Selasa, Mei 13, 2025
BerandaBerita TerbaruKisah Agus Salim Mengkritik Polisi: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara

Kisah Agus Salim Mengkritik Polisi: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara

Agus Salim pernah mengkritik kekerasan polisi dalam surat kabar halaman depan Fajar Asia pada tahun 1927. Agus menulis kritikannya itu dengan tulisan berjudul “Rakyat dan Polisi”.

Isinya membuat siapapun yang membaca menjadi yakin bahwa kerja-kerja polisi kolonial semakin hari semakin tidak benar. Tercermin dari beberapa tindakan sewenang-wenang yang mengarah pada tindak kekerasan berdalih memintai keterangan (interogasi).

Dalam tulisan tersebut, Agus Salim menuntut pertanggungjawaban pemerintah hindia Belanda atas kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap salah seorang anggota PSI (Partai Syarikat Islam).

Baca Juga: Kretek Haji Agus Salim dan Sindiran untuk Pangeran Philip

Agus Salim ingin ada penyelesaian dalam berbagai bentuk dan upaya baik pemerintah kepada si korban. Jangan sampai seperti kasus-kasus sebelumnya: tidak selesai dan bersifat masa bodo saja, tidak ada itikad baik apalagi meminta maaf.

Tak main-main dengan peristiwa dan usulan ini, Agus Salim sampai membawa kritikan pada polisi ini ke berbagai forum publik. Bahkan sampai ke meja Volksraad atau meja Wakil Rakyat yang mungkin saat ini setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kisah Agus Salim Mengkritik Polisi Kolonial Belanda

Menurut Marieke Bloembergen dalam buku berjudul, “Polisi Zaman Hindia Belanda, dari Kepedulian dan Ketakutan” (2011), kritikan Agus Salim pada polisi yang dimuat dalam surat kabar Fajar Asia pada tahun 1927 merupakan kritikan yang sinis namun mendidik.

Hal tersebut tercermin dari penegas ulangan kembali kata-kata yang termuat dalam undang-undang kepolisian Hindia Belanda. Agus Salim menulis sebagai berikut:

“Seorang polisi dilarang mempergunakan ancaman kekerasan, dan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan”.

Tulisan ini sengaja Agus Salim muat untuk mengingatkan kembali pada para personil polisi kolonial yang mungkin lupa, tidak tahu, ataupun sengaja bahwa melakukan kekerasan apapun alasannya oleh pihak kepolisian itu hukumnya dilarang.

Selain melalui tulisan, politikus senior Syarikat Islam berjuluk The Grand Old Man ini juga memperjuangkan anti kekerasan polisi melalui berbagai pidato politik di forum publik.

Salah satu yang menarik dan berdampak langsung pada perbaikan citra kepolisian kolonial antara lain terjadi saat Agus Salim menyampaikan isu kekerasan polisi yang meresahkan banyak masyarakat ini pada podium wakil rakyat (Volksraad).

Baca Juga: Haji Agus Salim, Siswa HBS Tolak Beasiswa Kartini ke Belanda

Banyak anggota Volksraad yang setuju dengan pendapat Agus Salim. Tak sedikit dari mereka yang memberikan tepuk tangan meriah saat pidato Agus Salim yang mengkritik polisi dan menentang penyalahgunaan kekuasaan dalam tubuh kepolisian.

Agus Salim mendapatkan panggung baru yang mengantarkan namanya menjadi populer pada tahun 1940-an. Berkat pemikiran dan kritikan pedas itu kepolisian kolonial berjanji melakukan evaluasi kerja dan menghindari seminim mungkin segala bentuk kekerasan.

Agus Salim: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara

Masih menurut Marieke Bloembergen, sejarawan penulis buku polisi Hindia Belanda ini mengklaim Agus Salim sebagai tokoh Nasional yang tegas. Ia berani menentang negara untuk bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi pada kader PSI yang dilakukan oleh polisi.

Menurut Agus Salim kekerasan polisi bukan bersifat individu melainkan ada kepentingan kolektif. Entah siapa yang jelas Negara merupakan representasi dari akronim kolektif itu tadi. Ia menyebut kekerasan polisi adalah kekerasan negara.

Kekerasan yang dilakukan oleh polisi terjadi bukan karena reflek atau sesuatu hal yang tak disengaja. Kekerasan polisi berasal dari kebiasaan penyidikan yang mana di Belanda (negeri induk) disebut dengan istilah kekerasan sistematis.

Artinya kekerasan sistematis adalah penggunaan kekerasan sebagai alat paksa. Tujuannya mendapatkan keterangan yang jujur dan benar tidak menyesatkan dari si pelaku kejahatan. Bentuknya beragam, bisa menggunakan alat ataupun kekerasan verbal.

