Sejarah wayang golek mendapat perhatian dari para peneliti Barat karena ternyata kesenian ini terpengaruh seni pertunjukan boneka di Tiongkok.
Konon kesenian wayang golek mulai muncul dan populer di tengah masyarakat Sunda pada paruh abad ke-16 masehi.
Persebaran wayang golek yang terpengaruh dari budaya Tiongkok awalnya singgah di masyarakat pesisir Utara Jawa atau yang saat ini kita kenal dengan kawasan Pantai Utara Jawa alias Pantura.
Orang-orang Tiongkok membawa sebagian besar wayang golek dari negerinya ketika singgah sebentar di Pantura. Mereka berdagang dan menjelajahi Jawa termasuk dengan budaya, adat, dan tradisi serta kesenian. Wayang golek Tiongkok menjadi salah satu bukti nyata mereka peduli pada kesenian tradisional.
Baca Juga: Sejarah Islam Jawa di Keraton Yogyakarta, Asal Mula Munculnya Islam Putihan dan Abangan
Setelah singgah beberapa waktu di pesisir Utara Jawa, orang-orang Tiongkok merambah ke daerah Jawa Barat. Dulu kawasan tersebut bernama Priangan. Karena di Jawa Tengah sudah ada kesenian wayang kulit, maka di Priangan kesenian wayang golek mendapatkan perhatian lebih.
Masyarakat Priangan menyambut baik kesenian wayang golek yang saat itu mulai berkolaborasi dengan fragmentasi budaya Sunda dan Tiongkok.
Sejarah Wayang Golek, Seni Pertunjukan Boneka Terpengaruh Budaya Tiongkok
Menurut Olivier Johannes Raap dalam buku berjudul, “Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe” (2017), wayang golek merupakan pertunjukan sandiwara boneka yang terpengaruh oleh budaya Tiongkok.
Para ilmuwan Barat beranggapan wayang golek yang ada di tanah Pasundan berasal dari kebudayaan sandiwara boneka orang Tiongkok.
Namun pernyataan ini mendapat sanggahan dari sebagian budayawan Sunda, sebab wayang golek tidak hanya terpengaruh oleh budaya Tiongkok.
Jauh sebelum itu, masyarakat animisme-dinamisme di tatar Sunda sudah memvisualkan wayang golek dengan boneka kayu
Artinya wayang golek merupakan hasil kolaborasi antara dua kebudayaan Sunda-Tiongkok yang pernah terjadi pada abad ke-16 masehi.
Sejarah mencatat, saat itu wayang golek datang dari pesisir Utara Jawa. Masyarakat Jawa Tengah di sekitar Demak, Kudus, dan Pati membawa tradisi wayang golek datang ke tanah Sunda.
Masyarakat Sunda menyambut baik tradisi ini karena sebelumnya orang Priangan tak punya seni wayang yang berasal dari kebudayaan asli tatar Sunda. Oleh sebab itu mereka menerima ini sebagai suatu hal baru yang bersifat menghibur.
Baca Juga: Kisah Maestro Affandi Keliling Eropa karena Lukisan
Perkembangan wayang golek semakin meluas ke beberapa daerah di Tatar Sunda ketika zaman kolonial. Kesenian wayang golek menjadi kesukaan orang-orang Belanda yang datang di awal abad ke-19.
Menurut peneliti kebudayaan Sunda di Belanda bernama P. Buurman dalam buku berjudul, “Wayang Golek” (1970), sekitar tahun 1800-an orang-orang Belanda sering mengakomodasi pertunjukan wayang Golek di sekitar Priangan Timur, termasuk Ciamis dan Tasikmalaya.
Ia mengatakan wayang golek yang ada di Priangan Timur adalah pertunjukan boneka kayu tiga dimensi yang menancap di dua batang pohon pisang.
Ceritanya berkisar pada pertentangan antara tokoh baik (ada di sebelah kanan dalang) dan tokoh jahat (ada di sebelah kiri dalang). Masyarakat di sana antusias melihat pertunjukan ini karena merupakan hal yang baru dan mengesankan.
