Sejarah diskotek di Jakarta berawal pada tahun 1970, saat itu diskotek cenderung terbuka dan legal. Tempat gelap bertabur musik disco tersebut berstatus legal di tengah muda-mudi Ibu Kota Jakarta.
Melalui Peraturan Gubernur yang terbit pada tanggal 21 Mei 1970, Gubernur Ali Sadikin mengumumkan pada para seluruh pengusaha untuk memfasilitasi hiburan pemuda.
Apapun bentuknya tak menjadi soal bagi Ali Sadikin. Baginya, yang penting mematuhi aturan Gubernur dan membayar pajak pada pemerintah Ibu Kota secara tertib.
Gubernur legendaris berjuluk Bang Ali ini memerlukan dana pembangunan yang besar untuk Jakarta. Pada saat itu tempat hiburan malam dianggap sebagai industri terselubung yang bisa menjadi alternatif persoalan kurang dana.
Pajak dari perusahaan gelap ini lumayan besar bagi pemerintah daerah. Akibat dan risikonya juga besar. Tapi bagi Ali Sadikin yang penting untuk menolong Jakarta saat itu bukan moral melainkan income (pendapatan) yang berlimpah.
Jakarta miskin diselamatkan oleh uang izin usaha gelap. Bang Ali nekad membangun Ibu Kota dengan uang haram, meskipun harus menerima dampak miringnya, Ali Sadikin tak pernah menghindari itu sebagai permasalahan besar bagi dirinya.
Sejarah Diskotek di Jakarta Tahun 1970, Tempat Hiburan Malam Pengontrol Muda-Mudi Jakarta
Bukannya masa bodoh dengan pendidikan moral, bagi Ali Sadikin perizinan pembangunan diskotek di Jakarta merupakan alternatif dirinya mengontrol muda-mudi Ibu Kota dari rongrongan idealis Barat.
Saat itu masih gencar dampak perang dingin, meskipun Indonesia sudah dipimpin oleh Presiden pro Amerika, Suharto, pada kenyataannya banyak pemimpin-pemimpin daerah yang anti pada negara tersebut. Salah satunya ya Gubernur Ali Sadikin itu tadi.
Menurut hemat bang Ali, dansa di diskotek bisa membuat anak muda terpesona dan lupa dengan persoalan politik. Mereka masa bodoh dengan politik sehingga tak mudah disusupi oleh pengaruh Barat yang ingin menghancurkan ekonomi Indonesia.
Maka dari itu Ali Sadikin melegalkan pembangunan bisnis haram ini sebagai pertaruhan menyelamatkan generasi muda dari politisasi Amerika.
Ali sudah bosan dengan politik perang dingin yang meruntuhkan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Bagi Ali Sadikin anak muda jangan terlalu keras memikirkan politik, maklum mantan kombatan perang, Ali ingin anak muda bisa bersenang-senang sebelum tua melanda hidupnya.
Sejarah mencatat, saat itu diskotek yang mendapatkan izin pembangunan dari Ali Sadikin adalah Diskotek Tanamur di Tanah Abang, dan Mini Disco di Jalan Juanda, Jakarta Pusat.
Kebijakan Legalisasi Hiburan Malam jadi Kontroversial
Alih-alih mengetahui tujuan penuh risiko dari Ali Sadikin, beberapa golongan massa di sebelah kanan menuntut kebijakan Gubernur Ali karena telah menyimpang dengan syiar-syiar keagamaan.
Menurut Liputan Jurnalis Majalah Variasi, No. 300 Tahun 1970 berjudul, “Idrus: Yang Saya Kagumi Cuma Kris Biantoro dan Olan Sitompul”, kebijakan Ali Sadikin akan pendirian diskotek merupakan langkah pertama kali dari Gubernur Jakarta yang weird (aneh).
Seperti tidak mengerti kontur budaya di Indonesia, Ali justru berbuat kontradiksi saat memimpin pusat pemerintah sebagai kota yang bebas layaknya Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Semua pemuas dahaga duniawi ada di sana.
Mulai judi, diskotek, seks bebas, narkoba, alkohol, dan lain sebagainya jadi pusat perekonomian. Apakah Jakarta ingin meniru Las Vegas?
Jawabannya ada pada Ali Sadikin. Menurut Ali perizinan pembangunan bagi tempat hiburan malam dan rumah judi di Jakarta merupakan cara pemimpin Ibu Kota menyelamatkan keadaan ekonomi negara yang sekarat.
Menjadi catatan sejarah, kunci satu-satunya memperoleh uang banyak bagi pembangunan Jakarta ya dari hasil judi, diskotek, dan alkohol. Selain itu, tak ada satupun yang bisa menciptakan keuntungan yang lebih banyak dari pada bisnis haram itu tadi.
Alih-alih takut dikritik dan di demo oleh kelompok kanan, Ali Sadikin tetap tenang dan berwibawa. Ia bahkan mengatakan “jika tidak ingin hidup di tempat hasil uang haram jangan mau tinggal di Jakarta”. Tentu tanggapan ini membuat semua orang yang mengkritiknya terdiam.
Pemuda Jakarta Krisis Moral
Terlepas dari pro dan kontra kebijakan Ali Sadikin yang melegalkan diskotek, pada realita yang sesungguhnya, saat itu pemuda Jakarta mengalami puncak krisis moral.
Banyak masalah sosial yang tumbuh di kalangan pemuda-pemudi ibu kota. Mulai dari pemuda yang jadi pecandu narkoba, alkohol, bahkan hingga kecanduan seks bebas.
Tawuran antar kelompok pelajar juga merupakan salah satu akibat dari budaya bebas pemuda-pemudi. Banyak korban tewas sia-sia hanya karena saling pandang yang berujung baku hantam.
Paling parah lagi pada tahun 1970-an para pemuda Jakarta sering bermain judi. Mereka membangkrutkan perekonomian keluarga. Bahkan mempermalukan nama baik orang tua.
Sebab terjadi beberapa peristiwa pencurian. Setelah ditangkap dan diinterogasi oleh aparat setempat motif nyolong tersangka antara lain untuk berjudi. Mereka mencuri barang berharga milik orang lain untuk dijual kembali dan uangnya jadi modal judi.
Meskipun saat itu pembangunan di Ibu Kota Jakarta terealisasi dengan baik, tetapi sejarah mencatat, diskotek membuat moral para pemuda generasi hancur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam buku Anggadewi Moesono berjudul, “Minat Remaja pada Musik Disko: Profil Remaja Pengunjung Diskotik” (1995). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)