Sejarah ajaran tradisional Saminisme di Blora, Jawa Tengah berawal pada tahun 1980. Ajaran ini mengamalkan semangat pembebasan yang menganjurkan keadilan dan gerakan tanpa kekerasan dalam perjuangannya.
Konteks ‘gerakan’ dalam ajaran ini yaitu, ‘kiprah’ Saminisme memperjuangkan kebebasan dari cengkeraman kolonial Belanda dengan cara diam (mogok).
Saat itu para pengikut gerakan ini menjadi incaran kolonial, sebab mereka sering menghasut seluruh pengikutnya mengadakan perlawanan dalam bentuk pemogokan.
Sebagian besar para pengikut Saminisme mempercayai kesaktian guru agungnya yang bernama Samin Surosentiko. Ia berasal dari pedesaan Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang lahir pada tahun 1859.
Baca Juga: Sejarah Negara Pasundan, Kisah Kegagalan Subversif di Jabar
Samin Surosentiko berhasil menyebarkan ajarannya ke berbagai daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain di Pati, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Ngawi, Tuban, dan Lamongan.
Menurut catatan kolonial, alasan para pengikut Saminisme menjadi berkembang dan menjalar ke beberapa wilayah di Jawa karena gerakan mereka mewakili hati rakyat kecil yang terjajah.
Sejarah Ajaran Saminisme di Berbagai Daerah: Tujuan dan Cita-cita Masyarakat Terjajah
Menurut Paulus Widiyanto dalam tulisannya berjudul “Samin Surosentiko dan Konteksnya” yang dimuat di Majalah Prisma Edisi 8 Agustus 1983, ajaran Saminisme merupakan bagian dari pola-pola gerakan revolusioner.
Intinya gerakan tersebut ingin memindahkan situasi Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang mardika (bebas: merdeka).
Namun mereka sadar tidak bisa melawan penjajah (kolonial Belanda) dengan menggunakan senjata. Mengingat dalam hal persenjataan rakyat Jawa terbilang kalah ketimbang pihak Belanda yang sudah punya senjata api.
Alhasil para Saminisme merubah perlawanan revolusioner dengan gerakan yang cenderung tidak berbahaya namun beresiko gagal dan ditangkap.
Baca Juga: Sejarah Pabrik Tebu di Yogyakarta Tahun 1930 yang Memiskinkan Petani
Gerakan apakah itu? Jawabannya gerakan mogok. Berdiam diri tanpa perlawanan. Saminisme mengajarkan melawan penjajahan menggunakan gerakan tanpa kekerasan. Belanda bingung dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.
Konon gerakan ini yang menginspirasi tokoh Nasionalis India bernama Mahatma Gandhi menemukan metode “Satyagraha”. Sebutan untuk gerakan perlawanan rakyat sipil di India dalam memprotes monopoli perdagangan garam yang dilakukan oleh Inggris.
Gerakan Saminisme menjadi cermin perlawanan yang tepat bagi bangsa terjajah. Sebab melawan kejahatan tanpa senjata dampaknya lebih kena ketimbang melawannya dengan senjata. Bagi Saminisme dan Gandhisme diam adalah senjata paling mematikan.
Mencemooh Saminisme dan Mencaci Maki Kebodohannya
Seiring berkembangnya zaman dan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pengikut Saminisme dicemooh oleh banyak orang yang menamakan dirinya sebagai manusia modern (golongan berpendidikan).
Mereka menganggap remeh ajaran Saminisme dan sesekali mencaci maki kebodohannya menggunakan perkataan rasis dengan menghardik mereka orang takhayul.
Semua tindakan bernada sinisme ini terjadi akibat para pengikut Saminisme dianggap tidak umum. Ajaran ini sudah tidak relevan dengan zaman modern dan ini bertentangan dengan orientasi pembangunan pasca kemerdekaan.
Belakangan para pengikut Saminisme dikenal anti intelektual. Mereka menghindari sekolah, bahkan Belanda mencap pendiri gerakan ini Samin Surosentiko sebagai orang yang tidak bisa baca tulis.
Namun itu fitnahan belaka, setelah ajaran mendapati penyusutan pengikut ditemukan kitab suci yang menjadi pedoman kepercayaannya. Hal ini menjadi bukti jika Samin Surosentiko bisa membaca dan menulis.
Meskipun banyak dicemooh dan dicaci maki, ajaran Saminisme tidak pernah meminta dana ekonomi pada para pengikutnya. Termasuk juga pada orang yang punya kepentingan langsung dengan Samin itu sendiri.
Baca Juga: Peristiwa Kudatuli 1996, Cikal Bakal Pemicu Lengsernya Suharto
Tidak ada satu pun yang memasok dana untuk perkumpulan Saminisme. Pernyataan ini terbukti ketika Residen Tuban J. E. Jasper ditunjuk oleh gubernemen menyelidiki latar belakang ekonomi gerakan tersebut. Hasilnya nihil, tak ada satupun dugaan yang tepat.
Gerakan yang Berbahaya bagi Pemerintah Kolonial
Gerakan Saminisme dianggap perkumpulan yang membahayakan pemerintah kolonial. Sebab ajaran gerakan tersebut cepat mempengaruhi massa untuk ikut dengan tujuan mereka. Salah satu yang paling ditakuti Belanda saat itu adalah propaganda pemogokan.
Pada tahun 1908 ada satu orang Saminis di Madiun bernama Wongsoredjo. Ia ditangkap opsir Belanda karena mengajarkan para pengikutnya untuk tidak membayar pajak. Selain itu Wongso juga mengajak mereka mogok.
Aksi paling parah, ia menantang kolonial dengan mengirim surat pada residen Madiun jika para pengikut Saminis tak mempan dengan peluru dan pedang Belanda. Mereka mengajak duel Belanda satu persatu.
Keberanian orang Saminis tercermin juga pada zaman revolusi. Konon gerakan Saminisme pernah dikirim ke Surabaya untuk membantu tentara republik memerangi Sekutu dalam peristiwa 10 November 1945.
Meskipun penuh hujatan, cemoohan, dan caci maki, fakta sejarah menunjukkan setelah perang usai pengikut ajaran Saminisme di seluruh Jawa ada 3000 orang lebih, dan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)