Ismail Marzuki pernah mengalami sakit TBC karena memikirkan kritik pedas dari Konservatorium Barat. Mereka mengkritik lagu-lagu karya Ismail Marzuki dan menyudutkannya telah melakukan plagiasi karya dari para penyair Barat.
Cap penyadur, peniru lirik lagu, dan peminat plagiat karya, mempengaruhi karir serta kinerja dalam bermain musik. Hal ini yang membuatnya sempat anti pers.
Seperti seniman yang introvert, nama Ismail Marzuki terkenal sebagai komposer yang sering menghindari jepretan kamera dan wawancara wartawan selepas manggung.
Meskipun terus ditempa oleh kritik-kritik pedas Konservatorium Barat dan jurnalis Belanda, tak membuat nama besar Ismail Marzuki padam. Pada nyatanya publik tetap menyukai lagu-lagu Ismail Marzuki hingga menjelang Perang Dunia tahun 1940-an.
Pengamat musik sekaligus praktisi seni di Indonesia mengatakan, fenomena kritik Konservatorium Barat tidak lebih sebagai sindiran musikus Belanda yang mengalami Jealouise d’amite.
Baca Juga: Sejarah Lagu Panon Hideung, Gubahan Ismail Marzuki dari Penyair Rusia
Kecemburuan antar teman dan karir profesi sebagai pemusik adalah penyebab dari pesakitan Ismail Marzuki yang tak tahan dengan kritik.
Latar Belakang Konservatorium Barat Kritik Ismail Marzuki
Menurut Ninok Leksono dalam tulisan berjudul, “Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman” (2014), Konservatorium Barat adalah kumpulan ahli musik Eropa yang dimonopoli orang Belanda di Indonesia supaya tidak suka dengan karya-karya anak pribumi.
Ismail Marzuki menjadi salah satu sasaran mereka dalam bekerja. Karena saat itu nama Ismail sedang memuncak di pasaran musik Hindia Belanda, para alumni sekolah tinggi musik Barat tersebut merasa cemburu dengan karir Ismail Marzuki.
Mereka Jealouise d’amite karena Ismail tidak pernah sekolah di Konservatorium Barat. Jangankan sekolah di lembaga musik terkenal Belanda, memahami bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan musik di dunia saja kemungkinan besar tak paham. Namun namanya bisa melambung tinggi di dunia musik Belanda tahun 1920-an.
Karena itu oknum Konservatorium Barat mengadakan penelusuran karya Ismail dan mencari kesalahan-kesalahan di atasnya. Ketemulah satu persoalan yang bisa menjadi bahan kritik mereka terhadap popularitas Ismail Marzuki.
Mereka telah mengklaim beberapa lagu Ismail Marzuki terkena plagiat. Antara lain lagu tersebut berjudul Als de Orchideen Bloeien dan Panon Hideung. Kritikus musik dari Konservatorium Barat menyudutkan nama Ismail sebagai pemusik yang tak profesional, ia hanya bisa mengubah lirik lagu orang lain saja, selebihnya “nol”.
Peristiwa ini sempat membuat Ismail Marzuki sakit TBC. Badannya kurus kering dan sempat berhenti bermain musik, akan tetapi para fans menyemangati agar Ismail kembali menunggangi puncak popularitasnya dalam bermusik.
Kendati banyak diterpa isu miring, publik masih suka dan terus mengikuti lagu-lagu Ismail Marzuki. Mereka tetap menganggap nama besar Ismail sebagai pencipta lagu yang jenius.
Konservatorium Barat: Jealouise d’amite
Istilah Jealouise d’amite sebetulnya berasal dari pernyataan pengamat sekaligus praktisi musik Koes Hendratmo. Ia mengatakan Ismail Marzuki terkena serangan Jealouise d’amite atau kecemburuan antar teman yang berasal dari kritikan pemusik Belanda alumni Konservatorium Barat.
Penyebab utamanya jelas, popularitas Ismail Marzuki dalam bermusik mendepak eksistensi alumni Konservatorium Barat. Mereka tak punya panggung karena nama Ismail Marzuki menghiasi hampir seluruh event orkestra di Bandung dan Batavia.
Baca Juga: Ismail Marzuki, Pencipta Halo-halo Bandung yang Memikat Istri dengan Lagu
Saat itu dua daerah tersebut merupakan kota pusat hiburan paling bergengsi. Maka dari itu para alumni Konservatorium Barat merasa tersingkirkan perlahan oleh popularitas pencipta lagu Indonesia Pusaka tersebut.
Setelah selesai Perang Dunia II pada tahun 1945, latar belakang kritik yang dilontarkan Konservatorium Barat pada Ismail Marzuki semakin terlihat jelas. Intinya mereka ingin menjatuhkan pamor Ismail sebagai penyanyi hebat dan bergengsi di Hindia Belanda.
Ismail Marzuki Membuat Musik Barat Terasa Merakyat
Meskipun Ismail Marzuki bukan alumni Konservatorium Barat, setidaknya ia bisa membuat musik-musik dari Barat terasa lebih merakyat. Hal ini karena Ismail paham betul bagaimana cara membawakan lagu Barat tanpa klasifikasi kelas.
Tidak seperti kebanyakan pemusik Belanda yang menggelar konser di panggung-panggung khusus, Ismail Marzuki justru membawa musik Barat agar bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut pria yang terampil bermain saxophone ini, para pemusik Barat hanya bisa mengkotak-kotakan rakyat berdasarkan selera musik.
Baca Juga: Profil Ismail Marzuki, Berjuang Demi Kemerdekaan Melalui Melodi
Dengan kata lain musik-musik Belanda hanya bisa dinikmati oleh orang Eropa, pejabat kolonial, dan bangsawan lokal di daerah setempat. Selain itu tidak bisa, masyarakat miskin hanya mendengar keasyikan menikmati musik orchestra Barat dari dari mulut ke mulut saja.
Budayawan Jaya Suprana menyebut kebebasan Ismail Marzuki dari pakem Barat membuat popularitasnya tak bisa diganggu gugat. Sebab para penonton orchestra pertunjukannya selalu melibatkan rakyat. Ia juga sering menyampaikan aspirasi rakyat melalui lagu karangannya.
Secara tidak langsung sikap dan tindakan serta popularitas lagu-lagu Ismail Marzuki demikian, boleh jadi merupakan jawaban langsung untuk para pengkritiknya. Nama Ismail Marzuki tetap bersinar meskipun berbagai kritikan tajam yang menjatuhkan menerpanya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)