Kendati demikian yang bersalah bukanlah individu polisi melainkan atasan. Sebab dalam sistem kerja demikian,bukan petugas polisi individual yang harus mempertanggungjawabkan tindak kekerasan tersebut.

Mereka (individu polisi) hanyalah sekedar pelaksana negara sebagai atasan tertinggi mereka. Maka dari itu Agus Salim mengatakan kekerasan polisi adalah kekerasan negara. Komandan tertinggi mereka adalah negara.

Baca Juga: Sejarah Berburu Babi di Sumatera Barat, dari Budaya jadi Olahraga

Kekerasan Polisi Merusak Citra Negara Kolonial

Agus Salim menyayangkan atas peristiwa kekerasan polisi yang kerap menimpa masyarakat bumiputera, hal ini telah berubah dari bentuk maskulinitas aparat menjadi faktor yang merusak citra negara kolonial.

Dahulu polisi kolonial tidak sering terlibat kekerasan dalam penangkapan pelaku kejahatan, mereka lebih kondusif dan bisa kooperatif dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penangkapan disertai kekerasan baru dilakukan pasca pemberontakan komunis yang gagal pada tahun 1926-1927.

Tidak tahu pasti apa yang menyebabkan hal ini terjadi, yang jelas polisi kolonial selalu membela diri dengan pledoinya dalam Volksraad sebagai berikut:

“Pemerintah yakin bahwa kepolisian sebagai satu kesatuan, merupakan alat negara yang terhormat dan berwibawa. Dan karenanya reputasinya tidak dapat dan boleh dianggap tercemar sekadar karena perilaku beberapa oknum.”

Selain tidak ingin disalahkan secara personal (individu), polisi kolonial juga selalu mengklaim bahwa mereka menjalankan tugas negara. Kekerasan itu hadir sebagai representasi negara menciptakan rakyat yang bermoral.

“Pemerintah berkeyakinan bahwa tiada yang lebih diinginkan kepolisian terkecuali mengupayakan terwujudnya ideal kepolisian yakni, kedinasan dari orang-orang yang memiliki tujuan hidup, moral, dan karakter leluhur.” (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Korban Ledakan Amunisi Kadaluarsa

Dari 13 Jenazah Korban Ledakan Amunisi Kadaluarsa di Garut, 9 Berhasil Teridentifikasi

harapanrakyat.com,- Hingga Senin (12/5/2025) malam, petugas medis RSUD Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, baru bisa mengidentifikasi 9 jenazah korban ledakan amunisi kadaluarsa. Saat ini masih...
Pemusnahan Amunisi Afkir di Garut

13 Nyawa Melayang, Pemusnahan Amunisi Afkir di Garut Ternyata Dilakukan Bukan di Lahan Milik TNI

harapanrakyat.com,- Pemusnahan amunisi afkir di Garut, Jawa Barat, yang menyebabkan 13 nyawa melayang pada Senin (12/5/2025), dilakukan di Kecamatan Cibalong, tepatnya di kawasan Pantai...
Pondok Pesantren Darul Qur’an

Kebakaran Hebat Melanda Pondok Pesantren Darul Qur’an di Sumedang, Begini Kondisi Para Santri

harapanrakyat.com,- Kebakaran hebat melanda bangunan Pondok Pesantren Darul Qur’an Al-Islami di Dusun Pakemitan, RT 02 RW 05, Desa Cimalaka, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa...
Pemain Lokal Persib Bandung

Tampil Cemerlang di Liga 1 2024-2025, 4 Pemain Lokal Persib Bandung Layak Masuk Radar Timnas

Tampil cemerlang di BRI Liga 1 2024-2025 hingga meraih gelar juara, para pemain lokal Persib Bandung pun layak untuk ikut membela Timnas Indonesia. Karena...
Sanksi untuk PSSI

FIFA Jatuhkan Sanksi untuk PSSI Jelang Timnas Indonesia Lawan China

FIFA jatuhkan sanksi untuk PSSI. Tentu saja sanksi tersebut akan membuat Timnas Indonesia alami kerugian saat melawan China di Kualifikasi Piala Dunia 2026. PSSI mendapatkan...
Keluarga Korban Ledakan Amunisi Kadaluarsa Terus Berdatangan ke Kamar Jenazah RS Pameungpeuk Garut

Keluarga Korban Ledakan Amunisi Kadaluarsa Terus Berdatangan ke Kamar Jenazah RS Pameungpeuk Garut

harapanrakyat.com,- Keluarga korban ledakan pemusnahan amunisi kadaluarsa di Kabupaten Garut, Jawa Barat, terus berdatangan ke kamar jenazah RSUD Pameungpeuk, Senin (12/5/2025) malam. Mereka diminta...