Dokter ahli paru-paru di rumah sakit Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), Surabaya, dr. M. Soetjahjo alias Joop mengatakan jika Meneer Both merupakan satu-satunya orang Belanda yang menjabat Direktur HBS (Hogere Burgerlijk School) yang pro kemerdekaan dan jadi guru debat Sukarno dari kalangan Belanda.
Meneer Both sangat berjasa dalam membentuk kepiawaian Sukarno berpidato yang berapi-api. Ia melatih Sukarno menjadi visioner dan punya wawasan politik yang luas melalui forum diskusi bersama teman-teman sekolahnya termasuk dr. Joop.
Topik diskusi yang biasa dilemparkan Meneer Both di forum ini terdiri dari berbagai cabang ilmu mulai ilmu politik, ilmu sosial, sampai ilmu ekonomi.
Baca Juga: Kisah Bung Karno Meramal Kemerdekaan RI Melalui Naskah Toniel
Tidak hanya terkenang sebagai guru debat Sukarno dan kawan-kawan lainnya di HBS, Meneer Both juga mendapatkan julukan sebagai guru yang egaliter. Hal ini tercermin dari perilaku sehari-harinya menganggap murid setara dengan statusnya saat mengajar.
Siapa pun boleh berbicara saat si guru salah berucap. Begitu juga para murid yang ingin menyanggah pendapat sang guru. Meneer Both memperbolehkan semua itu, bahkan agar muridnya tak kaku saat bicara, Both sering menyapa mereka dengan Je (You; Anda).
Padahal sebutan Je atau Anda ini tabu diucapkan oleh guru pada muridnya. Kalimat Je merupakan sapaan hormat di kalangan orang tua Belanda. Bagi Meneer Both pemilihan kata ini efektif untuk memacu perkembangan pengetahuan murid di sekolah.
Kisah Guru Debat Sukarno dari Kalangan Belanda yang Mendukung Kemerdekaan
Setiap hari minggu pagi, Meneer Both tidak libur pergi ke sekolah. Ia tetap mengayuh sepedah tuanya pergi ke HBS Surabaya.
Di sana sudah ada beberapa siswa kawanan Sukarno CS yang siap berdiskusi. Meneer Both juga hadir dalam diskusi tersebut dan memilih kedudukan dalam forum sebagai moderator.
Sedangkan Sukarno, Goesti Mohammad Satta, M. Soetjahjo (Joop), Djoko Marsaid, Herman Kartowisastro, dan Mohammad Noor sibuk membagi kursi untuk para peserta debat lain yang hadir terlambat.
Diskusi yang dimoderatori oleh Meneer Both bertempat di halaman rahasia sekolah. Namun tempat ini dianggap riskan dan bisa menimbulkan datangnya opas Belanda. Mereka kemudian memilih Panti Harsojo sebagai gantinya.
Baca Juga: Tse Tu Mei Sen, Penerjemah Mandarin Sukarno yang Diteror Orde Baru
Selama berdiskusi Meneer Both terus memperhatikan dialektika Sukarno dan kawan-kawannya. Ia melihat bagaimana retorika Sukarno bermain dengan ciamik dan menginspirasi dirinya saat mengajar di HBS.
Banyak ide atau gagasan serta teknik berbicara yang Meneer Both dapatkan dari diskusi tersebut. Terkadang Meneer Both terbawa suasana dan mengintervensi (berpendapat) diskusi tersebut secara tak sadarkan diri.
Sukarno berhasil menyihir orang-orang yang ada di forum diskusi ini agar pro pada pendapatnya. Sukarno ingin semua orang yang jadi lawan debatnya berpikir realis: Belanda adalah penjajah dan Indonesia harus merdeka.
Tak beberapa lama Sukarno berdebat dengan lawan forum, tiba-tiba kelompok luar menyerang perkumpulan ini. Ternyata mereka adalah spionase Belanda. Sukarno dan Meneer Both tidak melarikan diri. Mereka berdua mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Mereka berdua berhasil lolos dari interogasi polisi Belanda yang menduga diskusi itu adalah tempat menghimpun gerakan separatis.
Opas kolonial tertipu dengan alasan Meneer Both yang menyebut diskusi itu adalah latihan dan tugas sekolah. Padahal secara nyata dan terang-terangan pada Sukarno, Meneer Both mengakui keberpihakannya pada kemerdekaan RI.
Menginisiasi Pembentukan Klub Debat
Menurut Kadjat Adra’I dalam buku berjudul, “Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA” (2010), selain menjadi moderator dan menyatakan sikap mendukung kemerdekaan RI, Meneer Both juga telah menginisiasi pembentukan Klub Debat Bumiputera di Surabaya.
Konon dari Klub debat inilah para pemuda Jawa membentuk perkumpulan baru bernama Jong Java.
Jumlah anggota Klub Debat buatan Meneer Both ada 25 orang. Mereka menjadi dua kubu secara sengaja. Ada yang pro da nada yang kontra, keduanya dipilih sesuai dengan pendapat masing-masing –memilih hidup terjajah atau hidup bebas alias merdeka.
Meneer Both juga ikut membentuk agenda forum debat dengan menyumbangkan ide diskusi berjudul, “Pengaruh Peradaban Barat pada Remaja Pribumi”. Tema ini sengaja Both ciptakan untuk memberi pengetahuan dasar tentang sifat dunia yang diskontinuitas.
Para anggota diskusi menyetujui hari minggu sebagai agenda wajib hadir mereka untuk memperdebatkan gagasan. Meneer Both ikut menyetujui agenda rutin tersebut. Layaknya seorang ayah, Booth bertindak penengah yang absolut ketika dua kubu saling memanas.
Baca Juga: Bung Karno Alergi The Beatles: Musik Ngak-Ngik-Ngok Perusak Bangsa
Mengajarkan Pendidikan Demokrasi
Menurut Walentina W. De Jonge dalam buku berjudul, “Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen” (2013), tindakan Meneer Both yang sangat care dengan muridnya di HBS itu menandakan terlaksananya pendidikan demokrasi secara baik.
Meneer Both berhasil membawa anak-anak HBS berpikiran kritis. Jabatannya sebagai Direktur HBS membuat namanya dikenal di kalangan para pejuang Indonesia ketika akhirnya Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Dalam kacamata akademik sosial-humaniora, upaya Meneer Both mengajarkan pendidikan demokrasi melalui klub debat Sukarno dan juga kawan-kawannya merupakan upaya yang tepat untuk melestarikan pendidikan yang berkeadilan.
Konon jenis pendidikan demokrasi yang dilakukan secara santai, nyaman, dan menyenangkan murid merupakan tanda atau lambang kemajuan ilmu pengetahuan politik di Barat yang berubah sejak awal abad ke-20 masehi.
Sukarno pernah mengenang Meneer Both sebagai guru HBS yang teladan. Terlepas dari ia mendukung kemerdekaan atau tidak, Meneer Both telah mempersiapkan generasi bumiputera untuk menentukan nasib kedepannya.
Karena Meneer Both Sukarno terlatih berpidato dengan berapi-api, karena Sukano Indonesia bisa merdeka. Artinya kemerdekaan kita saat ini tak jauh dari bayang-bayang intervensi direktur HBS, Meneer Both. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)