Sekolah jahit di Bojonegoro, Jawa Timur menjadi alternatif pekerjaan bagi wanita pada tahun 1910. Hidup pada zaman kolonial Hindia Belanda, mendapatkan pekerjaan untuk wanita sungguh sulit tak semudah dengan apa yang dibayangkan saat ini.
Paling tinggi para wanita bekerja menjadi buruh pemetik teh, kopi, dan cengkih di perkebunan milik orang Belanda. Sedangkan rata-rata wanita di Indonesia saat itu bekerja sebagai budak Belanda dan arsitokrat lokal.
Sekolah menjahit buka pada tahun 1910 membuat keadaan sedikit demi sedikit mengubah kehidupan wanita di Hindia Belanda.
Penyelenggara sekolah jahit mempersiapkan kaum hawa sebagai orang yang bisa memiliki pekerjaan lain selain menjadi buruh kasar. Dalam kurikulum sekolah jahit satu hal pertama yang diajarkan guru adalah kemandirian.
Baca Juga: Sejarah Islam Jawa di Keraton Yogyakarta, Asal Mula Munculnya Islam Putihan dan Abangan
Sebagian orang menyebutnya dengan kursus menjahit. Sekolah tersebut pertama kali berdiri di Bojonegoro, Jawa Timur. Pembentuk sekolah jahit adalah kelompok Sekolah Zending Salatiga. Lembaga pendidikan Kristen Protestan yang penginjilnya datang langsung dari Jerman sejak abad ke-19 yang lalu.
Mereka ingin membuat wanita Jawa tangguh. Tidak saja tangguh dalam pekerjaan kasar alias tenaga, tetapi juga tangguh dalam akar pikiran, kemampuan berfikir dan bisa hidup mandiri tanpa tergantung pada orang lain termasuk lelaki.
Kendati demikian sekolah jahit juga menanamkan pelajaran kodratiah seorang wanita yang harus bisa menjadi seorang istri bagi suami dan ibu yang mengayomi bagi anak-anaknya kelak.
Sekolah Jahit di Bojonegoro Berasal dari Salatiga Zending
Salatiga Zending adalah badan pengabaran Injil (Penginjil) yang berpusat di kota Salatiga, Jawa Tengah. Lembaga agama milik Kristen Protestan tersebut memprakarsai sekolah jahit yang ada di Bojonegoro.
Para Zending melihat potensi wanita di daerah itu sangat efektif apabila menjadi seorang penjahit. Sebab mereka piawai menyulam dan terampil mereparasi baju yang sudah sobek menjadi baik kembali.
Menurut Olivier Johannes Raap dalam buku berjudul, “Soeka Doeka di Djawa Tempoe Doeloe” (2017), Salatiga Zending berasal dari gagasan seorang Pendeta Eropa yang datang ke Jawa sejak tahun 1884.
Mereka datang bergantian dengan penugasan misionaris dari Jerman. Tujuannya menyebarluaskan agama Kristen Protestan di tanah Jawa dengan berbagai cara dan strategi, salah satunya menggunakan jalur pendidikan alias membangun sekolah.
Selain mendirikan sekolah para penginjil dari Jerman itu juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial lain. Salah satunya terlibat dalam pembangunan balai pengobatan, panti asuhan, rumah miskin, dan sekolah jahit khusus wanita di Bojonegoro.
Baca Juga: Sejarah Festival Cioko di Indonesia, Tradisi Buang Sial Tionghoa
Tujuannya memang mulia dan punya orientasi memanjang guna mempersiapkan regenerasi penerusnya di masa depan.
Pengagas Salatiga Zending ini adalah seorang Penginjil Protestan bernama Adolf Zimmerbeutel yang datang bersama istrinya Wilhelmine Zimmerbeutel- Haussels.
Mereka juga terkenal fasih berbahasa Jawa. Oleh sebab itu masyarakat pribumi di Salatiga dan Bojonegoro menyambut baik kedatangan bule yang pintar berbahasa Jawa tersebut.
Pribumi di Bojonegoro Menyambut Baik Pembangunan Sekolah Jahit
Guru sekolah jahit mendapat sambutan hangat dari pribumi di Bojonegoro. Para orang tua atau wali murid berbondong-bondong mendaftarkan anak, cucu, keponakan, dan cicit perempuan ke sekolah jahit yang dibangun oleh Salatiga Zending pimpinan keluarga Pendeta Zimmerbeutel.
Pada awal pertama sekolah ini buka, kepala sekolah yang fasih berbahasa Jawa ini menjelaskan tujuan pembangunan sekolah jahit menggunakan bahasa Jawa Kromo.
Kurang lebih pidato tersebut berisi tentang kepedulian umat Kristen Protestan terhadap perempuan Jawa yang selalu direndahkan. Mereka ingin merubah stigma ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Bahkan selain membuat sekolah jahit para Zending dari Salatiga ke Bojonegoro punya tujuan lain yang bisa memberikan manfaat bagi penduduk di sana.
Mereka akan membangun sekolah dengan gaya kursus pertanian, kerajinan kayu (meubel), dan melatih kemandirian anak perempuan yang ada di Bojonegoro dengan berbagai cara.
Para Zending berharap hal ini bisa menjadi alternatif wanita di Bojonegoro dalam mencari pekerjaan. Sebab jika dilihat dari keterampilan menyulam wanita di sana rasanya akan sia-sia jika tidak ada yang bisa membimbingnya menjadi seorang tailor (penjahit).
Selain itu sekolah ini juga memudahkan pemerintah kolonial berkomunikasi dengan pribumi. Mereka jadi paham dengan keterampilan SDM di satu daerah ke daerah lain.
Murid Sekolah Jahit Terdiri dari Puluhan Anak Perempuan
Dalam laporan akhir tahun keluarga Zimmerbeutel menyebut murid sekolah jahit di Bojonegoro terdiri dari puluhan anak perempuan.
Mereka berniat untuk menambah ruangan sekolah agar bisa menampung lebih banyak lagi murid-murid yang ingin sekolah khususnya menjadi penjahit. Kurang lebih ada 25 siswi yang terdaftar dalam sekolah tersebut.
Baca Juga: Sejarah Rempah Nusantara yang Diburu Bangsa Barat
Rata-rata dari mereka adalah anak keluarga yang kurang mampu. Kepala sekolah mengijinkan anak-anak tersebut sekolah dan bebas biaya, gratis.
Guru sekolah menjahit berganti-ganti, namun sering kali para siswi di sana belajar dengan Gesina Bart-Lopmann. Ia adalah istri dari seorang Pendeta bernama Wilhelm Barth.
Guru sekolah jahit asal Jerman ini menyayangkan sekali apabila anak-anak perempuan di Bojonegero tidak bisa menjadi penjahit yang handal. Sebab sudah menjadi tradisi yang lumrah bagi anak perempuan di Jawa Timur bermain benang sulam.
Oleh sebab itu keluarga Salatiga Zending hanya memfasilitasi belajar mereka agar lebih handal dan menjadikan kemampuannya sebagai profesi yang menguntungkan.
Pada intinya sekolah jahit di Bojonegoro merupakan implementasi dari misi Zending para pendeta Kristen Protestan yang ada di Salatiga.
Sebagaimana anak Wilhelm Barth bernama Anna Margarete yang mengatakan sekolah ini bertujuan untuk mendukung misi-misi Penginjilan yang mengajak anak-anak perempuan peka terhadap ajaran Kristen Protestan. Dengan jalan pendidikan semua bisa disosialisasikan dengan baik tanpa konflik. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)