Sapardi Djoko Damono adalah penyair terkemuka di Indonesia yang karya puisinya pernah viral pada tahun 1992 karena dibacakan oleh Perdana Menteri India, Narasimha Rao di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Non Blok) di Jakarta.
Nama Sapardi mendadak jadi sorotan dunia karena puisinya yang dibacakan oleh PM. India Narasimha Rao menandakan perdamaian. Tak heran pembacaan puisi tersebut menyita banyak perhatian publik yang terdiri dari 64 negara.
Selain karena puisinya dikutip dalam KTT Non Blok 1992, nama Sapardi Djoko Damono semakin terkenal tatkala ia berprofesi sebagai penerjemah buku berbagai genre. Khususnya kesusastraan: novel, puisi, dan cerita pendek.
Keterampilan menerjemahkan buku sastra tentu bukan hal yang main-main. Sapardi adalah tokoh intelektual berasal dari dua kampus terkenal di Indonesia. Ia juga pernah belajar tentang sastra di negeri Paman Sam, Amerika Serikat.
Baca Juga: Achdiat Karta Mihardja, Penulis Novel Atheis dari Garut
Tak heran popularitas Sapardi dalam dunia sastra tidak tanggung dan stagnan. Sebab selain sebagai sastrawan ia juga merupakan seorang pemikir yang hebat. Lantas bagaimana kisah kehidupan Sapardi sejak remaja hingga dewasa, berikut ulasannya.
Profil Sapardi Djoko Damono, Kehidupan Sederhana Seorang Sastrawan
Menurut Bakdi Soemanto dalam buku berjudul, “Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya” (2006), Sapardi Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, Jawa Tengah.
Sejak usia 10 tahun Sapardi condong menyukai sastra, sebab tidak seperti kebanyakan anak pada umumnya, Sapardi kala itu sudah menjuarai lomba puisi tingkat Sekolah Dasar.
Ketika beranjak remaja dan masuk Sekolah Menengah Atas, Sapardi kembali mengulang tinta emas menjuarai perlombaan sastra di sekolahnya. Ia berhasil menerbitkan salah satu puisinya dalam surat kabar daerah terkemuka yang ada di Jawa Tengah.
Keterampilannya bersastra menjadi pijakan Sapardi tatkala ia lulus dari SMA dan hendak melanjutkan perguruan tinggi. Sapardi yakin dan mantap memilih jurusan sastra Barat di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1960-an.
Selepas lulus dari UGM Sapardi Djoko Damono memutuskan menikah dengan teman se-almamaternya. Ia menjadi kepala rumah tangga yang sederhana. Sehari-hari menjadi penulis di surat kabar daerah dan menerjemahkan buku-buku puisi ke dalam bahasa Inggris.
Perjalanan karirnya meningkat kala Sapardi menjadi dosen di tiga Universitas terkenal yang berada di Madiun, Solo, dan Semarang.
Baca Juga: Soesilo Toer, Pemulung Lulusan Doktor Ekonomi di Uni Soviet
Di sela-sela mengajar sebagai dosen kesusastraan, Sapardi mendapatkan undangan belajar ke Amerika Serikat. Disana ia melanjutkan studi kesusastraannya hingga tahun 1973.
Sepulang dari Amerika Serikat, Sapardi resmi mengajar di Universitas Indonesia. Ia mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, jurusan Kesusastraan. Sapardi mengajar di UI hingga pensiun dan memperoleh gelar guru besar kesusasteraan.
Perdana Menteri India, Mengutip Puisi Sapardi di KTT Non-Blok 1992
Masih menurut Bakdi Soemanto, Perdana Menteri India Narasimha Rao pernah mengutip puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Pilgrimage” pada saat pidatonya dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok tahun 1992 di Jakarta.
Menurut berbagai pengamat yang melihat sikap Narasimha Rao, pembawaan puisi karya Sapardi Djoko Damono ini merupakan cara Perdana Menteri India memberikan refleksi perdamaian.
Sebab puisi Sapardi yang identik dengan tafsir “Kematian” (Pilgrimage: Ziarah) mempresentasikan pengalaman yang berkesan dalam acara tersebut. Sebagian anggota KTT Non-Blok dari 64 negara merasa pembacaan puisi tersebut dengan nuansa yang sakral.
Karena pengertian asal dari Pilgrimage atau ziarah mengingatkan pada seluruh anggota KTT Non-Blok akan sederhananya kehidupan.
Puisi itu menyampaikan akhir perjuangan adalah kematian, maka untuk apa peperangan hanya karena memperebutkan kekuasan. Toh semua akan mati pada waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Pakar politik internasional menilai pembacaan puisi Sapardi Djoko Damono tersebut menimbulkan dampak yang positif. Puisi tersebut merefleksikan dunia agar menjaga kestabilan sosial, mencegah peperangan, dan memelihara perdamaian.
Nama Sapardi pun semakin memuncak, ia semakin terkenal sebagai tokoh intelektual bangsa yang mencintai kerukunan. Sapardi sukses memberikan sumbangan sastra sebagai media aspirasi manusia menjaga stabilitas sosial di seluruh dunia.
Baca Juga: Profil Nunung Selowati, Atlet yang Dijuluki Si Mujair Kolam Renang
Menerima Sejumlah Penghargaan
Selain puisinya yang berjudul “Pilgrimage” jadi sorotan dunia, beberapa penghargaan bergengsi yang diperoleh Sapardi juga ikut melambungkan nama besarnya di dunia kesusastraan.
Antara lain Sapardi Djoko Damono pernah mendapatkan beberapa penghargaan sebagai berikut, Cultural Award dari Australia pada tahun 1978, Anugerah Puisi Putra dari Malaysia tahun 1983, dan SEA Write Award dari Thailand pada tahun 1986.
Sedangkan di Indonesia sendiri Sapardi selain terkenal sebagai penulis puisi, prosa, cerita pendek, dan esais, publik juga mengetahuinya sebagai penulis album musikalisasi puisi dari penyanyi Ary dan Reda Gaudiamo berjudul “Aku Ingin”.
Ary dan Reda merupakan Mahasiswa Sapardi ketika belajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia. Mereka berdua menjadi pencipta musikalisasi puisi karya Sapardi dan terkenal saat menyanyikan salah satu puisinya yang berjudul “Hujan di Bulan Juni”.
Sapardi Djoko Damono wafat tanggal 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB pada usia 80 tahun. Meninggal di Rumah Sakit EKA Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan setelah mendapatkan perawatan intensif akibat penurunan fungsi organ tubuh. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)