Sejak tahun 1880, fenomena kebakaran ladang tebu pada zaman Hindia Belanda berkembang menjadi masalah kriminal serius yang sering menimbulkan pertanyaan, “apa tugas aparat yang sebenarnya?”
Pemerintah Belanda kesal dengan petugas keamanan mereka karena kurang bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Pemerintah mengalami banyak kerugian dari keteledoran aparat semacam ini.
Konon mereka (aparat kolonial) tidak disiplin dan kurang berpengalaman karena terbatasnya pembekalan sebelum bertugas. Aparat keamanan kolonial tidak bisa menangkap pelaku pembakaran ladang tebu.
Baca Juga: Kisah Agus Salim Mengkritik Polisi: Kekerasan Polisi adalah Kekerasan Negara
Akibatnya pemerintah semakin geram dan mencopot beberapa pejabat tinggi aparatnya dengan alasan tidak disiplin. Pemerintah kolonial mencopot pangkat mereka secara tidak terhormat dan menggantikannya dengan tenaga baru yang lebih berpengalaman.
Namun demikian intensitas kebakaran ladang tebu terus berlangsung tinggi. Pada puncaknya terjadi tahun 1900-an, beratus-ratus hektar kebun tebu dan pabrik gula ludes terbakar. Entah apa penyebabnya, namun dugaan kuat kebakaran ini adalah sabotase dari pemberontakan petani dan buruh.
Kebakaran Ladang Tebu Zaman Belanda, Kasus Kriminal yang Serius
Menurut W. Boekhoudt dalam laporan berjudul, “Rapport reorganisatie van het Politie wezen op Java en Madoera (uit gezonderd de Vorstenlanden, de particuliere landrijen en de hoofdplaatsen Batavia, Semarang en Soerabaia) 1906-1907”, fenomena kebakaran ladang tebu merupakan kasus kriminal yang ditanggapi polisi kolonial secara serius.
Pasalnya fenomena kebakaran ladang menjadi penyebab meruginya ekonomi pemerintah secara drastis. Sebab saat itu salah satu komoditi termahal di pasar internasional adalah suiker atau gula pasir.
Pemerintah kolonial mendorong petugas keamanan mereka supaya kerja lebih cepat lagi dari pada sebelumnya. Pejabat tinggi urusan militer Belanda bahkan mengultimatum jajarannya, apabila kasus ini tidak selesai dalam waktu dekat, maka pemecatan tidak terhormat adalah imbalannya.
Baca Juga: Gaboengan Moeda Partindo, Organisasi Politik Kontra Spionase
Polisi kolonial pun bekerja lebih teliti dan serius lagi, mereka menelusuri kasus pembakaran ladang tebu itu sampai mempraktikan kerja-kerja spionase. Mereka menyamar mencari pelaku pembakaran sampai ke pedalaman-pedalaman Jawa.
Boekhoudt melaporkan ada banyak kejanggalan tatkala para polisi kolonial menyelidiki kasus pembakaran ladang tebu. Pertama, mereka sulit mencari siapa pelaku yang paling bersalah karena ada beberapa kelompok terduga pelaku pembakaran ladang tebu.
Kedua, para terduga pelaku pembakaran ladang memiliki hubungan erat dengan administrator perkebunan tebu itu sendiri. Mereka bahkan terkenal sebagai salah satu pegawai yang baik dan teladan di lingkungan pekerjaannya.
Namun sudah menjadi ciri khas pemerintah kolonial yang represif, mereka ditangkap dan masuk ke penjara setelah melewati beberapa pertanyaan yang bersifat menginterogasi.
Konon salah satu pemicu pembakaran ladang tebu di beberapa daerah pedesaan Jawa pada abad 20 terinspirasi dari gerakan-gerakan melawan penindasan di Barat pasca revolusi industri tahun 1850
Gerombolan pelaku pembakaran ladang tebu itu adalah kelompok Kasan Moekmin. Komplotan mereka berhasil membakar ratusan hektar ladang tebu sekaligus pabrik gula Sroeni di Surabaya pada tahun 1853.
