Sejarah Festival Cioko sering juga disebut dengan Festival Hantu Kelaparan merupakan tradisi kepercayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk membuang sial.
Orang-orang Tionghoa percaya dalam satu tahun ada satu bulan penuh hari sial. Siapapun yang punya niat baik yang berlangsung di bulan itu akan menemui kegagalan.
Tradisi ini jatuh pada tanggal 15 Bulan Tujuh Imlek, atau sekitar akhir bulan Agustus. Masyarakat Tionghoa jarang yang melangsungkan acara ataupun niat-niat baik yang lain di bulan ini.
Dalam rangka berdamai dengan Hantu Kelaparan mereka justru menggelar upacara persembahan dengan memberi sesaji di halaman klenteng tempat ibadah umat Konghucu.
Biasanya Festival Cioko ramai digelar di perkampungan orang-orang Tionghoa. Di luar negeri tempat ini bernama Chinatown kalau di Indonesia terkenal dengan nama Pecinan.
Festival Cioko di kampung Tionghoa dihadiri oleh setiap keluarga besar keturunan orang-orang Tionghoa totok maupun peranakan. Mereka bersama-sama melantunkan doa supaya arwah kelaparan tidak mengganggu keluarga Tionghoa di Indonesia.
Kepercayaan pada Hantu Kelaparan merupakan pertanda klenik orang Tionghoa yang masih mengakar kuat. Kendati sudah tidak lagi berada di tanah kelahirannya (di Tiongkok), orang-orang Tionghoa di Indonesia masih menjalankan beberapa ritual klenik sesuai dengan ajaran leluhurnya.
Baca Juga: Sejarah Tahun Baru Imlek: Tradisi Tionghoa dari Folklore yang Melegenda
Sejarah Festival Cioko di Indonesia, Cara Orang Tionghoa Menghindari Gangguan Jahat Roh Halus
Menurut koran berbahasa Belanda De Locomotief terbitan 10 September 1895, Festival Cioko sudah terkenal sejak abad ke-19 sebagai tradisi orang Tionghoa menghindari gangguan jahat dari roh halus.
Mereka percaya seluruh kejahatan berasal dari roh halus yang disebut dengan Hantu Kelaparan. Roh itu membuat semua orang sial dan bisa membahayakan hidup seseorang.
Hantu Kelaparan bisa berdamai apabila ada yang meruwat, atau harus ada yang memberi sesaji dan upacara persembahan meminta keselamatan pada mereka agar umat Tionghoa di seluruh dunia tidak terganggu oleh para roh jahat tersebut.
Biasanya orang-orang Tionghoa akan membangun sebuah panggung dengan tinggi lebih dari tiga meter di dalam Klenteng.
Panggung tersebut berisi berbagai jenis makanan khas orang Tionghoa yang dipercaya bisa meminimalisir kemarahan Hantu Kelaparan. Tujuannya jelas mereka meminta agar si hantu tidak mengganggu kehidupan seluruh umat Konghucu yang ada di dunia.
Sebab roh halus dan manusia sudah beda alam, jika roh halus mengganggu manusia maka sudah bisa dipastikan manusia tersebut akan mengalami kesialan.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia rutin menggelar Festival Cioko sejak zaman Belanda hingga saat ini. Mereka masih percaya pada roh halus yang apabila tidak dipenuhi permintaan sesajinya pada Festival Cioko maka Hantu Kelaparan bisa mengganggu kegiatan manusia di sepanjang bulan Agustus.
Membagikan Sisa Sesaji Cioko Pada Masyarakat Sekitar
Membagikan sisa sesaji Cioko pada masyarakat sekitar melambangkan simbol kedermawanan bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia.
Mereka ingat tidak hidup sendiri di negeri ini, ada saudara-saudara yang lain dan mungkin membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap harinya.
Baca Juga: Jejak Budaya Tionghoa di Indonesia, Punya Bioskop dan Klenteng Mewah
Daripada terbuang sia-sia, makanan yang ada di atas altar sesaji mereka bagi-bagikan pada orang yang kelaparan.
Konon bagi-bagi makanan sesaji di Festival Cioko juga merupakan kepercayaan membuang sial. Selain itu dengan memberi sebagian sesaji setelah pelaksanaan Festival Cioko selesai bermanfaat melindungi diri dari gangguan roh jahat.
Hantu Kelaparan takut dengan orang yang dermawan, apalagi sampai rela memisahkan sebagian makanan untuk sesaji Cioko pada orang-orang miskin yang membutuhkan.
Namun nampaknya acara Festival Cioko sering menjadi sasaran pelaku kriminal. Pada tahun 1910-an ada kejadian yang merugikan orang Tionghoa saat menggelar festival tersebut.
Mereka kena sasaran rampok dan keributan sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Kejadian ini sempat ramai di koran-koran Belanda dan menjadi perhatian polisi kolonial.
Kedermawanan orang Tionghoa dalam Festival membuat para gelandangan rutin berkumpul setiap bulan Agustus di Klenteng. Mereka menanti sesaji dan pemberian sedekah dari para pelawat. Perkumpulan para gelandangan tak ubahnya seperti agenda rutin tahunan di setiap Klenteng.
Membatasi Aktifitas di Bulan Agustus
Dalam catatan sejarah, karena Festival Cioko jatuh setiap bulan Agustus, maka orang Tionghoa di Indonesia biasa membatasi aktivitas agar tidak terjebak kesialan.
Baca Juga: Sejarah Sentiong dan Tradisi Pemakaman Tionghoa di Indonesia
Pembatasan kegiatan sehari-hari ini mereka lakukan selama satu bulan penuh. Layaknya orang menyepi dan puasa, orang Tionghoa juga punya agenda membatasi langkah setiap hari tatkala bulan Cioko tiba.
Adapun beberapa kegiatan yang biasa mereka hindari di bulan Cioko antara lain seperti menggelar acara pernikahan. Orang Tionghoa selalu menghindari pernikahan di bulan Agustus. Jarang atau bahkan tidak ada orang Tionghoa yang menikah pada bulan ini.
Mereka takut ada karma yang bisa memperburuk usia pernikahan. Sebab bulan Agustus merupakan hari dimana para Hantu Kelaparan berkeliaran.
Selain itu mereka juga menghindari membangun tempat usaha di bulan Cioko. Tujuannya tidak ingin usaha miliknya bangkrut karena gangguan roh jahat. Sebab siapapun orang Tionghoa yang membuka toko atau usaha apapun itu di bulan ini rata-rata bangkrut karena tidak laku ataupun terkena musibah seperti kebakaran dan perampokan.
Terakhir membatasi bepergian jauh seperti menyeberangi pulau atau benua. Konon melakukan perjalanan jauh pada bulan Cioko bisa membuat siapapun yang melanggarnya terkena musibah.
Bahkan tak jarang menimbulkan korban jiwa, seperti kecelakaan, mendapat musibah (menabrak orang), dan lain sebagainya. Orang Tionghoa sangat hati-hati memilih tanggal dan bulan karena mereka takut melanggar petuah leluhur. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)