Leo Andries Lezer merupakan seorang Belanda mantan KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indisch Lager) atau tentara kerajaan Belanda yang menghormati dan mencintai budaya Sunda. Kecintaan itu dimulai saat ia bertugas jadi tentara di Tasikmalaya.
Tak seperti tentara KNIL pada umumnya, Leo lebih sering berinteraksi masyarakat terutama membahas soal kebudayaan Sunda. Hal inilah yang membuatnya jatuh cinta pada tanah Priangan.
Masyarakat Tasikmalaya mengenal Leo Andries Lezer sebagai seorang prajurit Garnisun yang ramah. Keramahtamahan ini tercermin dari masyarakat Tasik yang tak sedikit menanyakan keberadaannya ketika ia pindah kerja ke Bandung.
Baca Juga: Akhir Hayat Pangeran Diponegoro: Kena Malaria, Wafat di Makassar
Masyarakat di sana merasa kehilangan dengan sosok Leo. Selain karena ramah dan murah senyum, nampaknya orang-orang desa di Tasik juga terpesona oleh ketampanan seorang serdadu perang Hindia Belanda yang hobi menari ronggeng.
Karena merasa ada yang mencintai dan mengaguminya, Leo A Lezer kemudian membalas itu semua dengan menghormati dan mencintai budaya Sunda. Bahkan bukti keseriusan pada masyarakat Sunda tercermin saat ia menikahi wanita Priangan yang gemulai.
Perasaan cinta pada kebudayaan Sunda tak hilang semata karena wanita. Sebab ketika ia terkena deportasi ke Belanda, Leo tetap setia menjadi orang Belanda yang cinta pada budaya Sunda. Termasuk salah satunya menyusun kamus Sunda-Belanda dan buku bahasa Sunda-Belanda.
Leo Andries Lezer, Serdadu Belanda Menikahi Wanita Sunda
Pria kelahiran Belanda 1886 ini kemudian menikah dengan wanita Sunda bernama Sarinah. Ya Leo Andries Lezer seorang tentara KNIL berhasil mempersunting wanita Sunda idamannya sejak tahun 1916.
Namun sebetulnya hubungan Leo dengan Sarinah sudah menjadi omongan banyak orang di sekitar lingkungan. Pasalnya sebelum menikah secara resmi Leo dan Sarinah sudah punya dua anak dari hasil hubungan gelap.
Menurut Olievier Johannes Raap dalam buku berjudul, “Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe” (2013), karena harus bekerja lebih giat untuk menghidupi anak-anaknya, maka selain menjadi tentara, Leo menyambi sebagai kontributor surat kabar.
Sejak tahun 1917 ia jadi wartawan lepas koran mingguan De Preangerbode. Karena menjadi jurnalis khusus meliput berita untuk orang Sunda, maka mau tak mau Leo harus belajar bahasa Sunda. Karena semangat belajarnya yang tinggi, selain belajar bahasa Sunda, Leo juga private bahasa Jawa dan Melayu.
Baca Juga: Sejarah Sosialisme Islam di Indonesia, Ideologi Pembebasan Kaum Lemah
Meskipun tak sedikit orang yang mengejek rumah tangganya “haram”, Leo tidak merasa malu apalagi minder dengan omongan tersebut. Sebab karena pernikahan itulah ia menjadi lebih produktif dari sebelumnya. Leo jadi orang Belanda yang memiliki perhatian dengan budaya Sunda karena profesi sampingannya jadi seorang wartawan.
Membuka Toko Buku di Priangan
Sejak kantor Garnisun mengumumkan tahun pensiun Leo yang tidak akan lama lagi, maka ayah dua anak dari wanita Sunda ini berpikir untuk membuka sebuah usaha yang dekat dengan profesi sehari-hari di luar kegiatan militer.
Setelah berpikir lama dan mengajak diskusi Sarinah istrinya, tiba-tiba ide membuka toko buku ini muncul. Leo A Lezer kemudian membuka toko buku pertamanya di daerah Tasikmalaya pada tahun 1920. Tepatnya satu tahun sebelum masa pensiun tiba.
