-rata hal ini terjadi di kalangan pemuda yang ada di daerah Vorstenlanden atau wilayah kerajaan yang terdiri dari kekuasaan Surakarta (Solo) dan Jogjakarta. Mereka dicekoki oleh pakem, adat, dan tradisi budaya Jawa untuk menjadi lelaki yang penurut.
Bersifat melayani, menghamba pada kekuasaan Raja, dan hidup sesuai dengan tradisi, budaya, serta pakem-pakem peninggalan para leluhur orang Jawa.
Fenomena tersebut muncul akibat pengaruh feodalisme yang kuat dalam parenting orang Jawa. Para pemuda di Jogja dan Solo kebanyakan menaruh perhatian yang lebih terhadap budaya karena paksaan.
Mereka percaya jika menjadi bagian dari orang yang tidak manut pada ajaran dan tradisi Jawa maka leluhurnya bisa mengutuknya dengan penderitaan hidup. Bisa celaka, seret rejeki, dan susah jodoh.
Oleh sebab itu sifat-sifat ekspresionisme di kalangan pemuda Jawa begitu lemah akibat takut pada mitos dan kepercayaan kosmologi dari para leluhur mereka.
Sejarah Pergerakan Nasional, Pemuda di Jawa Berani Melanggar Pakem
Menurut Benedict Anderson dalam buku berjudul, “Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946” (1988), peristiwa pergerakan nasional secara tidak langsung telah mengubah tradisi dan budaya golongan pemuda di pulau Jawa.
Lahirnya organisasi sosial seperti Boedi Oetomo (1908) membuat para pemuda Jawa lebih cerdas memahami kontekstual budaya pada zaman yang dinamis. Mereka juga mendadak pintar dan memiliki pemikiran yang terbuka.
Para pemuda baru sadar jika pakem-pakem yang dahulu tak boleh dilanggar adalah faktor hirarki yang ingin meninabobokan mereka dari situasi politik di Jawa yang bobrok.
Baca Juga: Soerjopranoto si Raja Mogok, Anak Raja yang Jadi Aktivis Buruh
Sejak saat itu para pemuda berubah menjadi golongan cerdik pandai yang peduli terhadap perpolitikan kolonial. Kaum muda menuntut transparansi politik feodal dan kolonial. Pemerintah kolonial harus terbuka agar bisa dipahami bersama oleh rakyat yang melaksanakan perintah dan aturan penguasa (negara).
Namun mustahil pemerintah kolonial dan para perwakilan feodal (raja) yang ada di dua daerah (Surakarta dan Jogja) mendengar tuntutan mereka apabila mereka tidak punya banyak “suara”.
Untuk merealisasikan ini kaum muda serentak bergabung dengan organisasi pergerakan nasional. Selain dengan Boedi Oetomo, kebanyakan bergabung pada organisasi Syarikat Islam (SI).
Akibat bergabungnya para pemuda dengan organisasi sosial tadi, mengakibatkan mereka lupa pada tradisi dan kebudayaan Jawa.
Mereka menganggap ini bukan hal yang penting. Tak jauh dari sebuah alat yang sudah kedaluwarsa, pakem-pakem pendidikan pemuda di dalam budaya Jawa nampaknya sudah ditinggalkan.
Pemuda Jadi Pemeran Sentral Revolusi
Menurut Vedi R. Hadiz dalam tulisannya yang dimuat oleh Majalah Prisma No. 2 tahun 1989 berjudul, “Politik, Budaya, dan Perubahan Sosial: Sebuah Rekonstruksi dan Kritik Terhadap Pemikiran Ben Anderson”, pada tahun 1945-1949 pemuda menjadi pemeran sentral revolusi.
Sejarah mencatat, pergerakan Nasional dimulai kala organisasi Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan sebagainya memulai pendidikan politik dari tahun 1900-an. Hal tersebut membuat para pemuda terus meregenerasi kelahiran orang-orang yang cerdas dan kritis.
Kehadiran mereka dalam ranah revolusi bahkan lebih penting daripada kaum intelegensia, atau kelompok-kelompok kelas eksistensi yang teralienasi dalam kancah perpolitikan saat itu.
Para pemuda zaman ini sukses menjadi pelopor perubahan (Agent of change). Mereka berjuang untuk mendapatkan keadilan dari semesta, terutama memperjuangkan keadilannya sebagai bangsa yang merdeka.
Terlepas dari penjajahan Belanda yang berusaha menjebak rakyat Indonesia dalam kubangan politik kebodohan.
Selain itu para pemuda zaman revolusi berjuang untuk menciptakan regenerasi penerus. Negara Indonesia perlu berlanjut dengan generasi-generasi yang kritis, tahan banting dan tidak perasa. Mereka harus berjuang habis-habisan membela kepentingan bersama demi terciptanya kemerdekaan.
Baca Juga: Sejarah Atjeh Moorden, Kisah Pembantaian Orang Belanda di Aceh
Oleh sebab itu para peneliti politik Barat melihat pemuda sebagai pemeran sentral revolusi. Peran pemuda lebih penting daripada negarawan dan politisi di gedung-gedung parlementer.
Menuntut Penghapusan Kolonialisme Barat
Onghokham dalam Majalah Prisma tahun 1977 berjudul, “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”, menyebut pemuda revolusioner berhasil menuntut penghapusan kolonialisme Barat di Indonesia jauh sebelum Sukarno mendeklarasikan proklamasi tahun 1945.
Kala itu peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi kongres terbesar para kaum muda di seluruh Indonesia. Mereka berkumpul merumuskan nasib bangsa untuk menjadi rakyat yang merdeka. Peristiwa ini dianggap sebagai dasar para pemuda menuntut pembebasan dari sistem imperialisme dan kolonialisme Barat.
Tidak main-main, setelah kongres Sumpah Pemuda terlaksana, banyak kaum muda Indonesia yang berada di luar negeri membangun relasi dengan aktor-aktor politik kawakan seperti Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, dan lain sebagainya.
Sepulangnya dari luar negeri mereka menghimpun massa yang banyak dari kalangan pemuda revolusioner. Tujuannya untuk mendoktrin generasi muda saat itu supaya lebih kuat dan keras lagi dalam mengusir Belanda di Indonesia. Hatta dan Sjahrir percaya bahwa pada hakikatnya perjuangan menuju kemerdekaan tersebut juga harus dengan jalan yang memaksa. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)