Pemberantas kemiskinan zaman Belanda merupakan sebuah gerakan sosial yang terbentuk dari inisiatif swasta. Namun karena merasa ada feedback yang menguntungkan pemerintah Belanda mengambil alih kegiatan tersebut dan menjadikannya alat politik.
Selain pemerintah Belanda ada pula golongan yang memanfaatkan badan pemberantasan kemiskinan ini untuk kepentingan organisasi keagamaan. Mereka membutuhkan massa untuk menunaikan sebagian misi keagamaan.
Pada zaman Belanda badan pemberantas kemiskinan ini bernama ASIB (Algemeen Steunfonds voor Inheemsche Behoeftigen). Badan ini bertugas untuk menyalurkan dana dari para pendonor guna membantu masyarakat miskin pribumi yang serba kekurangan.
Baca Juga: Kamp Pengasingan Boven Digoel, Awalnya Tempat Buangan Komunis
ASIB berdiri secara terpusat di Batavia. Namun karena misi ASIB semakin memperluas wilayah maka kantor-kantor cabang kegiatan berderma ini muncul di seluruh Jawa. Salah satu pusat terbesar yang ada di Jawa selain Batavia adalah Surakarta dan Yogyakarta.
Pendiri ASIB adalah pemerintah Hindia Belanda periode tahun 1900-an. Sedangkan pemegang kendali badan sosial kompeni ini tidak lain adalah istri sang Gubernur Jenderal. Selain mempekerjakan istri dari istana, profesi ketua ASIB ini juga merupakan simbol kekuatan, kecerdasan, dan keterampilan bekerja para istri Gubernur Jenderal.
Sejarah ASIB atau badan pemberantas kemiskinan zaman Belanda nampaknya menarik untuk kita telusuri bersama. Sebab selain menjadi isu baru, fenomena sosial ini juga memainkan peran penting dalam percaturan politik kolonial hingga pertengahan abad ke-20.
ASIB, Badan Pemberantasan Kemiskinan Zaman Belanda Malah Jadi Alat Politik Kolonial
Menurut Oliever Johannes Raap dalam buku berjudul, “Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe” (2017), ASIB (Algemeen Steunfonds voor Inheemsche Behoeftigen) atau Yayasan Santunan Umum untuk Kaum Miskin Pribumi, pernah menyeleweng jadi alat politik kolonial.
Belanda membuat ASIB jadi alat memperoleh massa. Dengan kata lain badan derma ini jadi media politik untuk mencitrakan pemerintahan kolonial yang bobrok seakan-akan baik-baik saja dan peduli pada masyarakat pribumi.
Sasaran kegiatan ini ada di pulau Jawa terutama wilayah yang rawan peristiwa pemogokan dan pemberontakan. Belanda yakin dengan adanya ASIB pemerintah bisa meredam kekecewaan rakyat miskin pribumi pada pemerintah. Sehingga pemogokan dan pemberontakan kaum ini diminimalisir oleh bantuan sosial ASIB.
Rata-rata penyaluran dana ASIB begitu deras mengalir di daerah rawan sengketa yaitu, Klaten dan Semarang, Jawa Tengah.
Belanda sengaja menurunkan dana lebih cepat dan besar untuk keperluan di sana. Sebab orientasi kegiatan ini berangkat dari kepentingan politik “mencitrakan pemerintah yang rasis berubah menjadi harmonis”.
Baca Juga: Leo Andries Lezer, Tentara Belanda Pecinta Budaya Sunda
Kegiatan amal jadi ladang politik tersebut pertama kali pemerintah kolonial siasati sejak tahun 1900-an. Supaya tidak terlalu mencolok ada unsur politis di dalamnya, maka Gubernur Jenderal menunjuk sang istri untuk turun tangan mengawasi proyek kegiatan-kegiatan ASIB sebagai berikut.
Jadi Misi Kegiatan Organisasi Sosial Berbasis Keagamaan
Masih menurut Olivier, gerakan kedermawanan kolektif yang terjadi di Jawa berawal dari para dermawan swasta. Terutama dari kalangan umum berbalut misi agama seperti, Penginjilan Kristen, Misi Katolik, dan Muhammadiyah.
Semua kalangan dermawan swasta ini mengatasnamakan kolektif keorganisasian untuk memberikan bantuan sosial pada masyarakat miskin pribumi. Mereka semua terkenal sebagai pelaku amal yang bisa kita katakan pelopor kegiatan ini pertama jauh sebelum ASIB terbentuk.
Biasanya organisasi sosial berbasis keagamaan ini memberikan bantuan pada orang-orang miskin pribumi di perkotaan. Seperti di Yogyakarta, Batavia, Semarang, dan lain sebagainya.
Mereka kompak saling mengisi amalan duniawi dari zaman ke zaman. Bahkan ketika Hindia menderita malaise tahun 1920-an bantuan terus berjalan.
Selain memberikan bantuan berupa bahan pokok makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya, organisasi sosial keagamaan yang menjalankan misi berderma juga ikut mendirikan akomodasi umum seperti, Panti Asuhan, Rumah Sakit, dan Lembaga Pendidikan (Sekolah).
Upaya tersebut timbul akibat dorongan idealisme dan keinginan untuk berbagi sekaligus menstimulus orang pemberi amal “tenang hatinya”.
Tidak sama seperti pemerintah kolonial yang memanfaatkan ini jadi media politik, organisasi keagamaan justru mendukung badan pemberantas kemiskinan agar semakin besar.
ASIB Menyelenggarakan Pasar Malam dan Agenda Olahraga
Menurut Ilham Nur Utomo dalam Jurnal Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah UNY, Vol. 13, November (1) 2022 berjudul, “Ragam Hiburan di Regentschap Pemalang Awal Abad XIX”, pemerintah Belanda saat itu berupaya agar badan pemberantas kemiskinan berfungsi dengan baik.
ASIB pun menjadi salah satu bidang amal pemerintah yang membuat agenda bantuan sosial selain berkaitan dengan kesehatan, kebutuhan pokok sehari-hari yaitu hiburan dan olahraga.
ASIB memprakarsai pembangunan Pasar Malam di beberapa tempat di Jawa, salah satunya di Jawa bagian Utara yakni di Pemalang, Jawa Tengah.
Baca Juga: Akhir Hayat Pangeran Diponegoro: Kena Malaria, Wafat di Makassar
Belanda berharap Pasar Malam bisa membantu meningkatkan rasa kebahagiaan orang miskin pribumi yang tinggal di pelosok desa dan kota kecil lainnya yang ada di Jawa.
Selain mendukung pembangunan Pasar Malam, ASIB mempelopori agenda olahraga dengan menyelenggarakan jadwal pertandingan sepak bola. Pemerintah menanggung semua biaya termasuk hadiah untuk para tim pemenang.
Isi kesebelasan sepak bola dalam agenda tersebut pure berasal dari rakyat pribumi miskin. Mereka patut berbahagia dengan cara olahraga. Kebaikan-kebaikan kolonial tersebut berasal dari perubahan status pemerintah sejak tahun 1934.
Inti dari peraturan tersebut adalah mengambil alih soal perawatan orang miskin dengan mendeklarasikan tugas memberantas kemiskinan pribumi merupakan kewajiban pemerintah kolonial, sekaligus menjadi tugas pemerintah setingkat Kota Madya dan Kabupaten. (R7/HR-Online/Editor-Ndu)