Waloejo Sedjati merupakan wanita asal Jawa Tengah yang menceritakan pengalaman hidupnya saat menempuh pendidikan di Korea Utara. Ia merupakan satu di antara puluhan eksil 65 yang memilih tinggal di Korea Utara pasca peristiwa G30S 1965.
Kisah Waloejo saat menjadi eksil di Korea Utara begitu menyedihkan dan menegangkan. Sebab menurut kacamata orang asing seperti Waloejo, Korea Utara merupakan negara yang paranoid terhadap orang asing.
Kegiatan individu selalu diawasi oleh pemerintah, saling kenal dan menyapa satu diantara dua orang Korea dengan orang asing dianggap tabu. Oleh sebab itu Waloejo Sedjati tak punya banyak teman meskipun hidup berpuluh-puluh tahun lamanya di Korea Utara.
Baca Juga: Sejarah Monumen Semangat 66 Jakarta yang Kontroversial
Kendati hidup penuh dalam tekanan, keretakan, dan angka represif aparat yang tinggi, menurut Waloejo Sedjati tinggal dan hidup di Korea Utara terjamin oleh fasilitas terbaik. Masalahnya satu: susah bergaul dengan penduduk sekitar, berbicara sekedar penting saja!
Menjadi Eksil 65 di Korea Utara, Berawal dari Beasiswa Pendidikan
Semenjak menjadi pelajar Waloejo Sedjati terkenal sebagai murid teladan dan berprestasi. Ia selalu memenangkan perlombaan Ilmu Pengetahuan Alam di berbagai tingkat hingga ke taraf Nasional.
Pada tahun 1960-an Waloejo mendaftarkan diri menjadi penerima beasiswa pendidikan ke luar negeri. Negara yang dipilihnya adalah Korea Utara, sedangkan jurusannya ilmu kedokteran. Jurusan yang hebat dan idaman setiap orang kala itu.
Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sering memberikan beasiswa ke negara-negara kiri, baik yang ada di Eropa maupun Asia.
Oleh sebab itu selain karena suka dan penasaran dengan kebudayaan di Korea Utara, Waloejo memilih negeri itu jadi tempat studi karena Korea Utara adalah negara sahabat Indonesia.
Menurut Asvi Warman Adam dalam tulisan berjudul, “Kesaksian Waloejoe Sedjati (Pyongyang)” (2015), pertama kali Waloejoe mendaratkan kakinya di Korea Utara yaitu sejak tanggal 11 Desember 1960.
Tepat di bandara ibukota Korea Utara yang terletak di Pyongyang Waloejo terkagum-kagum dengan kemegahan negara komunis yang ada di Asia.
Namun ia sempat down karena budaya orang Korea Utara yang tertutup menjadi aneh di mata Waloejo Sedjati sebagai orang Jawa yang ramah. Walaupun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, ia bisa beradaptasi dengan budaya setempat.
Lima tahun menyelesaikan studi di jurusan kedokteran Korea Utara, Waloejo pun hendak pulang ke Tanah Air. Namun berita buruk berseliweran Indonesia sedang dilanda konflik politik yang dikenal dengan G30S 1965.
Baca Juga: Sejarah Berburu Babi di Sumatera Barat, dari Budaya jadi Olahraga
Presiden Sukarno lengser dari jabatannya sebagai Kepala Negara, otomatis seluruh kebijakan soal beasiswa mahasiswa yang ada di luar negeri dicabut, termasuk paspor dan kelengkapan lainnya.
Waloejo adalah salah seorang korbannya. Ia tidak bisa pulang dan memilih tinggal di Korea Utara, meskipun penuh dengan suasana yang represif setidaknya Korea Utara bisa mengamankan dirinya dari amuk massa di Tanah Air yang kerap mengira para mahasiswa di luar negeri adalah simpatisan komunis (PKI).
Kehidupan di Korea Utara Tahun 1960-an
Korea Utara pada tahun 1960-an merupakan negara yang tidak toleran terhadap kekuatan asing. Oleh sebab itu Korea Utara memiliki struktur birokrasi yang ketat dan represif.
Negara ini tak menoleransi kepentingan individu. Terlepas dari penganut ajaran komunisme, sifat kebersamaan orang Korea Utara lebih dominan dari pada bangsa-bangsa lainnya di dunia. Maka dari itu orang Korea Utara kerap curiga dengan orang asing.
Kaderisasi ajaran komunis dan sosialis di Korea Utara terbilang kuat. Para orang tua biasanya memberikan pendidikan ideologi dimulai anaknya pada usia masih balita bahkan bayi yang baru belajar berbicara.
Ibu-ibu di rumah biasanya akan mengajar bayi berbicara mulai dengan mengucapkan kata-kata yang menghormati pemimpin tertinggi di negara tersebut yakni Kim Il Sung seperti, “Kim Il Sung a-pe-ci, u-ri-nen- heng-pok-he-yo” yang artinya: “Ayahanda Kim Il Sung, Kami sangat berbahagia!”.
Selain bayi, anak-anak usia remaja wajib membaca beberapa aksara yang ditanggalkan diatas gedung sekolah. Jika malam hari aksara itu menyala bertuliskan, “Kim Il Sung Apeci Komapseumnida” yang artinya: “Ayahanda Kim Il Sung, Kami berterimakasih”.
Sedangkan untuk orang dewasa pembelajaran ideologi di Korea Utara terletak lebih wajar, antara lain seperti mewajibkan punya buku atau bacaan yang berasal dari buku karangan pilihan Kim Il Sung di setiap rumah dan tempat bekerja.
Kuliah Kedokteran di Korea Utara: Unik Bersifat Non Medis
Waloejo Sedjati punya pengalaman unik lain saat kuliah jurusan kedokteran di Korea Utara. Ia merasa salah masuk jurusan, sebab kuliah jurusan kedokteran di sana kebanyakan membahas politik dan ideologi (non-medis).
Baca Juga: Berdamai dengan Masa Lalu, Jepang Bayar Santunan Eks Jugun Ianfu
Hanya sebagian kecil mempelajari anatomi tubuh, obat-obatan, dan lainnya. Kebanyakan mempelajari propaganda politik kiri yang bersifat pragmatis.
Kuliah kedokteran di Korea Utara juga sering disusupi oleh pelajaran kemiliteran. Para mahasiswa dan mahasiswinya diberikan latihan dasar peperangan, sedangkan bagi rakyat Korea Utara harus mengikuti pelatihan wajib militer.
Selama wajib militer para mahasiswa dan mahasiswi asing diisolasi. Waloejoe Sedjati pernah mengalami ini ditempatkan di asrama Institut Politeknik “Kim Caik”.
Seluruh aspek kehidupan mahasiswa/mahasiswi kedokteran diatur dengan disiplin kolektif yang ketat. Mirip kehidupan di barak militer. Ada ketua kelas yang punya powerfull dan wajib berkegiatan kolektif: agenda kesehatan bersama, bersih-bersih asrama, penjagaan (militer) asrama, dan lain-lain. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)