Wayang Golek Jadi Media Penyebaran Agama Islam
Menurut Rosyadi dalam Jurnal Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung berjudul, “Wayang Golek dari Seni Pertunjukan ke Seni Kriya” (2009), sama seperti halnya fungsi dakwah wayang kulit oleh Sunan Kalijaga di Tanah Jawi, wayang golek yang ada di Priangan juga pernah jadi media penyebaran agama Islam yang menarik dan sinkretis.
Para dalang wayang golek yang menyebarkan Islam biasa disebut dengan pertunjukan wayang golek menak. Ceritanya berbeda dengan kisah wayang pada umumnya.
Sebab kisah wayang golek menak memunculkan tokoh Semar sebagai pemilik kewenangan duniawi. Kedudukan Semar lebih tinggi dari Mahabharata dan Ramayana dalam kepercayaan agama Hindu.
Semar menjadi sosok kharismatik yang bisa direpresentasikan sebagai Ulama atau pemuka agama Islam yang bertugas menyiarkan petuah-petuah Rasul dan Nabi.
Tradisi Semar sebagai tokoh Islami terus berlanjut hingga tahun 1980-an. Termasuk oleh dalang kondang di Priangan, H. Asep Sunandar Sunarya selalu menyelipkan petuah Islami melalui tokoh Semar.
Masyarakat di Tatar Sunda percaya bahwa wayang golek menyimpan petuah-petuah kehidupan yang berorientasi pada ajaran Islam.
Baca Juga: Sejarah Festival Cioko di Indonesia, Tradisi Buang Sial Tionghoa
Oleh sebab itu seluruh percakapan dalang merupakan nasihat Islam yang bisa memancarkan sinar terang di kegelapan jalan kehidupan manusia.
Dengan kata lain dialog yang keluar dari ucapan dalang wayang golek merupakan ilmu pengetahuan Islam yang penting dan berharga.
Mitos Klenik Menonton Wayang Golek
Sejarah mencatat, pemerintah kolonial Hindia Belanda kurang suka dengan pertunjukan wayang golek pada awal abad ke-20. Sebab banyak para penonton sehabis lalajo wayang menjadi pembangkang dan suka melanggar perintah kolonial.
Mereka terbuka mata hati, pikiran, dan akal budi setelah menonton wayang golek. Secara tidak langsung wayang golek jadi faktor pemicu lahirnya pemikiran rasional yang sifatnya menyudutkan kekuasaan kolonial.
Ya, para penonton wayang golek sering mengecam Belanda sebagai penjajah. Mereka tak sudi apabila pemerintah kolonial terus berkuasa di tanah Pasundan.
Maka dari itu sebelum pengaruh ini lebih luas lagi, pemerintah kolonial pernah menyebarkan mitos yang bersifat mengadu domba dalang dan penonton wayang. Orang Belanda menciptakan mitos klenik dalam pertunjukan wayang golek.
Salah satu mitos itu antara lain, jika hendak menonton wayang, sebaiknya harus menonton sampai selesai. Sebab pertunjukan wayang selalu menghabiskan waktu semalam suntuk itu jika tak tuntas bisa menimbulkan musibah.
Pertunjukan wayang yang biasa mulai pukul 8 malam dan selesai pada pukul 4 pagi seolah sakral. Konon apabila ada penonton yang tidak tamat menonton wayang dan memilih pulang kembali ke rumah, maka ia akan mendapatkan teror makhluk halus.
Kepercayaan lain yaitu, menonton wayang golek setengah cerita bisa menimbulkan banyak masalah dan mengalami banyak kesialan. Salah satunya musibah kecelakaan, kerugian usaha, dan kebangkrutan rumah tangga.
Tak perlu khawatir dengan semua mitos klenik tersebut, sebab pemerintah kolonial sengaja menciptakan ini untuk menipu penggemar wayang supaya mereka tidak lagi menonton pertunjukan wayang golek. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)