Kisah Sukarno memilih jalan oposisi dengan pemerintah kolonial Belanda dimulai pada 25 Mei 1926. Saat itu Sukarno baru saja lulus kuliah dan menyandang gelar Insinyur. Ia harus mencari pekerjaan tetap karena sudah berkeluarga, menikahi janda Bandung bernama Inggit Garnasih.
Namun jalan kehidupan Sukarno waktu itu terbilang sulit. Karena idealismenya yang tinggi, Sukarno memilih jalan oposisi dengan pemerintah Kolonial Belanda hingga rela mengorbankan karir gemilang. Sebab sebelumnya kerabat Sukarno menawari kerja-kerja keinsinyuran berstatus pegawai tetap.
Sukarno merupakan pemuda yang punya hati baja, darahnya selalu mendidih tatkala melihat ketidak adilan pemerintah kolonial kepada rakyat pribumi. Ia memilih menentang pemerintah dari pada menghambanya hanya untuk mendapat pekerjaan.
Baca Juga: Marhaenisme, Ajaran Sukarno Membela Kaum Melarat
Akibatnya kehidupan keluarga Sukarno tidak kunjung pasti. Namun Inggit Garnasih, sang istri terbilang baik dan mengerti apa yang ada dalam hati suami. Meskipun ekonomi sehari-hari berkecukupan, Inggit rela menemani Sukarno sampai kelak tujuan hidupnya tercapai.
Tak sedikit pun Inggit menunjukan raut wajah menyesal menikah dengan Sukarno. Ia ikhlas mendapatkan rejeki dari hasil suami mengajar di sekolah partikelir milik keluarga Douwes Dekker di Bandung. Kendati tak seberapa, rejeki itu ada dan berkah.
Sukarno Pilih Jalan Oposisi dengan Pemerintah Kolonial Belanda, Idealisme Sukarno Menenggelamkan Karirnya
Menurut W. Waluyanti de Jonge dalam artikel berjudul, “Bung Karno: Inggit, Tehnya Pahit” (2015), sesudah menyelesaikan pendidikan di Bandoeng Hogere Technische School (Sekarang ITB), Sukarno mendapat tawaran kerja dari kakak iparnya menjadi pegawai tetap di Departemen Pekerjaan Umum.
Pekerjaan itu relevan sekali dengan keahlian Sukarno dalam teknik sipil, membangun perumahan, memperbaiki tata letak kota, memelihara lingkungan dan kerja-kerja kearsitekturan lainnya. Tentu hal itu merupakan bidang kerja yang Sukarno suka.
Namun ia harus rela menenggelamkan karirnya di bidang keinsinyuran hanya karena punya etika moral. Idealisme Sukarno semenjak Mahasiswa –sering melakukan aksi massa dan menolak pemerintahan kolonial, jadi alasan mengapa pekerjaan itu ia tolak.
Menurut Sukarno bekerja sama dengan pemerintah bisa memasung kebebasan berfikir dan bertindak. Semua terkontrol oleh kekuasaan kolonial, stigmatisasi budaya pekerja pemerintah yang ada dalam pikiran Sukarno saat itu adalah “diperintah dan memerintah”.
Baca Juga: Sejarah Sinterklaas Hitam, Upaya Sukarno Usir Belanda Tahun 1957
Mendidik Para Pemuda Mandiri dan Tak Tergantung pada Pemerintah
Dalam tulisan W. Waluyanti de Jonge, menggambarkan betapa ambisius dan keras kepalanya Sukarno saat ia mempropagandakan anti pemerintah. Sukarno sering menggiring para pemuda agar tidak banyak bergaul dengan budak birokrasi.
Ia mendoktrin para pemuda bumiputera supaya hidup mandiri. Salah satu caranya dengan menjadi pemuda yang apatis dengan kebijakan pemerintah kolonial.
Jangan menggubris apapun yang mereka tetapkan padanya, dengan itu pemerintah kolonial akan lemah karena tidak ada lagi pemuda yang peduli dengan pemerintahannya.
Ketika Sukarno menolak tawaran bekerja di Departemen Pekerjaan Umum dari saudaranya yang seorang pegawai pemerintah, merupakan propaganda politiknya untuk menunjukan betapa serius Sukarno ingin bebas dari belenggu kolonial
Sukarno secara blak-blakan dalam pidato-pidato politiknya saat itu ingin menghancurkan mental buruk bumiputera akibat sistem kolonialisme dan imperialisme. Sukarno hendak membangun karakter bangsa yang berdikari (akronim: berdiri di kaki sendiri) alias mandiri –tidak bergantung pada siapapun, termasuk pemerintah kolonial.
Konon propaganda ini merupakan strategi politik Sukarno yang terinspirasi dari ajaran Mahatma Gandhi, tokoh nasionalisme India itu mengajarkan perlawanan bangsanya dari penjajah dengan gerakan nir-kekerasan: Ahimsa-Satyagraha, Hartal, dan Swadesi.
Menghimpun Gerakan Memperjuangkan Kemerdekaan
Ketika Sukarno tidak bisa bekerja sesuai dengan keahlian dan mengandalkan hidup sehari-hari dari upah menjadi guru, mendorong dirinya lebih semangat memilih jalan hidup dengan cara berpolitik.
Sukarno aktif di Partai Indonesia (Partindo) pada 30 April 1931, dalam partai politik tersebut Sukarno acap kali berurusan dengan polisi kolonial. Pasalnya pidato-pidato politik Sukarno mampu mendidihkan hati rakyat untuk benci pada pemerintah.
Akibatnya tak lama setelah peristiwa itu, pemerintah kolonial membubarkan Partindo pada 18 November 1936.
Baca Juga: Mientje, Kekasih Bule Sukarno dan Kisah Cintanya yang Tragis
Pembubaran Partindo membuat Sukarno semakin semangat lagi memilih jalur politik untuk memperjuangkan kehidupan rakyat bumiputera guna memperoleh kemerdekaan. Sukarno kemudian bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Partai politik yang sudah berdiri sejak tahun 1927 ini memang bukan hal yang baru di telinga Sukarno. Ia sering bergaul dengan para kadernya semenjak masih jadi Mahasiswa di Bandoeng Hogere Technische School.
Ketika ia berafiliasi dengan PNI pidato-pidato politiknya semakin keras lagi. Sukarno terus menggodok hati rakyat supaya ikut bergerak dengan PNI melawan pemerintah kolonial. Peristiwa ini penangkapan Sukarno berulang, ketika itu ia dipaksa turun oleh polisi kolonial dari podium.
Pemerintah kolonial memvonis hukuman penjara, Sukarno “mendapatkan keadilan” kurang lebih 4 tahun hidup di jeruji besi. Namun Sukarno mendapatkan remisi dari pengadilan, hingga ia hanya menjalankan hukuman selama 2 tahun penjara. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)