Peter Kasenda dalam tulisannya berjudul “Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia” (2014), menyebut Marhaenisme sebagai ajaran Sukarno yang terinspirasi dari kehidupan petani.
Ideologi Marhaenisme berisi tentang kisah hidup petani yang mengedepankan gotong royong dalam bekerja. Struktur ini menginspirasi Sukarno dalam berpolitik –politik gotong royong yang diterapkannya dalam Partindo dan PNI.
Konon kata Marhaenisme berasal dari nama petani di Bandung, Jawa Barat. Saat itu Sukarno bertemu dan berbincang hangat dengannya. Ia menanyakan pada Marhaen tentang hak kepemilikan sawah dan alat produksi.
Sukarno berpikir, Marhaen si petani punya sawah sendiri, alat produksinya pun sama milik sendiri tapi kenapa masih hidup berkelindan kesusahan.
Baca Juga: Mientje, Kekasih Bule Sukarno dan Kisah Cintanya yang Tragis
Ternyata kesulitan yang sering petani hadapi –termasuk Marhaen, karena kebijakan kolonial yang mencekik.
Oleh sebab itulah para petani yang serba punya tetap hidup dalam kekurangan. Sukarno terinspirasi mendobrak persoalan tersebut melalui ajaran Marhaenisme.
Pernyataan ini sebagaimana yang disampaikan dalam kuliah umum Sukarno bertajuk, Shaping and Reshaping Indonesia” di Bandung pada 9 Juli 1957.
Kelahiran Ajaran Sukarno Marhaenisme
Menurut Bernhard Dahm dalam buku berjudul, “Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan” (1987), Marhaenisme lahir pada saat Sukarno keluar dari Partindo (Partai Indonesia) dan mulai mendirikan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) pada Juli 1927.
Namun istilah Marhaenisme tersebar di forum-forum Nasional pasca Sukarno memasukkannya dalam pledoi (surat pembelaan) berjudul, “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Kolonial Belanda, Bandung pada tahun 1930-an.
Saat itu pemerintah Belanda menangkap Sukarno karena kasus politik subversif yang ia lakukan dalam PNI. Sukarno menjadi tahanan politik dan tervonis hukuman penjara 4 tahun.
Namun karena pembelaan Indonesia Menggugat putusan pengadilan kolonial memangkas masa tahanannya jadi 2 tahun penjara. Kata-kata Marhaenisme ikut jadi sorotan dan semangat baru bagi perjuangan politik bumi putera di era 1930-an.
Selain mengungkapkan istilah Marhaenisme pertama kali dalam pledoi, Sukarno turut menyebarluaskan ideologinya itu melalui corong-corong jurnalistik.
Salah satunya melalui artikel yang terbit dalam koran Pikiran Rakyat pada tahun 1933 berjudul, “Sukarno, Marhaen, dan Proletar”.
Isi artikel yang Sukarno tulis sendiri itu antara lain memuat pengantar dasar ideologi Marhaenisme. Ia mengutip beberapa kalimat petani bernama Marhaen tentang kesulitan-kesulitan hidup kaum proletar. Rakyat harus mendukung Marhaenisme.
Sukarno sendiri sudah membiasakan ajaran Marhaenisme sejak ia masih aktif dalam Partindo –kelak membubarkan diri karena terancam kolonial dan PNI.
Baca Juga: Sejarah Sinterklaas Hitam, Upaya Sukarno Usir Belanda Tahun 1957
Ajaran Marhaenisme Membela Kaum Melarat
Sukarno mengutarakan ajaran Marhaenisme adalah implementasi pembangunan kaum melarat dengan cara gotong royong seperti kehidupan petani di desa.
Marhaenisme mengajarkan betapa pentingnya kaum petani dan buruh (proletariat) dalam perjuangan kemerdekaan.
Sukarno menganggap mereka sebagai garda terdepan yang bisa mengusir imperialisme dan kolonialisme Belanda dari Indonesia.
Petani dan buruh punya peran ganda, selain sebagai Agent of Change mereka juga merupakan kelompok sosial pembangun negeri. Petani melayani massa memperoleh beras dan buruh menyediakan kebutuhan pokok –transportasi, pembangunan, dst.
Ideologi Marhaenisme mengenalkan cara produksi kapitalisme supaya kaum proletar bisa mempelajari dan mendaur ulang produksi sehingga bisa mandiri.
Sebab pada intinya Marhaenisme merupakan ideologi yang mengajarkan rakyat menjadi bangsa yang tangguh atas kemandiriannya sendiri. Tak heran saat itu Sukarno juga mengikut sertakan istilah ekonomi Berdikari alias Berdiri di Kaki Sendiri.
Marhaenisme merupakan ajaran yang penuh optimisme. Sukarno ingin bangsa Indonesia maju dan mengejar ketertinggalan dalam hal apapun. Sebab dengan kemajuan itu bangsa ini akan terhindar dari monopoli bangsa asing.
Baca Juga: Meneer Both, Guru Debat Sukarno yang Pro Kemerdekaan
Marhaenisme, Revolusi Mewujudkan Masyarakat Tanpa Kapitalisme
Sejarawan Peter Kasenda menyebut Marhaenisme telah membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Tidak saja merdeka secara de facto dan de jure, tetapi kemerdekaan itu termasuk kemerdekaan dalam berpendapat dan menyampaikan aspirasi kebangsaan yang kita kenal dengan istilah Demokrasi.
Marhaenisme telah berhasil melatih petani terampil mengolah produksi agraris –ladang sawah, perkebunan, peternakan, dst. Setelah Indonesia merdeka hidup petani semakin terjamin, hal ini tercermin dari jumlah mereka yang aktif dalam partai politik.
PNI dan PKI rata-rata beranggotakan petani dan buruh. Belum lagi organisasi turunan (Onderbouw), ada khusus mewadahi kelompok tani dan kelompok buruh. Dua kelompok bersatu atas dasar profesi itu punya andil dalam kemajuan republik hingga saat ini.
Marhaenisme sukses mengentaskan persoalan kaum proletar menggunakan ilmu pengetahuan. Sebab satu hal yang paling utama dalam masalah-masalah petani dan buruh di Indonesia saat itu adalah ketimpangan pendidikan.
Dalam risalah berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka” pada tahun 1933, Sukarno mengatakan kemerdekaan Indonesia harus “jatuh” pada golongan yang tepat.
Bukan golongan borjuis (kapitalisme) atau aristokrat lokal, melainkan pada rakyat Marhaenis yang setiap saat menantikan kemerdekaan agar kualitas hidupnya semakin membaik dan mapan.
Dalam Marhaenisme Sukarno juga menganjurkan adanya aksi massa sebagai suplemen pengontrol kekuasaan. Berikut kutipannya, “aksi massa itu harus kearah kesadaran radikal dan menuntun rakyat kearah kemenangan”. Maka dari itu ideologi Marhaenisme terkenal sebagai ajaran revolusioner Sukarno. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)