Sejarah pemakaman di Jawa tahun 1920 merupakan kisah unik yang menarik dan menggelitik. Bagaimana tata cara penguburan jasad menurut kepercayaan masyarakat Jawa di awal abad ke-20, apakah sama dengan cara-cara masyarakat modern saat ini?
Cara dan alur penguburan jenazah masyarakat Jawa zaman dulu dan saat ini tak jauh berbeda. Hanya saja pada tahun 1920 prosesi pemakaman selali identik dengan kepercayaan klenik dan penuh aura mistis. Salah satunya jangan keluar malam apabila baru ada tetangga yang meninggal dunia.
Kepercayaan pada hal-hal gaib setelah prosesi penguburan jasad merupakan hal yang wajar di zaman itu.
Golongan yang percaya pada klenik dan aura mistis sesudah ada tetangga atau sanak saudara yang meninggal di dekat tempatnya tak boleh keluar rumah antara lain berasal dari kalangan masyarakat agraris pedesaan.
Baca Juga: Awalokiteswara, Dewa Welas Asih Umat Buddha di Jawa Abad 9
Demi menjaga hal-hal yang tidak mereka inginkan biasanya warga setempat mengundang kuncen kuburan untuk memberi syarat agar arwah yang baru dikubur tidak bergentayangan menganggu orang-orang terdekatnya.
Intinya meminta arahan kuncen untuk memberikan ketenangan pada mendiang orang yang baru meninggal tersebut.
Sejarah Pemakaman di Jawa Tahun 1920, Identik dengan Bunga Semboja
Sebelum membahas kepercayaan pada klenik orang Jawa setelah proses penguburan jasad berlangsung, ada beberapa kisah unik yang nampaknya bisa menjadi pengetahuan baru.
Menurut R. Nieuwnhuys dalam buku berjudul, “Met Vreemde Ogen” (1988), pada tahun 1920 bunga Semboja atau Kamboja identik dengan makam di Jawa.
Bunga ini sebetulnya bukan asli Indonesia dan baru ada di Pulau Jawa pada awal abad ke-20 masehi. Awalnya bunga Semboja berasal dari Amerika Tengah, persebaran bunga Semboja jauh hingga ke Asia Tenggara. Aktor dibalik pembawa bunga tersebut tidak lain adalah Belanda.
Orang-orang Jawa kuno saat itu percaya jika bunga Semboja bisa membuat arwah di pemakaman menjadi tenang. Oleh sebab itu mereka sering menanam pohon Semboja di komplek pemakaman yang bertujuan untuk jadi sesaji.
Konon penanaman pohon ini di makam bertujuan untuk membantu proses pembusukan jasad. Tujuanya supaya jasad yang baru dikebumikan lebih sempurna memproses pembusukannya dan berakhir menjadi pupuk organik untuk tumbuhan yang ada di sekitanya.
Karena tahu fungsi dan manfaat dari tumbuhan Semboja, para Abdi Dalem menanam pohon ini di beberapa tempat pemakaman Kraton. Salah satunya ada di areal pemakaman para Raja yang terletak di pemakaman Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Baca Juga: Achdiat Karta Mihardja, Penulis Novel Atheis dari Garut
Memakai Kain Batik untuk Menutupi Jasad di Keranda
Iring-iringan jenazah pada orang Jawa kuno yang meninggal biasanya akan ditutup oleh keranda berbalut kain batik. Tujuannya untuk memberikan simbol duka cita dan mengistimewakan jasad untuk terakhirkalinya dengan menggunakan pakaian batik.
Batik yang mereka pakaikan pada keranda jenazah pun khusus untuk orang yang meninggal dunia. Batik tersebut bernama Batik Slobok.
Tak seperti motif batik pada umumnya kain batik Slobok memiliki warna yang sedikit gelap dengan motif kotak-kotak samar di setiap barisnya. Konon arti dari motif ini melambangkan perasaan duka yang mendalam dari para keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Selain menggunakan batik bersimbol kematian, para pengiring dan penanggung keranda biasanya membawa payung khusus untuk orang yang meninggal.
Mereka memayungi keranda pas sejajar dengan letak kepala si jenazah. Tujuannya untuk memberi penghormatan tertinggi pada mendiang almarhum/almarhumah.
Lalu ada pula para pengiring lainnya yang membawa tikar doa, patok nisan, dan kendi berisi air. Kendi ini nanti akan menjadi alat penutup prosesi pemakaman. Keluarga utama yang berhak memegang kendi dan menaburkan airnya di atas kuburan tersebut.
Mereka percaya apabila air kendi ini mengalir di kuburan maka si jasad yang ada di dalamnya akan merasa tenang.
Baca Juga: Syekh Muhammad Djamil Djambek, Mubaligh Pertama di Indonesia
Pemakaman yang Penuh dengan Klenik dan Aura Mistis
Bentuk klenik pertama yang menambah aura mistis pada sejarah prosesi pemakaman orang Jawa tahun 1920 antara lain yakni, melarang perempuan mengantar jenazah hingga ke pemakaman.
Hanya kaum laki-laki lah yang boleh mengantar jenazah hingga ke pemakaman. Meskipun belum jelas apa penyebab larangan tersebut, yang jelas mereka menyebut larangan ini dengan istilah pamali.
Akibatnya kaum perempuan berada di rumah. Mereka pasrah melepas anggota keluarga, sanak, sahabat, dan tetangga di depan pintu rumah duka.
Sebagai gantinya mereka menyiapkan acara selamatan malam hari, seperti menyediakan kudapan dan sesaji untuk mengantarkan arwah ke alam baka secara tenang dan bahagia.
Selanjutnya klenik yang sering muncul dalam kepercayaan orang Jawa pasca prosesi pemakaman usai yaitu melarang setiap anggota keluarga si almarhum keluar rumah malam hari.
Mereka percaya sebelum 40 hari berlalu arwah yang meninggal masih bergentayangan dan mengelilingi orang-orang terdekatnya.
Pada saat itulah mereka diwajibkan memberi sesaji yang terdiri dari bunga tujuh rupa, makanan kesukaan mendiang, dan rokok kretek dengan tambahan klembak menyan.
Tujuan sesaji untuk memberikan jalan yang terang untuk si arwah agar segera menemukan alam baka yang tenang. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)