Namun karena masa pensiun tahun 1921 mengharuskan Leo pindah ke rumah dinasnya di Bandung, maka sejak saat itu toko buku di Tasikmalaya ikut diboyong ke Bandung. Toko buku Leo pindah ke Tamblong weg (atau kini jadi jalan Tamblong) di Bandung.
Nampaknya hasil penjualan buku dari toko di Tamblong laris. Mungkin karena ada di perkotaan besar toko buku di Tamblong tersebut mendapatkan keuntungan dua kali lipat dari penjualan di Tasikmalaya.
Karena laris dan menjadi toko buku pertama milik Belanda yang berhasil jualan di Bandung, maka pada tahun 1926 Leo dan keluarganya mendirikan perusahaan penerbitan buku bernama Boekenverzendhuis.
Perusahaan ini “panjang umur”, banyak langganan toko buku yang ingin mencetak buku-buku untuk stock di tokonya pada penerbit kepunyaan Leo Andries Lezer. Namun ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, perusahaan kesayangan Sarinah (Istri Leo) hancur. Seluruh mesin percetakan tak beroperasi lagi.
Ironisnya Leo Andries Lezer ikut menjadi bulan-bulanan Jepang. Pemerintah represif negeri Sakura ini memenjarakan Leo karena ia “orang Belanda” dan dekat dengan orang Indonesia. Bahkan punya istri orang Sunda. Ia menderita hidup di penjara sampai tahun 1946.
Setahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia berjalan, status Leo A Lezer sebagai tahanan pendudukan Jepang berhasil lolos. Hal itu karena para pejuang republik yang saat itu kebetulan membutuhkan tenaga untuk bantuan perang.
Sebelum ditangkap Jepang, Leo telah berhasil menerbitkan sejumlah buku untuk stock barang di tokonya. Antara lain ada buku ajar/pelajaran, majalah, perlengkapan kantor (alat tulis kerja- ATK), dan kartu pos yang diterbitkan sendiri oleh Leo Andries Lezer.
Menghormati dan Mencintai Kebudayaan Sunda
Setelah menikah dan merasakan penjara Jepang sampai tahun 1946, kecintaan Leo pada budaya Sunda tak lekang terbilas zaman. Hal ini tercermin dari hasil tulisan Leo yang kemudian menjadi sebuah buku.
Baca Juga: Gerakan Rifa’iyah, Ulama Wahabi Melawan Kolonial Belanda
Buku-buku itu bukan tentang perjalanan Leo di tanah Sunda, melainkan buku-buku pelajaran berbahasa Sunda untuk orang Belanda dan kamus bahasa Sunda untuk orang Belanda dan sebaliknya kamus bahasa Belanda untuk orang Sunda.
Untuk menambah jumlah koleksi penjualan tokonya, Leo Andries Lezer menambahkan dengan terbitan beberapa seri Kartu Pos. Selembar kertas berisi foto panorama alam Priangan mereka cetak sendiri. Bahkan karena mencetak sendiri, terdapat keunikan kartu pos buatan toko buku milik Leo.
Para pembeli merasa puas dengan lembaran pos ini akibat teknik pembuatannya dari foto asli yang langsung dicetak klise-nya. Seperti kebanyakan foto yang saat itu belum berwarna, kartu pos buatan Leo semuanya berwarna dan menarik perhatian banyak turis.
Leo telah mendirikan renovasi usaha toko buku ini sejak tahun 1949-an. Sebelum akhirnya terkena deportasi pada tahun 1950-an. Seiring dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia, Leo Andries Lezer ikut menjadi orang yang terdaftar dalam nama Belanda yang harus kembali ke negeri asalnya.
Kendati sudah ada di Belanda, kartu pos buatan pria tua yang telah meninggal tahun 1962 ini masih jadi buah tangan orang-orang Belanda yang sedang berkunjung ke Indonesia. Mereka tertarik dengan gambar flora dan fauna Nusantara dengan setting yang alami. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)