Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara pernah diasingkan karena pamflet politik. Ia bersama dengan dua teman seperjuangannya: dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan E.F.E. Douwes Dekker, awalnya mendirikan partai politik pertama Indische Partij tahun 1912.
Pemerintah Belanda menilai partai tersebut radikal, apalagi setelah mereka kedapatan menyebarkan pamflet politik bertuliskan “Als Ik een Nederlanderwas” yang berarti “Andai Aku Orang Belanda”.
Pamflet itu dinilai Belanda sebagai ujaran kebencian sebab Soewardi menulis aksara itu pada saat Ratu Belanda Wilhelmina berulang tahun pada November 1913. Tulisan Soewardi dicap sebagai pemantik kerusuhan pribumi.
Baca Juga: Berdamai dengan Masa Lalu, Jepang Bayar Santunan Eks Jugun Ianfu
Sebab karena tulisan itu rakyat bumiputera semakin paham kelakuan jelek orang Belanda di tanahnya. Mereka sengaja menarik pajak tinggi dari pribumi dan uang hasil pajak itu mereka buat untuk berfoya-foya merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda.
Tulisan yang menggegerkan itu kemudian diberangus oleh Belanda. Banyak disita dari meja-meja redaksi harian partikelir di Jogja, dan beberapa ruangan perkumpulan Indische Partij yang ada di dekat Tamansiswa. Ki Hadjar ditangkap bersama kedua kawan sejatinya.
Als Ik een Nederlanderwas, Cara Orang Jawa Guyon Parikeno dan Penyebab Ki Hadjar Dewantara Diasingkan
Soewardi Soerjaningrat merupakan anak keturunan Pakualaman yang lahir pada 2 Mei 1889. Sejak kecil sampai remaja mendapatkan pendidikan tradisional yang ketat. Oleh sebab itu laku pikir Soewardi mencerminkan sekali sebagai orang Jawa asli.
Salah satu contohnya tercermin pada saat Soewardi mengkritik Belanda dalam peringatan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Ia tidak langsung menyinggung secara frontal melainkan memakai perumpamaan Als ik een Nederlanderwas atau “Andai saja aku yang jadi orang Belanda”.
Dalam tulisan itu Soewardi juga menyampaikan betapa enaknya jadi Belanda, mereka bisa menggelar pesta yang megah dan selektif. Mereka tidak memperbolehkan pribumi masuk dalam pesta tersebut. Padahal sebagian besar modal pesta itu berasal dari keringat pribumi.
Cara Soewardi itu merupakan khas orang Jawa mempergunakan Guyon Parikeno. Artinya seperti becanda tapi mengandung makna yang dalam. Biasa digunakan untuk menasihati seseorang, memberikan pendapat yang bersilangan, atau bahkan mengkritik seperti yang dilakukan oleh Soewardi.
Guyon Parikeno tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang. Harus orang yang punya kemampuan mengolah benak menjadi bahasa yang netral. Ki Hadjar Dewantara sudah piawai menggunakan peribahasa tersebut.
Ki Hadjar Dewantara Diasingkan ke Belanda 6 Tahun
Karena tulisan itu Soewardi Soerjaningrat ditangkap oleh pemerintah kolonial. Tidak hanya Soewardi tetapi juga ada dua orang lain di belakangnya yakni dr. Tjipto dan Douwes Dekker.
Baca Juga: Profil Sultan Hamid II, Perancang Garuda Pancasila yang Penuh Kontroversi
Selama pergerakan nasional mereka terkenal sebagai tokoh yang radikal. Rakyat bumiputera menjulukinya dengan nama Tiga Serangkai. Belanda marah saat tiga orang ini terlibat pembuatan pamflet Als ik een Nederladerwas.
Tak menunggu waktu yang lama untuk mengecapnya sebagai orang radikal, Belanda langsung mengamankan beberapa barang bukti di tempat penerbitan tulisan-tulisan Tiga Serangkai yang ada di kantor Indische Partij.
Pada tahun 1913 partai tersebut dibekukan Belanda sampai waktu yang belum ditentukan. Para pengikut partai ini membubarkan diri sedangkan tiga tokoh berpengaruh Indische Partai diasingkan ke Belanda.
Soewardi (Ki Hadjar Dewantara), dr Tjipto, dan Douwes Dekker sama-sama diasingkan ke Belanda dari tahun 1913. Mereka memilih jalan masing-masing untuk melanjutkan perjuangan politik melawan ketidakadilan kolonial di tanah air.
Soewardi memilih memperdalam ilmu kependidikan, sedangkan Tjipto mendapat grasi pulang ke Hindia pada 1914 karena alasan kondisi kesehatan. Douwes Dekker pergi ke Jerman, ia disana rajin menulis di tempat keluarga dekatnya, namun pada 1918 ia diperbolehkan pulang oleh pemerintah kolonial.
Sedangkan Soewardi memilih lama tinggal di Belanda. Ia baru pulang pada tahun 1919. Setahun setelah kepulangan Douwes Dekker dari Jerman ke Hindia Belanda. Hal ini Soewardi lakukan untuk memahami struktur budaya orang Belanda.
Ia berkesimpulan jika pendidikan merupakan senjata paling utama untuk menumbangkan kolonialisme. Oleh sebab itu sekolah dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan modal awal bumiputera meraih kemerdekaan tanpa paksaan.
Aktif dalam Organisasi Perhimpunan Indonesia
Selama tinggal di Belanda, selain fokus dengan studi pedagogi Soewardi juga aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Bahkan saat itu ia pernah menjadi pengurusnya.
Pernyataan ini sebagaimana disampaikan oleh Mona Lohanda dalam buku berjudul, “Indeks Beranotasi Karya Ki Hadjar Dewantara” (2017).
Baca Juga: Deforestasi Kerajaan Sriwijaya, Penyebab Hutan Palembang Gundul Abad ke-7
Dalam buku tersebut dijelaskan pula bagaimana Soewardi memiliki kerinduan berpolitik pada jalur garis keras seperti dalam organisasi Indische Partij. Namun karena ia sudah punya pandangan lain, Soewardi memilih memperjuangkan kemerdekaan tidak melalui politik garis keras melainkan dengan mempersiapkan mutu pendidikan.
Bagi Soewardi hukuman pengasingan ke Belanda bukanlah bencana melainkan pertolongan Tuhan untuk membuat dirinya menemukan solusi memperjuangkan hak rakyat melalui berbagai cara.
Menurut Soewardi jika perjuangan meraih kemerdekaan bangsa hanya ditanggalkan pada keberanian (nyali), maka keinginan tersebut tak akan diperoleh sampai kapanpun. Harus ada spectrum lain yang membantu memuluskan jalannya perjuangan, salah satu yang paling utamanya yaitu pendidikan.
Sebelum pulang ke tanah air, Soewardi pernah menjadi pembicara dalam berbagai forum perkumpulan budaya Indonesia di Belanda. Antara lain pada tahun 1916 ia disambut baik oleh Mahasiswa Indonesia di Belanda karena berbicara dalam forum De Indische Beweging mengenai “Het Toneel en de dans de Javanen”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)