Perang Bani Musthaliq menjadi sejarah yang tidak terlupakan. Kendati hanya perang kecil, tetapi peristiwa Bani Musthaliq ini menyimpan kisah penting. Peristiwa Bani Musthaliq atau Muraisi terjadi pada bulan Sa’ban.
Pada dasarnya ini hanya merupakan perang kecil, tetapi terdapat banyak kisah penting mengenai pengaruh kaum munafik yang hampir memecah belah umat muslim.
Selain nama Bani Musthaliq, perang ini juga memiliki nama lain seperti Perang Maharib dan juga Perang A’ajib. Sejarawan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa perang ini terjadi pada bulan Sa’ban tahun 6 H.
Baca Juga: Sejarah Perang Khaibar, Penaklukan Kaum Yahudi
Mengulas Sejarah Perang Bani Musthaliq
Dalam sejarah Islam tercatat berbagai peristiwa penting, mulai dari yang membahagiakan hingga yang membawa duka sekalipun. Salah satu peristiwa yang sejarahnya tidak pernah terlupakan adalah perang.
Bani Musthaliq merupakan salah satu peperangan penting yang banyak menyimpan kisah mengenai betapa mengerikannya sifat munafik pada diri manusia.
Kapan Perang Ini Terjadi?
Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu terjadi perang ini. Pendapat pertama berasal dari sejarawan bernama Shafiyurrahman al-Mubarakfuri.
Menurut Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Hidup Makhtum, perang ini terjadi pada bulan Sa’ban tahun 6 H di pendapat yang lebih benar (ashah).
Sementara dalam versi lain Nuruddin al-Halbi pada Sirah al-Halabiyyah mengatakan bahwa perang Bani Musthaliq ini terjadi pada tahun 5 H, tetapi ada pula yang mengatakan 4 H.
Sebab Peperangan Terjadi
Peperangan ini bermula ketika Rasulullah SAW mendapat informasi bahwa pimpinan dari bani Musthaliq, Al-Harits bin Abu Dhirar sedang menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan ke umat muslim.
Mendengar hal tersebut, Nabi pun segera menugasi Buraidah bin al-Hushaib untuk mencari tahu kebenaran kabar. Tidak tanggung-tanggung, Buraidah segera mendatangi Al-Harits bin Abu Dhirar untuk mengkonfirmasi informasi tersebut.
Setelah mendapatkan cukup informasi, Buraidah lekas bertolak menemui Rasulullah. Ketika kabar penyerangan sudah terkonfirmasi benar, Rasulullah segera menghimpun tentara muslim untuk berangkat perang pada dua hari sebelum habis bulan Sya’ban.
Baca Juga: Sejarah Perjanjian Hudaibiyah Antara Kaum Muslim dan Quraisy
Namun ternyata, di dalam rombongan tersebut juga ikut orang-orang munafik yang berperang bukan untuk beriman dan jihad di jalan Allah, tetapi untuk tujuan tertentu.
Wakil yang Nabi tugasi untuk memegang urusan Madinah adalah Zaid bin Haritsah dalam versi lain yang Abu Dzarr. Ada jaga yang mengatakan bahwa Numailah bin Abdullah al-Laitsi yang mendapat tugas tersebut.
Di pihak musuk, Al Harits bin Abu Dhirar mengutus mata-mata untuk memantau. Namun nahas, mata-mata Al-Harits justru terbunuh dan membuat pihak musuh panik sehingga beberapa tentaranya mulai melepaskan diri.
Setibanya di Muraisi, pasukan muslim bersiap untuk melakukan serangan. Rasulullah kemudian membariskan tentara dengan bendera kaum Muhajirin yang dipegang Abu Bakar dan bendera kaum Anshar diatangan Sa’ad bin ‘Ubadah.
Tidak lama perang Bani Musthaliq mulai dengan pelepasan busur panah. Strategi perang cukup efektif karena pasukan musuh berhasil pasukan muslim taklukan dan banyak dari mereka yang terbunuh.
Perempuan dan anak-anak dari pihak lawan menjadi tawanan perang, sedangkan binatang ternak menjadi rampasan (ghanimah). Dalam versi Ibnul Qayyim, pendapat masih bersifat dugaan, fakta yang sebenarnya bahkan tidak sempat terjadi perang.
Fitnah Terhadap Sayyidah Aisyah
Orang-orang munafik yang mengikuti perang justru menyulut masalah yang menyulitkan orang Islam agar terpecah belah dan hampir membuat Bani Musthaliq memenangkan peperangan.
Para orang munafik tersebut menyebar fitnah perselingkuhan Sayyidah Aisyah, istri Nabi. Pada saat usai perang Bani Musthaliq, pasukan muslim berkemas untuk kembali ke Madinah.
Kebetulan Aisyah ikut dalam peperangan dan menunggangi tandu ketika pasukan siap berangkat, kalungnya hilang entah kemana. Karena kalung tersebut pinjaman, maka Aisyah kembali ke tempat sebelumnya.
Sementara pasukan pemandu tidak sadar Aisyah belum naik, mereka meninggalkan istri Nabi begitu saja. Beruntungnya Aisyah berhasil menemukan kalungnya.
Secara kebetulan, seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal juga tertinggal dari rombongan. Konon, Shafwan Merupakan seorang pengantuk sehingga bisa tertinggal.
Shafwan pun akhirnya menawarkan Aisyah untuk menaiki tunggangan unta miliknya. Setelah berhasil menyusul rombongan, para sahabat heran kenapa mereka bisa datang berdua dan memisah dari rombongan.
Baca Juga: Sejarah Perang Tabuk, Perang Terakhir Nabi Muhammad SAW
Abdullah bin Ubay, tokoh kaum munafik, menemukan momennya untuk menyebar fitnah ke seluruh pendudukan Makkah sampai Nabi mendengarnya. Pada saat itu Nabi juga belum mengetahui kebenarannya dan juga wahyu tidak kunjung turun.
Aisyah pun malu dan terpukul hingga jatuh sakit selama satu bulan. Imbas isu besar ini adalah ketegangan sejumlah sahabat nabi, bahkan ada yang hampir berkonflik.
Hingga akhirnya turunlah ayat Al-Qur’an surat An-Nur ayat 11 yang mengkonfirmasi bahwa berita tersebut fitnah. Akhirnya orang-orang yang menyebarkan fitnah mendapat hukuman berupa delapan puluh kali cambukan setelah perang Bani Musthaliq berakhir. (R10/HR-Online)