Sejarah pelacuran zaman Jepang mencatat ada kisah gadis Belanda yang jadi objek seksual. Mereka terpaksa menjadi pelayan nafsu bejat para Kadet Nippon di Semarang pada tahun 1944.
Kadet atau Taruna Militer Jepang yang masih dalam pelatihan untuk menjadi perwira, bekerja sama dengan atasan berpangkat Kapten untuk “menggunakan” gadis Belanda dari kamp tahanan menjadi pemuas nafsu mereka.
Gadis Belanda yang kala itu masih berumur belia terpaksa harus mengikuti kemauan para Kadet bejat itu. Jika menolak pilihannya hanya dua, tersiksa sampai mati karena frustasi dan stress, atau terbunuh oleh peluru kejam para Kadet yang membabi buta.
Baca Juga: Dokter Achmad Mochtar, Dipancung Jepang karena Vaksin Tetanus
Menurut catatan kolonial yang tersisa dari Perang Dunia II, peristiwa pemerkosaan gadis Belanda terjadi di beberapa titik kota Semarang. Mereka memfasilitasi siswa Kadet untuk bermain esek-esek yang kemudian terkenal dengan sebutan Rumah Plesiran.
Belakangan setelah Perang Dunia II usai Jepang mengalami banyak tuntutan dari berbagai negara akan kasus kekerasan seksual. Salah satunya Indonesia dan Belanda, dua negara yang dahulu pernah jadi musuhnya menuntut Jepang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Sejarah Pelacuran Zaman Jepang: Ketika Gadis Belanda jadi Korban Pemerkosaan
Menurut Majalah Gatra tanggal 28 Januari 1995 bertajuk, “Budak Seks Serdadu Jepang: Dinas Seks Ianfu”, korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Kadet Jepang bukan hanya orang Indonesia saja, melainkan ada pula para gadis Belanda yang menjadi korbannya.
Kadet Jepang menjemput para gadis Belanda dari kamp tahanan. Mereka menjanjikan sebuah kejutan yang bisa membawa para tawanan lepas dari jeratan penjara. Tanpa curiga para gadis belia dari Belanda itu kemudian ikut tanpa bertanya terlebih dahulu.
Namun kejutan itu berbuah buruk. Pasalnya para Kadet justru menjadikan para gadis Belanda tersebut menjadi wanita penghibur alias pelacur.
Jeritan histeris pun meramaikan aktivitas Rumah Plesiran. Di tempat ini para perwira Jepang dan anak buah menikmati pesta seks.
Menurut keterangan yang ada pada waktu itu, peristiwa ini terjadi berawal dari gagasan pemimpin sekolah Kadet yaitu, Letnan Jenderal Nozaki Seiji.
Baca Juga: Sejarah Jugun Ianfu, Wanita Penghibur Zaman Jepang
Ia menugaskan seorang staf Kadet Kolonel Okubo agar memanfaatkan wanita-wanita Belanda yang berada di kamp tahanan untuk melayani syahwat para siswanya. Tujuannya mencegah para siswa Kadet tidak “Jajan”di sembarang tempat sehingga mudah terjangkit penyakit kelamin.
Kolonel Okubo di Semarang menyisihkan dana keprajuritan untuk mengakomodasi keperluan esek-esek paksa ini.
Seizin atasannya Letnan Jenderal Nozaki Seiji, Kol. Okubo berhasil mendanai empat pembangunan tempat pemerkosaan paksa gadis Belanda di Semarang. Satu di antara bangunan itu berdiri khusus untuk para calon Perwira.
Merekrut Gadis Belanda di Kamp Tahanan
Tim rekrutmen gadis Belanda yang akan menjadi objek seksualitas Kadet Nippon berjalan dengan penuh pertentangan.
Biang kerok program bejat ini, Letnan Jenderal Nozaki Seiji memerintahkan Kapten Muda dan bekerjasama dengan polisi Jepang setempat untuk memilih gadis Belanda mana yang cocok jadi mangsa muridnya.
Mereka mulai mempersiapkan strategi rekrutmen. Salah satunya menentukan syarat untuk menyaring kualitas seksual si gadis Belanda. Kriteria wanita Belanda seperti apa sajakah yang bisa mereka rekrut untuk jadi pelacur di Rumah Plesiran.
Setelah semua sepakat membatasi kriteria itu, para Kapten Muda dan polisi Nippon memulainya di 4 kamp tahanan wanita Belanda di Semarang. Namun dua di antaranya ada di kamp tahanan wilayah Ambarawa.
