Sejarah Islam abangan di Surakarta menarik untuk kita telisik lebih jauh lagi, karena ternyata fenomena ini merupakan ajaran mistik Syekh Siti Djenar pada abad ke-13. Bagi masyarakat di Surakarta fenomena ini tentu bukan hal yang baru karena pernah melegenda pada pertengahan abad ke-20.
Saat itu ajaran Syekh Siti Djenar mengamalkan Islam abangan kembali muncul di Surakarta sekitar tahun 1920-an. Pemicu munculnya ajaran tersebut adalah seorang guru di sekolah bumiputerai yang juga tokoh pergerakan Nasional bernama Mangoenatmodjo.
Ia bersama pengikutnya pernah jadi incaran kolonial, sebab Mangoenatmodjo terkenal sebagai seorang propagandis yang bisa membawa dampak buruk bagi stabilisasi politik kolonial di Surakarta.
Baca Juga: Soesilo Toer, Pemulung Lulusan Doktor Ekonomi di Uni Soviet
Mangoenatmodjo membuat beberapa kegaduhan di Surakarta. Sebagai tokoh pergerakan Nasional ia pernah menerbitkan tulisan di surat kabar bahasa Jawa tentang arti kebebasan rakyat Jawa mengutip pujangga besar Ronggo Warsito.
Ajaran Islam Abangan Mangoenatmodjo menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah kolonial karena pengikutnya kelompok tersebut dalam jumlah yang banyak.
Belanda juga khawatir Mangoenatmodjo punya niat buruk untuk wilayahnya, maka dari itu sampai akhir hayatnya, Belanda mengawasi terus gerak-gerik politik Mangoenatmodjo.
Sejarah Islam Abangan di Surakarta, Warisan Syekh Siti Djenar
Menurut Takashi Shiaraishi dalam buku berjudul, “Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926” (1997), Mangoenatmodjo adalah seorang pemimpin Syarikat Islam Delanggu yang berprofesi sebagai guru di sekolah bumiputera.
Sejak remaja sampai jadi seorang guru ayah Mangoenatmodjo sering mengajarkan Islam abangan warisan Syekh Siti Djenar padanya. Hingga pada umur dewasa ajaran itu masih tetap menempel bahkan jadi latar belakang kepribadian Mangoenatmodjo aktif dalam organisasi pergerakan di Surakarta.
Mangoenatmodjo sendiri lahir dari keluarga desa yang sederhana. Lahir dan tinggal di desa Karangwungu, onder afdeling Polanhardjo, Distrik Ponggok, Kabupaten Klaten.
Karena ilmu Mangoenatmodjo tetang Islam abangan cukup tinggi, pada tahun 1920-an ia memberanikan diri pisah dari Syarikat Islam dan mendirikan organisasi baru bernama Sarekat Abangan.
Baca Juga: Sejarah Bioskop Metropole, Terbesar dan Tertua di Jakarta
Isi organisasi ini tidak lain adalah orang-orang pengikut ajaran Syekh Siti Djenar. Kepercayaan mereka Islam abangan sebagaimana yang Mangoenatmodjo anut. Kegiatan organisasi Sarekat Abangan umum seperti organisasi pergerakan layaknya Syarikat Islam.
Membuat tulisan untuk terbit di media, menggalang bantuan sosial, bahkan menyudutkan kolonial sebagai penjajah kerap terjadi di dalam agenda kegiatan Sarekat Abangan.
Kharismatik Mangoenatmodjo telah mengantarkan kepercayaan para pengikut Sarekat abangan memilih dirinya menjadi Wakil Kepala Desa (kamituwa) di kampung Islam abangan di Klaten.
Namun karena aktivitas politik Mangoenatmodjo berada di garis keras, pemerintah kolonial mencabut izin itu secara paksa dan menurunkannya dari jabatan sebagai Wakil Kepala Desa.
Mangoenatmodjo Seorang Abangan yang Produktif Menulis
Tidak seperti para pemimpin aliran Syekh Siti Djenar lainnya yang identik dengan klenik, Mangoenatmodjo justru berkembang jadi seorang abangan yang produktif menulis. Bagi dirinya menulis adalah sesuatu hal yang ilmiah.
Artinya Mangoenatmodjo percaya ilmu pengetahuan dan selalu mendasarkan segala jenis persoalan pada sesuatu hal yang ilmiah. Tidak percaya klenik dan anti dukun. Karena sikap ini sebagian kelompok menilai Sarekat Abangan adalah organisasi sampingan PKI.
Adapun salah satu tulisan terkenal Mangoenatmodjo sebagai pemimpin Sarekat Abangan adalah Serat Kabarasta (Suatu Tanggapan) Angsok Wangsul (dari) Serat Kalatida Ronggowarsito.
Tulisan tersebut membahas tentang kritik sastra Ronggowarsito yang Mangoenatmodjo anggap sebagai karya tak ilmiah. Semua peristiwa yang Ronggowarsito tulis layaknya bualan seorang peramal.
Peristiwa tersebut memecahkan stigma tentang ajaran Abangan identik dengan klenik. Sebab Mangoenatmodjo mengkritik karya Ronggowarsito menggunakan data dan fakta dari realitas sosial saat itu.
Baca Juga: Sejarah Sarekat Abangan, Perkumpulan Ahli Mistik Jawa yang Berpolitik
Tulisan Mangoenatmodjo mengkritik karya sastra Ronggowarsito tersebut bisa kita lihat saat ini dalam surat kabar Darma Kanda tahun 1920-an. Bahasa koran ini masih menggunakan tulisan Jawa khas Surakarta.
Ajaran Islam Abangan Mangoenatmodjo
Ketika pensiun dalam dunia pergerakan, Mangoenatmodjo mengabdikan dirinya menjadi pengajar Islam abangan di Klaten. Salah satu ajaran terkenal Islam abangan Mangoeatmodjo antara lain sebagai berikut membantu pergerakan mengusir penjajah.
Oleh karena itu sampai tua renta Mangoenatmodjo tetap ada dalam pengawasan Belanda. Pemerintah khawatir Mangoenatmodjo bisa jadi peluru, apalagi dengan para pengikutnya yang banyak.
Selain membubarkan Sarekat Abangan, Belanda mengatur strategi dengan cara mengintimidasi pengikut Mangoenatmodjo agar pisah dan tercerai berai.
Bagi Takashi Shiraishi, Mangoenatmodjo adalah seorang Jawa yang penuh dengan siasat mistik. Kendati tak memperlihatkan sifat-sifat mistikusnya yang kuat, pemikiran dan cara memutuskan sesuatu Mangoenatmodjo begitu kental dengan ajaran magis orang Jawa.
Sampai saat ini nama Mangoenatmodjo terkenal di Klaten sebagai pemimpin Islam abangan, pengikut Syekh Siti Djenar, dan pendamping kaum yang lemah.
Meskipun tidak ada ciri kebangkitan semangat pada gerakan Mangoenatmodjo pasca Kemerdekaan RI 1945, saat ini di pedesaan Jawa masih mengharapkan kehadiran sosok Ratu Adil. Lantas akankah semangat Sarekat Abangan bangkit kembali? (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)