Sejarah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak mendapatkan pengakuan dari sebagian penduduk Belanda karena mereka baru mengakui Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949. Hal ini menjadi permasalahan yang menyebabkan ketegangan Belanda-Indonesia dari tahun 1945-1990-an.
Selain tegang akibat perang dingin (cold war), muncul stigma di kalangan warga Belanda yang menilai Bung Karno sebagai ekstrimis.
Presiden pertama Republik Indonesia ini dituduh sebagai orang yang merebut kekuasaan Hindia Belanda dan mencoba mendirikan negara illegal yaitu Indonesia saat ini.
Ketegangan terus berlanjut sampai pada akhirnya ada sekelompok sosial di Den Haag menyadarkan kedua belah pihak untuk berdamai.
Baca Juga: Akhir Hayat Pangeran Diponegoro: Kena Malaria, Wafat di Makassar
Mereka adalah kelompok seniman Belanda. Sejak tahun 1995 para seniman Belanda mengadakan berbagai pameran dan festival kesenian.
Tujuannya ingin mengubah stigma Bung Karno dan rakyat Indonesia yang buruk di kalangan sebagian orang Belanda. Penasaran apa isi pameran dan festival mereka? Berikut ulasannya.
Sejarah Kemerdekaan Indonesia, Ketika Seniman Belanda Memihak Republik
Menurut wartawan Majalah Gatra Edisi 7 Januari 1995 bertajuk, “Festival Den Haag, Sebuah Drama Bernama BK” para seniman di Belanda ingin menghilangkan rasa haatdragend (kebencian) orang Belanda pada orang Indonesia begitupun sebaliknya menggunakan sarana berkesenian.
Saat ini memang keadaan pasca perang tahun 1945-1949 berlarut sampai awal tahun 1990-an. Kebencian Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda terjadi akibat dua kelompok ini memiliki persepsi yang berbeda dalam mempercayai hari kemerdekaan.
Rakyat Indonesia percaya kemerdekaan Republik ini tanggal 17 Agustus 1945 namun orang Belanda malah menuduh Sukarno seorang ekstrimis. Pengacau pemerintah Hindia Belanda yang berusaha mengubah struktur birokrasi masyarakat jajahan.
Sedangkan orang Belanda juga baru mengakui Indonesia merdeka sejak tanggal 27 Desember 1949. Mereka mengakui kedaulatan ini karena pertimbangan dunia Internasional, mungkin kalau tidak ada tekanan ini Belanda masih bisa menyelamatkan negeri ini masih menjadi miliknya dan Sukarno mungkin sudah tiada.
Wacana salah persepsi menilai kemerdekaan inilah yang menimbulkan kesan buruk Indonesia-Belanda dan Belanda-Indonesia. Para seniman kemudian muncul agar Indonesia dan Belanda tidak terlarut dalam emosi euphoria kemerdekaan.
Baca Juga: Sejarah Sosialisme Islam di Indonesia, Ideologi Pembebasan Kaum Lemah
Para seniman mengadakan pentas drama tentang kisah menarik BK (Bung Karno). Demi kemeriahan acara ini para seniman penyelenggara drama BK memasukan acara tersebut dalam agenda Festival Den Haag. Sebuah agenda kesenian rutin di Belanda yang bersifat umum dan gratis.
Kebetulan acara ini berlangsung dengan hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945). Saat itu usia Republik sudah 50 tahun, 17 Agustus 1995 tepat setengah abad umur manusia.
Sengaja para seniman Belanda menaruh agenda ini dalam timing tersebut sebagai salah satu strategi mendamaikan Indonesia-Belanda dari penetapan tanggal dan tahun kemerdekaan rakyat Indonesia.
Festival Den Haag yang Menyinggung Politisi Belanda
Karena ternyata para seniman Belanda condong memihak golongan republik, Festival Den Haag menjadi sorotan banyak jurnalis akibat menyinggung para politisi Belanda. Headline koran-koran Belanda saat itu bak menyerang agenda para seniman di Festival Den Haag.
Pers Belanda menyudutkan para seniman bertujuan menyinggung sikap politisi yang kekeuh tidak ingin menerima fakta bahwa kemerdekaan Indonesia itu jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 melainkan tanggal 27 Desember 1949.
Namun bukannya semangat seniman Belanda kendor akibat hentakan ini, acara Festival Den Haag justru mendapatkan perhatian luas di kalangan seniman lain dan mereka ikut menyumbangkan karya-karya khusus tema Ke-Indonesiaan.
Misalnya kelompok seni Het Nationale Toneel, kelompok seni penari Djazzex dan Nederlandsch Danstheater. Mereka mempertunjukkan toneel (Teater Klasik) dan tarian tradisional Belanda selama 10 hari bertema budaya Indonesia di Festival Den Haag.
Selain itu ada pula R.O. Theater dari Rotterdam yang terkenal ikut menyumbangkan persembahan karya pertunjukan yang mengetengahkan tema Perjanjian Linggarjati. Grup Teater ini juga menulis lakon penampilan keduanya sampai pada peristiwa Pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949 untuk bahan repertoarnya.
Melibatkan Professor Sejarah: Jan Blokker
Demia meluluskan cara memberi sosialisasi pada publik Belanda bahwa Indonesia sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, kepanitiaan Festival Den Haag melibatkan Professor Sejarah Jan Blokker untuk ikut mempersembahkan karya fenomenalnya tentang sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Jan Blokker adalah Mahaguru Sejarah Pers Belanda dan pengajar pada program Jurnalistik untuk Pascasarjana di Erasmus Universteit. Keterampilan membuat film dokumenter sejarah membuat semua penonton terpukau.
Baca Juga: Sejarah Monas, Benarkah Bukan Hanya Ide Presiden Sukarno?
Atas dasar kepedulian pada pelurusan sejarah, Jan Blokker rela menggarap film yang berpihak pada Indonesia untuk acara Festival Den Haag tahun 1995.
J. Blokker tidak bekerja sendirian, ia dapat job ini dari penggerak utama Festival Den Haag Ger Thij (pemimpin Het Nationale Toneel dan Hans van Westreenen direktur Koninklijke Schouwburg).
Hasil filmi Jan Blokker memuaskan banyak pengunjung. Menurut survey pendapat yang terkumpul dari hasil wawancara panitia mengatakan sebagian besar generasi muda Belanda sadar dan menaruh simpati lebih pada kaum republik.
Sedangkan generasi tua masih berputar-putar dalam memori kolektif yang berpendapat 27 Desember 1949 Indonesia baru merdeka.
Kendati demikian mereka juga puas menonton hasil film karya Blokker. Sebab ia menciptakan film sejarah yang jujur mempertontonkan Van Mook dan sejumlah tokoh Belanda akan bertanggung jawab atas aksi polisionil tahun 1945-1949. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)