Ketika mereka datang ke kamp tahanan para gadis Belanda tak mencurigai buruk. Mereka justru berpikir positif karena ada kemungkinan kedatangan Kapten Muda Nippon akan membebaskannya dari penjara.
Kriteria Calon Korban
Tim rekruiter menanyai satu persatu gadis Belanda dengan bahasa Nederlandsche yang terbata-bata. Pertanyaan itu merupakan kesepakatan panitia esek-esek menentukan calon korbannya. Antara lain mempertanyakan kriteria pemilihan sebagai berikut:
Apakah Anda masih Single (lajang)? Apakah Anda punya riwayat penyakit atau dalam keadaan yang sehat?, Berapakah usia Anda? Jika Anda punya usia 17-33 tahun silakan ikut bersama kami!
Mendengar pertanyaan itu para mevrouw Belanda mulai curiga. Mereka sudah berpikir dalam hati “jangan-jangan saya akan menjadi pelacur”. Seketika suasana mulai berubah menjadi penuh kebencian.
Penolakan terjadi di beberapa kamp tahanan. Misalnya di kamp tahanan Lampersari, para gadis Belanda yang ada di sana melawan.
Mereka membekali diri dengan senjata tajam seperti pisau dapur, gunting, parang, bahkan bambu runcing untuk menolak ajakan Kapten Muda berotak mesum tersebut.
Namun di kamp lain seperti di kamp Gedangan bertindak lain. Para wanita Belanda yang telah berumur mempersilahkan diri untuk para Kadet.
Silakan mereka menjamah seluruh anggota tubuhnya supaya tidak mengganggu wanita muda yang notabene termasuk anak-anak perempuan mereka.
Karena tidak tertarik dengan wanita tua, Kapten Muda tidak mau kalah. Ia menggerakkan seluruh tenaga anak buahnya untuk memaksa gadis Belanda menjadi pelacur para siswa Kadet.
Mereka menarik paksa gadis Belanda dan membawanya ke Rumah Plesiran. Tanpa perlawanan karena tenaganya sudah terkuras, para gadis Belanda itu kalah dan menyerah.
Gadis Paksaan di Rumah Plesiran
Sejarah pelacuran zaman Jepang juga mencatat setelah rekrutmen gadis Belanda jadi pelacur selesai, Kapten Muda dan anak-anak buahnya membawa korban ke Rumah Plesiran.
Mereka sengaja membawa gadis bule calon budak seksnya ke Rumah Plesiran yang ada di Semarang.
Baca Juga: Tragedi Ijime di Jepang, Kisah Pilu Anak-Anak Korban Perundungan
Antara lain para gadis itu mereka tempatkan di Rumah Plesiran Shoko (Klub Perwira) dan tiga lainnya kelas opsir (rendah) bernama Rumah Plesiran Semarang Club, Hinomaru, dan Futabaso.
Rumah Plesiran berkelas-kelas ini bertujuan agar calon pengguna budak seks gadis Belanda mengetahui mana yang harus mereka bawa ke kamar dan jangan sampai tertukar dengan wanita khusus untuk para petinggi sekelas perwira.
Para wanita belia keturunan Belanda ini terpaksa melayani nafsu bejat Siswa Kadet Jepang sejak tanggal 1 Maret 1944. Peristiwa kelam ini terus berlanjut seiring dengan bertambahnya jumlah rumah plesiran sampai tahun 1945.
Akibatnya tidak hanya wanita Belanda yang jadi sasaran korban seksual, tetapi mulai mereka mulai mencoba sensasi seksual dari perempuan-perempuan India, China, dan Indonesia.
Peristiwa ini membawa dampak trauma yang kuat bagi para korban. Saking tidak kuat menahan malu dan rasa benci pada diri sendiri membuat mereka frustasi sehingga nekat bunuh diri.
Tak sedikit pelacur paksaan Jepang itu menggantung diri di kamar-kamar Rumah Plesiran. Bahkan ada yang sampai frustasi dan nekad bunuh diri menenggak racun.
Alasan mereka frustasi jelas karena kegiatan esek-esek paksa ini. Bayangkan saja betapa tidak stressnya mereka harus melayani aksi bejat tentara Jepang sehari sebanyak 15 kali berhubungan badan. Peristiwa yang tak bermoral. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)