Sejarah Bioskop Metropole, bioskop yang sekarang berada di Jalan Menteng, Jakarta Pusat merupakan gedung film terbesar dan tertua di Ibukota.
Memori kolektif tentang bioskop ini begitu melimpah. Ada yang ingat masa-masa pacaran, ada yang ingat masa perjuangan, bahkan ada yang ingat bagaimana Bioskop Metropole dahulu pernah jadi objek propaganda anti Barat Sukarno.
Saat ini Bioskop Metropole menjadi perusahaan akomodasi film terbaik di Indonesia. Adapun semua kewenangan administrasi Bioskop Metropole diakomodir oleh perusahaan Bioskop 21 Cineplex Group.
Baca Juga: Sejarah Weltevreden, Pemukiman Elit Eropa di Batavia
Bagaimana kisah selengkapnya dari sejarah Bioskop Metropole? Berikut penjelasannya.
Sejarah Bioskop Metropole, Gedung Film Paling Tua dan Megah di Jakarta
Menurut Rosihan Anwar dalam buku berjudul, “Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia” (2004), Bioskop Metropole adalah gedung film tertua dan termegah yang ada di Jakarta. Bahkan saking megahnya bioskop ini bisa menampung jumlah penonton sampai 1000 orang.
Bioskop Metropole sudah berdiri di Jakarta sejak tahun 1932 dengan nama awal Bioscoop Metropool. Bangunan tua ini sejak zaman Belanda sering menjadi tempat berkumpul kaum muda-mudi.
Rosihan Anwar mengatakan tak jauh seperti muda-mudi tahun 2000-an, mereka janjian dan berpacaran di Bioskop Metropole.
Konon gaya arsitektur Bioskop Metropole langka dan sulit kita temukan di seantero Asia. Sebab bangunan tersebut mengandung gaya arsitektur Art Deco khas bangunan kolonial pada zaman awal kejayaan VOC.
Mengingat gaya arsitektur Art Deco yang langka, pemerintah mengeluarkan undang-undang cagar budaya untuk melindungi bangunan Bioskop Metropole.
Sampai saat ini bangunan Metropole tidak boleh berubah bentuk, adapun akan direvitalisasi harus izin terlebih dahulu pada Dinas Kebudayaan setempat terlebih dahulu.
Arsitek Bioskop Metropole Ternyata Orang Tionghoa
Menurut laporan kolonial arsitek perancang Bioskop Metropole adalah orang Tionghoa bernama Liauw Goan Sing. Ia sudah mempersiapkan rancangan untuk membangun proyek gedung film ini sudah lama sebelum tahun 1932.
Baca Juga: Sejarah Pasar Baru, Pusat Perbelanjaan Tertua di Jakarta
Namun karena berbagai hambatan dana dari pemerintah kolonial, proyek pembangunan Bioskop Metropole baru mulai berjalan pada tahun 1932. Pembangunan berjalan dengan lamban hingga harus terhambat oleh peristiwa Perang Dunia II pada tahun 1942-1945.
Hingga Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah republik menasionalisasi seluruh proyek perusahaan milik Belanda tak terkecuali dengan Bioscoop Metropool.
Baru pada tahun 1949 gedung film termegah ini resmi menyandang nama Bioskop Metropole (ditulis dengan kalimat Indonesia).
Pada tahun 1951 gedung ini menjadi milik PT Bioskop Metropole. Sebuah perusahaan pusat bioskop di Jakarta yang merajai bisnis kreatif. Perjalanan terus berlanjut hingga pada tahun 1960 Sukarno menginfiltrasi seluruh perusahaan bernama Barat agar berganti nama menjadi nama Indonesia.
Akhirnya Bioskop Metropole berganti nama menjadi Bioskop Megaria. Tujuannya untuk mendoktrin pemuda-pemudi di Indonesia agar anti terhadap Barat.
Nama-nama ini bisa membuat bangsa Indonesia sadar akan sebuah Nasionalisme yang mempersatukan semangat membangun ekonomi Berdikari.
Nama Bioskop Megaria terus tertanam dalam memori masyarakat Ibukota hingga tahun 1990-an. Demi mengajegkan kembali sejarah bioskop seperti masa awal, maka pemerintah Orde Baru kembali merestui pengembalian nama bioskop ini menjadi Bioskop Metropole.
Baca Juga: Sejarah Pos Bloc: Gedung Eks Kantor Pos Belanda, Kini Jadi Cafe
Bagian dari Gaya Hidup Masyarakat Jakarta
Bioskop Metropole merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat Jakarta. Bahkan kehadiran bioskop ini sempat melahirkan adagium yang khas di kalangan anak-anak muda tahun 1970-1980 yaitu, “kalau belum ke Metropole, lo belum gaul”.
Tak heran Bioskop Metropole yang didominasi oleh kalangan muda-mudi Jakarta saat ini adalah sebagian dari warisan gaya hidup muda-mudi zaman dulu.
Mereka secara tidak sadar telah menurunkan budaya nonton film di Bioskop Metropole itu hanya bisa terjadi dalam kelompok sosial “berkasta”.
Beberapa pemuda zaman dulu mengingat Bioskop Metropole jadi ajang pacaran anak-anak muda. Mereka biasa memilih kursi paling belakang saat sedang pacaran. Filmnya pun selektif, sebagian besar muda-mudi yang pacaran akan memilih film bergenre roman.
Kendati demikian Bioskop Metropole telah menjadi saksi bisu sejarah di Indonesia sejak zaman penjajahan. Keberadaan bangunan ini kita sadar akan waktu yang cepat berlalu, lebih penting lagi kita bisa memahami gaya hidup setiap zaman itu berbeda-beda. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)