Pada tahun 1925-1927, percetakan surat kabar milik pribumi di Surabaya menerbitkan tulisan Sukarno berjudul, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Dalam tulisan tersebut Sukarno menyatakan bahwa ajaran Sukarnoisme bukan Komunis. Tetapi ajaran tersebut merupakan ideologi anti terhadap imperialis dan kolonialisme.
Sukarnoisme menjadi salah satu pemikiran berpengaruh dari tahun 1920-1960. Praktisi dan pengikut ajaran ini terdiri dari berbagai macam kalangan, status sosial, dan intelektual.
Dari mulai petani, buruh, pejabat tinggi, sampai ilmuwan, semua ikut mengimplementasikan ajaran Sukarnoisme. Mereka percaya dalam ideology itu tersimpan banyak aspirasi rakyat yang belum terealisasi.
Baca Juga: Marhaenisme, Ajaran Sukarno Membela Kaum Melarat
Kaitannya ajaran Sukarnoisme bukan Komunis direspon oleh intelektual Islam, Ahmad Wahib melalui bukunya yang berjudul, “Pergolakan Pemikiran Islam” (1981).
Menurutnya Sukarnoisme memang beda dengan komunis, hanya saja idenya tidak terselesaikan dan gagal menemukan sintesis dari paham-paham yang dikaguminya (marxisme).
Maka dari itu sebagian pengamat menganggap Sukarnoisme pro pada komunisme, karena akar kuat ajaran tersebut adalah marxisme-leninisme.
Kendati demikian Sukarno tak ambil pusing dengan kritik-kritik pengamat yang menyamakan Sukarnoisme dengan Komunis. Yang pasti ia terus berjalan sesuai dengan keyakinannya, alhasil Sukarno sukses melahirkan kubu Nasionalis.
Menurut Ahmad Wahib kubu Nasionalisme yang lahir dari kelompok Sukarnois merupakan cara Sukarno menghindari tuduhan komunis adalah akar dari Sukarnoisme.
Ajaran Sukarnoisme Berbeda dengan Komunisme
Menurut Peter Kasenda dalam buku berjudul, “Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia” (2014), meskipun Sukarnoisme memiliki pandangan menggeneralisasi 3 ideologi besar –Nasionalis, Agamis, dan Komunis di Indonesia, bukan berarti Sukarnoisme pro pada ajaran komunis.
Pada masa pemerintah Orde Baru, tiga konsep tersebut menjadi persoalan bersama bangsa. Mereka menyudutkan Sukarno agar lengser dari jabatannya sebagai presiden. Akibatnya para pengikut Sukarnoisme menjadi korban tak bersalah.
Baca Juga: Sejarah Sinterklaas Hitam, Upaya Sukarno Usir Belanda Tahun 1957
Atribut beraliran Sukarnoisme kena damprat Orde Baru. Mereka menahan orang-orang yang menyimpan foto, buku, dan majalah tulisan-tulisan Sukarno. Orde Baru telah memangkas akar rumput Sukarnoisme pasca meletusnya peristiwa G30S pada 1965.
Operasi anti Sukarnoisme oleh pemerintah Orde Baru terus berlanjut hingga tahun 1970-an. Sepeninggal Sukarno barulah paham Sukarnois dianggap “aman” oleh Orde Baru.
Sebab sebelum Sukarno wafat, para pengikut aliran Sukarnoisme sering difitnah oleh aparat Orde Baru. Mereka menyamakan Sukarnoisme dengan gerakan kiri alias Komunisme padahal jelas beda.
Perbedaan antara Sukarnoisme dan Komunisme terletak dalam sudut pandang dua ideologi tersebut ketika melihat dan memberikan solusi persoalan kaum proletar.
Di Barat kaum proletar terbentuk karena timbulnya teknologi yang menciptakan kelompok sosial baru bernama kaum borjuis. Sedangkan di Indonesia kaum proletar terbentuk jauh sebelum teknologi berkembang di Barat.
Lebih mudahnya, komunisme mempersoalkan perkembangan teknologi sebagai pendorong lahirnya kapitalisme, sedangkan Sukarnoisme mempersoalkan masalah proletar karena kelahiran imperialis-kolonialisme bukan kapitalisme.
Jadi jelas dua perbedaan tersebut menjawab bahwa Sukarnoisme tidak sama dengan Komunisme. Isu yang menyamakan ajaran Sukarnoisme dengan Komunisme bisa jadi “permainan politik Orde Baru” untuk melegitimasi kekuasaan hingga 32 tahun lamanya.
Sukarnoisme Menciptakan Golongan Nasionalis
Menurut Baskara T. Wardaya dalam buku berjudul, “Bung Karno Menggugat, Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S” (2006), jauh dari perkiraan rakyat banyak pada zaman Orde Baru, ajaran Sukarnois membentuk golongan Nasionalis yang kuat.
Golongan Nasionalis artinya kelompok masyarakat yang cinta tanah air dan bangsa. Anti kolonial dan imperialisme Toleran terhadap sesama rakyat Indonesia kendati berbeda suku, budaya, dan agama.
Sedangkan dalam sejarah Indonesia, ajaran komunisme tidak membuat massa bersatu dalam konsep Nasionalis. Komunisme mengajarkan perpecahan akibat ingin menghancurkan struktur kelas. Sementara Sukarnois tak alergi struktur kelas.
Melalui massa yang terhimpun dalam aliran Nasionalisme, ajaran Sukarnois ingin menciptakan rakyat yang bersatu.
Bahkan sebelum Sukarno wafat, aliran ini pernah mengumpulkan aktivis Nasionalis. Hal itu untuk menegaskan jika bagian dari pengikut ajaran tersebut tidak ada halangan untuk bekerja sama dengan aktivis Islam dan Marxis.
Kepada para aktivis Islam, Sukarno menghimbau supaya mereka mau bahu membahu dengan para aktivis Marxis untuk bersama-sama berjuang melawan neo-imperialis dan kolonialisme.
Baca Juga: Mientje, Kekasih Bule Sukarno dan Kisah Cintanya yang Tragis
Tidak Memecah Belah Struktur Kelas
Tidak seperti aliran Marxis alias Komunis, ajaran Sukarnois tidak punya sifat buruk seperti memecah belah kelompok hanya karena perbedaan kelas dan status sosial.
Dalam ajaran Sukarnoisme struktur kelas itu penting, keberagaman dalam satu negara itu wajar. Oleh sebab itu aliran ini tak pernah mempermasalahkan pertentangan kelas.
Sukarnoisme memiliki cita-cita mempersatukan bangsa Indonesia tanpa memandang struktur kelas. Sebab negara memiliki kewajiban untuk memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
Kendati demikian aliran Sukarnoisme dan Komunisme punya kebiasaan yang sama di Indonesia yaitu, sama-sama menentang neo- kolonialisme Barat.
Hanya saja cara memperjuangkan itu berbeda satu sama lain. Misalnya komunisme mengedepankan kekuatan massa banyak dari golongan buruh-tani untuk sama-sama memonopoli teknologi agar perusahaan Barat mandul di Indonesia.
Sedangkan Sukarnois lebih suka membangun ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun sama-sama benci pada dominasi Barat, aliran ini tetap memposisikan teknologi sebagai basis pembangunan bangsa tidak memusuhinya.
Namun aliran Sukarnois bernasib sama dengan komunisme. Dua aliran yang berbeda ini tenggelam pasca peristiwa G30S tahun 1965. Padahal jika aliran Sukarnoisme saat ini masih ada, besar kemungkinan kita memiliki kualitas bangsa yang lebih maju lagi. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)