Ketika pemerintah kolonial Belanda membuang Bung Karno (Sukarno) ke pulau Ende, Mantan Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) ini pernah meramal kemerdekaan RI melalui naskah toniel yang ia realisasikan menjadi pertunjukan teater.
Kebiasaan merenung Sukarno membuahkan tulisan-tulisan yang berkembang menjadi naskah toniel. Tak main-main, setiap kata dan adegan yang dari olah sutradara Sukarno sendiri membuat pertunjukan ini semakin realistis dan kaya akan nilai artistik.
Tak heran orang-orang Flores kala itu selain mengenal Sukarno sebagai politisi, tetapi juga mengenalnya sebagai seorang seniman: pelukis dan pemain toniel (teater).
Baca Juga: Tse Tu Mei Sen, Penerjemah Mandarin Sukarno yang Diteror Orde Baru
Selain menyutradarai dan menulis naskah toniel, kadang-kadang Sukarno ikut main nimbrung bersama para pemain toniel yang lain ke atas panggung.
Adegan ini membuat semua orang buangan (tahanan politik kolonial) di Ende terhibur, termasuk masyarakat asli Flores ikut riang gembira menyaksikan penampilan Sukarno bermain toniel.
Masyarakat sana senang dengan kehadiran Sukarno di Flores. Mereka terhibur dengan kreativitas sang Putra Fajar. Pasalnya sebelum Sukarno datang ke Ende, masyarakat Flores tak punya hiburan, bioskop pun tak ada.
Keluh kesah ini membuat Sukarno dan kawan-kawan pemain toniel terinspirasi membuat grup seni pertunjukan toniel bernama “Oneel Club Kelimutu”.
Mereka sepakat mengadakan pagelaran ini setiap hari sabtu –malam minggu di tempat Pastoran, halaman gereja Paroki Santa Maria Imaculata, Flores. Pengunjung datang dari berbagai penjuru Ende, semua sudut terisi ramai, padat, sorak sorai gembira.
Bung Karno jadi Sutradara Toniel, Meramal Kemerdekaan RI
Menurut Lambert Giebels dalam buku berjudul, “Soekarno Nederlandsch Onderdaan Een Biografie 1901-1950” (1999), awal Sukarno menjadi sutradara dan penulis naskah toniel di Ende terjadi dari sebuah keisengan.
Ia ingin menunjukan bakat baru yang terpendam: selain melukis, berpolitik, dan membuat arsitektur rumah. Salah satu bakat baru itu adalah menulis naskah dan menyutradarai seni pertunjukan modern bernama toniel.
Baca Juga: Jatuhnya Pesawat B-26 dan Upaya Agen CIA Menghabisi Sukarno
Selain orang-orang buangan yang senasib dengan Sukarno, Inggit Garnasih (Istri kedua Sukarno) ikut terlibat dalam dunia baru sang suami (bermain toniel). Konon Inggit lah yang memberikan nama grup toniel Sukarno dengan nama Oneel-Club Kalimutu.
Kalimutu merupakan salah satu nama sungai di Flores yang indah. Saat itu Inggit sering menemani Sukarno mandi di sungai tersebut. Ia jatuh cinta dengan jernih air sungai Kalimutu dan terinspirasi menamakan grup toniel Sukarno dengan tambahan Kalimutu.
Masyarakat Ende di Flores menanggap toniel sebagai hiburan yang mendidik. Sebab banyak petuah-petuah yang Sukarno buat untuk kemajuan bangsa. Tulisan naskah toniel Sukarno tak lepas dari perjuangan melawan penjajah agar menjadi bangsa yang merdeka.
Dari Toniel Sukarno Punya Perpustakaan
Ketika Sukarno menampilkan karya tonielnya di kepastoran (gereja Katolik) di Flores, ia berkenalan dengan para pemuka agama yang baik dan berpikiran maju.
Meskipun mereka orang Belanda tapi para pastor itu mendukung Sukarno untuk membuat bangsanya merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan.
Pastor baik hati kenalan Sukarno tersebut adalah Pastor Huijtink, Pastor Bouma, Pastor Johannes Van der Heijden, dan Pastor yang juga seorang sejarawan bernama M. Van Stiphout.
Selepas pertunjukan toniel selesai Sukarno tak langsung pulang ke rumah. Ia sering mengajak diskusi para pastor yang kebetulan hadir dan menyaksikan pertunjukan toniel yang Sukarno gelar di halaman gereja hingga larut malam.
Dari perkenalan yang tak kurang dari 1 bulan lamanya, Sukarno mendapatkan perhatian baik dari mereka, para pastor Belanda.
Saking baik dan menghormati Sukarno, para pastor rela meminjamkan kunci ruangan rahasia di dalam gereja yang ternyata berisi buku-buku alias perpustakaan.
Seluruh pastor di gereja itu memberikan akses gratis pada Sukarno apabila ia ingin membaca buku kapanpun.
Seolah-olah para pastor itu memberi gudang ilmu yang berisi tumpukan buku di dalam tempat suci umat Katolik yang terletak di daerah terpencil pulau Ende, Flores.
Sukarno mengaku senang dengan sambutan ini. Baginya pemberian kunci perpustakaan rahasia merupakan hadiah yang tak terduga.
Ia juga sangat antusias menghadiri pertemuan pastor karena mereka, Sukarno menemukan lawan diskusi yang sepadan.
Baca Juga: Kisah Sukarno Jadi Pengangguran dan Guru yang Dipecat
Melalui Toniel Bung Karno Meramal Kemerdekaan RI
Setelah membaca buku-buku dari perpustakaan pastor di Flores, Sukarno bak tersengat setrum magnet yang membuatnya produktif menulis naskah toniel.
Ide-ide kreatif Sukarno terus mengalir seperti air terjun yang berarus deras. Pada puncaknya Sukarno menulis naskah toniel berjudul “1945”.
Isi naskah ini mengejutkan banyak orang yang menonton. Pasalnya Sukarno telah meramal kemerdekaan RI yang konon akan terealisasi pada tahun 1945.
Sebagaimana harapan Sukarno saat itu, ketika Indonesia menyambut tahun 1945, ide-ide Sukarno yang tertuang dalam naskah toniel berjudul “1945” menjadi kenyataan. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Cindy Adam mengatakan ini seperti ramalan Jayabaya, Sukarno bisa menebak masa depan Indonesia secara tepat.
Padahal naskah toniel berjudul “1945” itu sudah terbit dan menjadi pertunjukan menarik yang mengundang banyak perhatian warga Ende sejak tahun 1938.
Menurut para pastor yang saat itu masih ada di Flores menuturkan, “itulah kekuatan literasi, semua bisa terwujud. Sebab apapun yang menjadi niat dan tujuan berawal dari impian”.
Konon Sukarno berhasil merealisasikan obsesi tentang kemerdekaan Indonesia. Ia sukses memberikan sugesti positif pada bangsa Indonesia agar mereka bisa bebas (merdeka) tepat di tahun 1945. Inilah definisi “perjuangan tak menghianati hasil akhir”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)