Akademisi Universitas Kristen Petra Surabaya, Yola Damayanti Gani dan Willy Chandra dalam Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 1, No, Januari 2007 berjudul, “Campur Sari Ala Didi Kempot, Perempuan dan Laki-laki Jawa Mendobrak Patriarki”, menyebut Didi Kempot satu-satunya penyanyi yang mendobrak patriarki melalui lagu Campur Sari.
Mendobrak Patriarki artinya adalah menghancurkan “gunung es” kelas gender yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks patriarki berarti laki-laki mendominasi gender perempuan, kaum hawa tertindas oleh laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.
Melalui lagu Campur Sari, Didi Kempot sukses meminimalisir praktik-praktik patriarki dalam kehidupan orang Jawa. Melalui karya-karya melankolis ini, Didi Kempot bisa membawa kaum adam lebih bisa menghargai perempuan dari pada sebelumnya.
Baca Juga: Sapardi Djoko Damono, Puisinya Menyihir Peserta KTT Non Blok 1992
Solo, Jawa Tengah merupakan kota asal lagu-lagu Didi Kempot lahir. Di kota tersebut ia melihat berbagai persoalan gender yang membuat gundah gulana dan ingin mengkritiknya dengan cara yang produktif: membuat lagu campur sari.
Kisah Penyanyi Campur Sari Didi Kempot Mendobrak Patriarki
Didi Kempot lahir pada tanggal 31 Desember 1966, sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia seni. Ayahnya yang seorang pelawak Srimulat –Jhony Edi Gudel menjadi pupuk bagi karir kesenimanan Didi semakin memuncak tatkala umurnya menjelang remaja.
Penyanyi Campur Sari berjuluk Lord of broken heart ini menjemput karirnya dengan jalan berliku, penuh ujian, dan berdarah-darah. Mulai dari menjadi pengamen dan menjajakan lagu-lagu hasil karyanya sendiri pada produksi rekaman pernah Didi alami.
Kempot adalah nama belakang Didi yang fenomenal dan tidak semua orang tahu apa makna dibalik nama tersebut. Kempot merupakan saksi bisu Didi tatkala bekerja menjadi pengamen. Ternyata nama kempot merupakan singkatan dari Kelompok Penyanyi Trotoar.
Ketika Didi menyanyi dengan kelompok pengamen, ia banyak melihat fenomena ketimpangan sosial di lingkungan sekitarnya. Mulai dari kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan bahkan kekerasan dalam rumah tangga.
Pemandangan ini membuat Didi geram, lantas ia menjadikan fenomena itu sebagai cermin yang menginspirasi pembuatan lagu yang kebanyakan menonjolkan sifat laki-laki yang lemah (sebaliknya dengan pelaku KDRT).
Baca Juga: Achdiat Karta Mihardja, Penulis Novel Atheis dari Garut
Adik dari pelawak Srimulat Mamiek Prakoso ini menonjolkan peran perempuan sebagai dominasi sosial dalam hubungan percintaan. Didi Kempot merubah stigma “perempuan adalah makhluk yang lemah” dengan “perempuan adalah makhluk yang kuat dan berkuasa”.
Pernyataan ini didukung oleh visualisasi kaum adam dalam lagu-lagu Didi Kempot yang cenderung bersifat melankolis, perasa, dan mudah menangis karena pertalian cinta. Salah satu lagu yang menunjukan pemandangan ini antara lain lagu Didi yang berjudul, “Stasiun Balapan”.
Mempergunakan Dialek Jawa yang Merakyat
Masih menurut Yola dan Willy, akademisi sosial Universitas Kristen Petra Surabaya ini mengklaim jika Didi Kempot tidak hanya mendobrak patriarki dengan visualisasi emansipasi gender tetapi juga dengan cara meminimalisir kramanisasi melalui penggunaan dialek Jawa yang merakyat.
Ia mempergunakan bahasa Jawa Ngoko (rakyat biasa) dalam menciptakan lirik lagu Campur Sari. Didi memilih menggunakan dialek Jawa Ngoko untuk menjaga konsistensi karyanya yang simpati dengan rakyat kecil.
Namun keuntungan lain menggunakan bahasa Jawa Ngoko dalam pembuatan lagu Campur Sari juga bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Tidak hanya kelas kecil ke bawah, namun juga kelas menengah keatas bisa ikut mendengarkan lagu-lagu tersebut.
Penggunaan dialek Jawa yang merakyat juga bermakna bahwa Campur Sari adalah lagu yang berasal dari suara rakyat. Lagu ini lahir dari pemandangan sosial di tanah Jawa dengan berbagai persoalan-persoalan hidup yang berbeda satu sama lainnya.
Campur Sari adalah genre musik tradisional Jawa Tengah yang sempat sepi penggemar. Namun jenis musik ini kembali populer ketika Didi Kempot menciptakan lagu-lagu ini melalui dialek ngoko yang bisa dipahami oleh berbagai lapisan sosial masyarakat, baik golongan tua dan muda.
Menunjukan Sifat Laki-laki Jawa yang Perasa (Melankolis)
Menurut Handayani, dkk, dalam buku berjudul, “Kuasa Wanita Jawa” (2004), lagu-lagu Campur Sari ciptaan Didi Kempot secara tidak langsung menunjukkan sifat laki-laki Jawa yang perasa atau melankolis.
Anak muda zaman sekarang mungkin memahami istilah melankolis dengan baperan. Visualisasi ini sengaja Didi tunjukan agar memajukan peran perempuan 50 kali lebih tinggi dari kaum laki-laki.
Baca Juga: Biografi Bob Sadino, Sukses Jadi Pengusaha dari Jualan Telur
Tujuannya agar emansipasi gender dalam masyarakat Jawa bisa tercapai. Peran laki-laki dan perempuan seimbang, tidak ada ketimpangan yang bisa menimbulkan persepsi bahwa perempuan lebih rendah derajatnya daripada golongan lelaki.
Visualisasi melankolis lelaki Jawa ditunjukkan Didi Kempot melalui lirik-lirik lagunya melalui istilah kata sebagai berikut; Kenangan, Kelangan, Netes eluh ning pipiku, ninggal janji, cidro, dsb.
Selain itu Didi juga sering mengekspresikan kesedihan saat menyanyikan lagu-lagunya di atas panggung dengan seringkali menutup kelopak matanya dan meneteskan air mata.
Konon pemandangan inilah yang ingin Didi sampaikan pada penonton bahwa hati laki-laki Jawa itu lemah, mereka sedih bahkan menangis ketika perempuan yang ia cintai pergi meninggalkannya.
Dengan cara itu Didi mendobrak patriarki di Jawa yang membuat lagu Campur Sari punya nilai sosial tinggi ketimbang dangdut biasa. Didi Kempot meninggal 5 Mei 2020 pada usia 53 tahun.
Kini namanya tinggal kenangan, namun lagu-lagu karya Didi Kempot masih eksis dan sering dinyanyikan oleh berbagai kalangan termasuk muda-mudi milenial. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)