Majalah politik bertajuk “Penghela Rakjat” yang terbit pada April 1947 memberitakan kekalahan Belanda pasca Perang Dunia (PD) II dan sifat pengecut para perwiranya. Mereka kabur ke Australia dan menumbalkan serdadu pribumi pada fasisme Jepang.
Belanda takluk pada Jepang dan memilih menghindari musuhnya tersebut ke Australia. Di sana mereka terlindungi oleh daerah kawasan Sekutu, sebab saat itu Australia merupakan negara yang bersekutu dengan negara-negara kuat di Barat, salah satunya Inggris.
Konon kekalahan Belanda pasca PD II oleh Jepang pada tahun 1942 silam karena lemahnya kekuatan militer mereka. Belanda tidak bisa mengimbangi rakyat fasisme yang sudah terlatih perang, sedangkan militer Belanda di negeri jajahan tidak punya basic tersebut.
Baca Juga: Reorganisasi Keamanan Tahun 1897: Mengganti Prajurit Jawa dengan Korps Kepolisian
Dalam situasi terjepit seperti ini sifat asli Belanda semakin jelas terlihat. Mereka licik dan punya politik devide et impera (adu-domba) yang kuat.
Hal ini tercermin saat Belanda membiarkan para serdadu dari pribumi yang habis jadi korban keganasan Jepang dari pada mengorbankan serdadu sesama bangsanya sendiri.
Kekalahan Belanda Pasca PD II Membawa Dampak Buruk Bagi Serdadu Pribumi
Harry A Poeze dalam buku berjudul, “PKI SIBAR: Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945” (2014), menuturkan ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, militer kolonial memajukan lebih awal serdadu pribumi untuk menghadapi tentara Dai Nippon.
Sedangkan para petinggi militer Belanda duduk manis di kantor-kantor pusat militer. Sementara beberapa lainnya mengungsi mencari tempat persembunyian. Mereka lari dan ketakutan karena siapapun orang kulit putih yang Jepang temui maka mereka akan mati.
Para serdadu dari golongan pribumi bersusah payah menghadapi tentara Jepang. Karena kurang terlatih mereka jatuh menjadi korban keganasan para pasukan Nippon. Tewas secara mengenaskan, bahkan ada kepalanya yang terpenggal dan digantung di pohon kelapa.
Kekalahan pasca PD II, membuat serdadu Belanda dari kelompok pribumi menjadi tumbal peperangan Jepang vs Belanda tahun 1942. Sedangkan para perwira militer Belanda bersembunyi sembari menunggu pertolongan dari tentara negara induk. Sebagian besar mengungsi menggunakan kapal gelap ke Australia.
Baca Juga: Kebakaran Ladang Tebu Zaman Belanda, Terinspirasi Revolusi Industri?
Sifat-sifat pengecut Belanda terekam dalam tulisan majalah Penghela Rakjat (1947), wartawan yang memproduksi berita tersebut memvisualisasikan Belanda sebagai berikut:
“Mereka hanja memberi komando dari belakang sadja. Sedang jang haroes bertempur mati-matian serdadoe bangsa kita (pribumi)”.
Terjadi Insiden Serdadu Pribumi Lawan Perwira Belanda
Ketika Belanda memutuskan mengungsi ke Australia, serdadu pribumi berkewajiban menjaga dan mempertahankan keamanan Hindia Belanda. Para perwira Belanda tak memberi izin pada mereka keluar dan menghindari pasukan Jepang.
Saat ketetapan kebijakan itu berlangsung, ada segelintir serdadu pribumi yang mengetahui wacana pemindahan perwira Belanda ke Australia. Mereka pindah untuk mengungsi dan menghindari kejaran musuh. Militer Hindia Belanda tidak siap berperang.
Para serdadu pribumi merasa ditinggal tanpa ada imbalan, mereka hanya berbekal doktrinasi militer kolonial yang “menyesatkan”. Akibatnya para serdadu pribumi berpangkat kopral sepakat menghimpun kekuatan untuk melawan balik Perwira Belanda.
Mereka melemparkan peluru meriam ke arah tempat berkumpulnya para Perwira Belanda. Sekumpulan petinggi militer kolonial itu pun hancur tak tersisa, mereka tewas tertimpa peluru meriam yang meletus sengaja oleh anak buahnya sendiri.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip pendapat majalah Penghela Rakjat (1947) sebagai berikut:
“Karena Djengkelnja, dipoetarnja moeloed meriam oleh si kopral (serdadu pribumi) ke arah toean besarnja (perwira Belanda) dan habislah tjerita. Semua hancur tak bersisa”.
Baca Juga: Kisah Agus Salim Mengkritik Polisi: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara
Orang-orang Australia Memusuhi Pengungsi Belanda
Kendati Belanda menjadi anggota yang bersekutu dengan negara-negara borjuasi Barat di Australia, bukan berarti kehadiran mereka di negeri Kangguru itu diterima oleh setiap pihak yang tinggal lebih awal di sana.
Pada kenyataannya Belanda dimusuhi oleh orang-orang Australia karena kasus pembiaran pembunuhan para serdadu pribumi yang tersiar melalui surat kabar luar negeri hingga sampai ke Australia.
Orang-orang Australia juga tak suka pada Belanda, sebagaimana diungkapkan Harry A Poeze dalam bukunya PKI SIBAR (2014), “orang Australia sangat djidjik melihat kesombongan dan penakoetnja Belanda”.
Saking terhinanya di Australia, pernah ada seorang Overste Belanda (Pejabat) bernama Breenhouwer menyerah pada orang Australia dan diberikannya pekerjaan mencuci piring di tempat penampungan orang Belanda yang mengungsi di Australia.
Orang Australia mengklaim kekuatan militer orang Belanda di negeri jajahan tidak sepadan dengan pembiayaan yang negeri Induk (Belanda) berikan. Mereka korupsi dan menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Akibatnya militer di sana lemah.
Pernyataan ini sebagaimana mengutip Harry A Poeze dalam PKI SIBAR (2014) sebagai berikut:
“Sedjak dahoeloe serdadoe Hindia Belanda hanja mendapat latihan menghadapi kekerasan di dalam negeri, membubarkan demonstrasi, menangkapi orang-orang mogok, dan menembak orang-orang komoenis jang berontak. Latihan oentoek menghadapi serangan moesoeh dari loear sama sekali tidak ada”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)