Peristiwa Kebakaran Ladang Tebu Disinyalir karena Pengawasan Aparat yang Tak Ketat
Masih menurut Boekhoudt, salah satu penyebab terjadinya peristiwa kebakaran ladang tebu disinyalir akibat kerja aparat yang kurang ketat.
Mereka masih bisa disogok harta dan kekayaan oleh oposisi pemerintah, loyalitas polisi kolonial menjadi pertanyaan besar saat kasus pembakaran ladang tebu tembus ke meja hijau.
Ketika petinggi kolonial menanyakan hal itu, menteri urusan keamanan lingkungan menjawabnya dengan santai. Boekhoudt masih ingat dengan jawaban tersebut, konon menteri keamanan lingkungan berdalih tidak punya banyak anak buah.
Aparat mereka di pedalaman Jawa tak merata, sebab beberapa lainnya dikirim ke pedalam-pedalaman Nusantara untuk merebut wilayah kekuasaan kolonial. Akibatnya aparat di Jawa kurang banyak, hal ini yang menyebabkan mereka tidak bertindak ketat.
Anak buah menteri keamanan lingkungan Belanda mengaku banyak keluhan dari anak buahnya. Mereka takut dengan jumlah pemberontak yang lebih banyak dari pada satuannya, oleh sebab itu kekalahan pasukan menjadi penyebab utama lemahnya aparat.
Adapun rencana penambahan jumlah anggota aparat saat itu tak memungkinkan karena membutuhkan biaya yang besar. Sedangkan keadaan ekonomi pemerintah sedang inflasi, sehingga upaya penambahan anggota aparat jadi sia-sia dan tak terealisasi.
Wacana penambahan anggota aparat keamanan baru terjadi sejak tahun 1919, pemerintah kolonial menyelenggarakan pemeliharaan keamanan di berbagai daerah termasuk pedalaman (pedesaan).
Antara lain melengkapi aparat-aparat di berbagai bidang sektoril yang terdiri dari, polisi perkebunan (Cultuur Politie), polisi pamong pradja (Bestuur Politie), polisi bersenjata (Gewapende Politie), dan polisi desa (Desa Politie).
Baca Juga: Soerabaiasch Handelsblad, Koran Belanda yang Pro Eropa
Mengandalkan Preman untuk Mencegah Kebakaran Ladang Tebu
Meskipun sudah merealisasikan peremajaan perangkat keamanan negara, pemerintah kolonial masih menjumpai angka kriminalitas yang tinggi soal kebakaran ladang tebu.
Mereka sudah bosan berurusan dengan penyebab kebakaran ladang tebu yang pintar bersembunyi dari kejaran polisi. Konon saat itu pemerintah kolonial mempekerjakan Djagoan yang punya ilmu kanuragan untuk memburu pelaku pembakaran ladang.
Para preman itu mendapatkan imbalan yang besar dari Belanda. Mereka juga punya kewenangan yang lebih tinggi dari aparat kolonial biasa. Namun kewenangan para Djagoan ini terbatas hanya ada di wilayah perkebunan tebu.
Karena sudah enak dengan kehidupan yang serba ada dan mendapat sanjungan sana-sini, membuat para preman itu tak tahu diri. Mereka ingin merampas kekuasaan lain selain yang ada di ladang tebu.
Para Djagoan tersebut memonopoli keamanan yang menyebabkan terjadinya banyak tindakan kriminal di pabrik gula. Mereka memalak upah para buruh dengan kejam. Hal inilah yang memicu kembali pemberontakan itu berkobar.
Kehadiran Djagoan atau preman di ladang tebu bukan meredam masalah melainkan memicu percikan api masalah yang lebih besar dari pada sebelumnya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)