Sultan Hamid II mungkin profil yang terdengar asing bagi banyak orang. Bukan hanya karena ia tidak masuk dalam deretan pahlawan nasional, melainkan karena sejarahnya yang penuh kontroversi untuk diajarkan. Namun, siapa sangka Sultan Hamid II merupakan perancang Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia.
Garuda Pancasila merupakan salah satu karya rancangan Sultan Hamid II yang masih bisa kita lihat hingga hari ini.
Karyanya tersebut merupakan hasil permintaan langsung dari Presiden Sukarno yang waktu itu mempercayakan rancangan lambang negara tersebut kepada Sultan Hamid II.
Namun, meskipun ia telah berjasa dalam merancang lambang Garuda Pancasila sosoknya masih penuh kontroversi. Hal ini karena ia pernah terlibat dalam pemberontakan bersama Raymond Westerling yang menewaskan ribuan orang.
Baca Juga: Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil, Percobaan Kudeta yang Gagal
Berikut kisah dari Sultan Hamid II, perancang Garuda Pancasila yang penuh kontroversi.
Inilah Profil Sultan Hamid II, Perancang Lambang Garuda Pancasila
Menurut buku Nanang R. Hidayat yang berjudul, Mencari Telur Garuda Jilid II (2008), Sultan Hamid II lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid al-Qadri tepat pada tanggal 12 Juli 1913. Ia lahir di Pontianak dari pasangan Syarif Muhammad Al-Qadri dan Syecha Jamilah Syarwani.
Di dalamnya mengalir daerah Indonesia dan Arab, walaupun faktanya ia pernah diurus oleh ibu asuh berkebangsaan Inggris.
Ia termasuk kategori orang-orang yang beruntung karena lahir dari garis keturunan bangsawan. Inilah yang menyebabkan ia bisa bersekolah di sekolah khusus anak-anak Eropa yaitu ELS (Europeesche Lagere School).
Selama pendidikannya di ELS ia sering gonta-ganti sekolah, mulai dari ELS di Sukabumi, Bandung, Pontianak, dan Yogyakarta.
Selepas menempuh pendidikan di ELS ia melanjutkan pendidikan di HBS (Hoogere Burgerschool) Bandung. Orang-orang yang bisa sekolah di HBS Bandung hanya orang-orang Eropa, Timur Asing, dan elit pribumi.
Baca Juga: Dokter Achmad Mochtar, Dipancung Jepang karena Vaksin Tetanus
Sultan Hamid II juga pernah menempuh pendidikan di THS Bandung (Technische Hoogeschool te Bandoeng). Sebuah sekolah tinggi teknik pertama yang ada di Hindia Belanda waktu itu.
Untuk menunjang pengalaman militernya ia masuk ke sebuah sekolah yang bernama Koninklijke Militaide Academie yang ada di Belanda.
Melalui pendidikan inilah ia memulai karirnya dalam dunia militer. Sejak saat itu karir militernya berpindah mulai dari Malang, Bandung, Balikpapan, dan daerah-daerah di Pulau Jawa.
Merancang Lambang Negara Garuda Pancasila
Sultan Hamid II merupakan profil tokoh yang merancang lambang Garuda Pancasila. Hal tersebut merupakan permintaan langsung dari Presiden Sukarno.
Presiden Sukarno mempercayakan Sultan Hamid II untuk merancang dan merumuskan langsung lambang negara yang penting ini.
Tugas itu diberikan oleh Presiden Sukarno ketika ia masih masuk ke dalam Kabinet RIS pada tahun 1949.
Tentu tugas tersebut bukanlah hal yang mudah, bahkan Sultan Hamid II harus membentuk kepanitiaan sendiri yang bernama Panitia Lencana Negara yang beranggotakan Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka.
Ketua Panitianya adalah Muhammad Yamin yang bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk Pemerintah Indonesia.
Setelah melalui berbagai tahapan seleksi, akhirnya dipilihlah dua lambang yang cocok, yaitu hasil rancangan Sultan Hamid II dan M. Yamin.
Walaupun pada akhirnya rancangan M. Yamin ditolak dan yang terpilihlah hasil rancangan Sultan Hamid II yang bergambar Garuda.
Setelah terjadi berbagai proses penyempurnaan akhirnya rilislah lambang negara Garuda Pancasila dengan lima lambang sila Pancasila dan menggenggam pita putih bertuliskan, “Bhineka Tunggal Ika”.
Sultan Hamid II telah berupaya seoptimal mungkin agar seluruh simbol, cita-cita, nilai bangsa Indonesia dapat termuat dalam tiap wujud Garuda Pancasila tersebut.
Pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku karya Drs. Wartoyo yang berjudul, ”Filsafat dan Ideologi Pancasila: Teori, Kajian dan Isu Kontemporer” (2020).
Lambang tersebut pun rilis ke publik pertama kali pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
Baca Juga: Kapten Westerling, Kisah Sadis Komandan Baret Hijau Belanda
Tentu saja dalam perjalanannya lambang ini terus mengalami penyempurnaan, seperti penambahan jambul pada burung garuda dan bentuk cakar yang awalnya menghadap belakang menjadi menghadap depan.
Tokoh yang Penuh Kontroversi
Meskipun masuk dalam jajaran menteri dalam Kabinet RIS, namun pemerintah Indonesia saat itu menganggap Sultan Hamid II terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1950 bersama dengan Raymond Westerling.
Pemberontakan Raymond Westerling tersebut melibatkan beberapa orang yang pernah terlibat dalam KNIL, salah satunya adalah Sultan Hamid II.
Pemberontakan ini termasuk salah satu pemberontakan yang memakan korban cukup banyak terutama di Bandung yang menjadi pusat pemberontakannya.
Pemicu pemberontakan ini adalah ketidaksetujuan Raymond Westerling terhadap keputusan Pemerintah Indonesia yang menghendaki adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bubarnya Republik Indonesia Serikat.
Pemberontakan ini banyak melibatkan pasukan khusus yang tergabung dalam KNIL, terutama para orang-orang Belanda yang masih berada di Indonesia.
Dugaan keterlibatan dengan Pemberontakan Raymond Westerling atau APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) tahun 1950 membuat Sultan Hamid II ditangkap pada 5 April 1950.
Menurut Samingan dalam “Sultan Hamid II: Dibalik Layar Lambang Garuda Tenggelam Dalam Sejarah’” (2020), dugaan keterlibatan Sultan Hamid II tidak berdasarkan fakta yang jelas. Hal ini cuma berdasarkan asumsi dan bisikan orang-orang di sekeliling Presiden Sukarno.
Ia kemudian bebas ketika masa pemerintahan Presiden Sukarno berakhir yaitu pada tahun 1966.
Sultan Hamid II wafat tepat pada 30 Maret 1978 dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Terlepas dari segala kontroversinya, Sultan Hamid II sudah memberikan sumbangan yang besar bagi bangsa Indonesia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)