Kisah Sukarno jadi pengangguran merupakan kisah penting terbaru yang mungkin belum banyak tersentuh oleh banyak literatur sejarah di Indonesia. Sukarno, Presiden Republik Indonesia pertama ini pernah mengeluh karena sulit mencari pekerjaan yang pas untuknya.
Meskipun Sukarno terkenal sebagai lulusan sarjana teknik yang berprestasi, aktif berorganisasi, dan fasih menggunakan bahasa asing, sedikit sekali yang menerimanya akibat Sukarno punya “rapot merah” memberontak pemerintah Hindia Belanda selagi masih jadi Mahasiswa.
Selain itu wajar juga jika bapak bangsa yang satu ini sulit mendapatkan pekerjaan, sebab ia terkenal sebagai orang yang idealis. Bagi Sukarno hidup itu harus berprinsip jika tidak maka siap-siap akan terombang-ambing bencana yang merugikannya sendiri.
Baca Juga: Bung Karno Alergi The Beatles: Musik Ngak-Ngik-Ngok Perusak Bangsa
Setelah beberapa waktu menganggur, Sukarno kemudian mendapatkan pekerjaan dari seorang senior politiknya dahulu dari golongan Indo-Eropa. Namanya E. F. E. Douwes Dekker, pria berdarah Jawa dan Jerman tersebut mempercayai yayasan sekolah miliknya bernama Yayasan Ksatria pada Sukarno.
Ya, Sukarno menjadi guru di yayasan tersebut, mengajar mata pelajaran sejarah. Tentu jauh dengan bidang keahlian selama perkuliahan di sekolah teknik. Namun E. F. E. Douwes Dekker percaya padanya karena di tangan Sukarno mata pelajaran sejarah akan menarik perhatian banyak siswa.
Kisah Sukarno Jadi Pengangguran, E. F. E. Douwes Dekker Memberi Pekerjaan
Kisah Sukarno menganggur dan E. F. E. Douwes Dekker memberinya pekerjaan sebetulnya berawal ketika ayah Megawati Soekarnoputri ini lulus dari Bandoeng Hogere Technische School (Sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tanggal 25 Mei 1926.
Saat itu ia kebingungan mencari kerja sementara Sukarno sudah menikahi istri kedua dengan Inggit Ganarsih di Bandung. Tentu ini menjadi beban berat baginya, ia harus mendapatkan pekerjaan secepat mungkin demi dapur yang harus tetap ngebul.
Menurut Walentina Waluyanti De Jonge dalam buku berjudul, “Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen” (2013), sebetulnya banyak tawaran kerja untuk Sukarno setelah lulus dari sekolah insinyur. Salah satunya mendapat tawaran kerja dari kakak iparnya yang Bernama Poegoeh di Departemen Pekerjaan Umum.
Kerjanya enak dan sejajar dengan bidang keahlian Sukarno sebagai insinyur. Namun tawaran itu Sukarno tolak mentah-mentah.
Alasannya sederhana ia tak ingin bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda, sebab kerjasama dengan pemerintah bisa memasung kebebasan berpikir dan bertindak.
Baca Juga: Profil Inggit Garnasih: Setia Temani Sukarno Diasingkan, Dicerai saat Indonesia Merdeka
Tak lama peristiwa itu berlalu datang selebaran di papan baca umum alun-alun Bandung yang memberitakan lowongan kerja menjadi guru di Yayasan Ksatria. Tempat itu adalah sekolah bumiputera milik sahabat lama Sukarno dulu yakni, E. F. E. Douwes Dekker.
Karena sudah sama-sama kenal, pemilik Yayasan Ksatria tersebut langsung menerima Sukarno sebagai guru baru mata pelajaran sejarah. E. F. E. Douwes Dekker percaya Sukarno bisa mengajar sejarah yang menggugah.
Sukarno Menjadi Guru yang Revolusioner
Dugaan E. F. E. Douwes Dekker menilai Sukarno sebagai guru mata pelajaran sejarah yang menggugah rupanya benar terjadi. Sebab waktu itu Sukarno pernah menggegerkan Yayasan Ksatria akibat gaya mengajarnya yang revolusioner.
Seperti seorang orator yang sedang mengagitasi massa, Sukarno benar-benar memposisikan dirinya sebagai guru sekaligus pembicara podium yang berapi-api. Sesekali Sukarno menggebrak meja saat sedang menjelaskan materi sejarah imperialism-kolonialisme di Barat.
Dari keterampilan mengajar yang revolusioner inilah Sukarno “dipecat” oleh dinas pendidikan kolonial Hindia Belanda. Peristiwa pemecatan Sukarno berawal ketika tim penilik atau pengawas standarisasi guru dari pemerintah Hindia Belanda menyaksikan langsung gaya Sukarno mengajar di kelas.
Sukarno mengajar begitu buruk bagi masa depan bumiputera karena telah memberikan cahaya terang tentang sistem imperialism-kolonialisme untuk membenci pemerintah.
Daripada membahayakan masa depan, badan pendidikan pusat kolonial memberhentikan Sukarno sebagai guru dan mengatakan “Raden Sukarno. Tuan bukan guru. Tuan seorang pembicara”.
Atasan Sukarno yakni, E. F. E. Douwes Dekker tak bisa menolong lebih. Ia mempertimbangkan Yayasan Ksatria yang bisa tutup jika ia membela Sukarno. Sukarno pun mengerti dan mengambil keputusan untuk berhenti tidak lagi mengajar di sekolah tersebut.
Saat ini Yayasan Ksatria menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandung. Salah satu murid Sukarno alumni sekolah ini adalah wartawan kawakan B. M. Diah. Ia mengenang sekolah ini sebagai memori kolektif bangsa mengenal Sukarno dari dekat.
Baca Juga: Kisah Bung Karno Pernah Satu Kos dengan Pendiri PKI
Sukarno Menganugerahi Bintang Jasa E. F. E. Douwes Dekker
Ketika Sukarno menjadi Presiden ia tak lupa dengan kenangan saat dirinya jadi pengangguran.
Tak lama setelah Indonesia stabil dari masalah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, Sukarno menganugerahi bintang jasa sekaligus gelar kehormatan pada E. F. E. Douwes Dekker sebagai “Bapak Nasionalisme Politik Indonesia”.
E. F. E. Douwes Dekker merupakan salah satu orang keturunan Indo-Eropa yang mendapatkan penghargaan penting dari negara.
Sukarno merasa penganugerahan ini penting untuk E. F. E. Douwes Dekker. Sebab ia dahulu pernah membawa Sukarno menjadi seorang guru.
Selain itu, E. F. E. Douwes Dekker juga pernah menyelamatkan Sukarno dari permasalahan politik. Pria keturunan Indo-Eropa ini rela mendapatkan hukuman penjara Belanda karena dituduh pro kaum republiken.
Saat ini E. F. E. Douwes Dekker juga terkenal sebagai salah satu nama jalan di Bandung. Ya, karena dahulu sempat mengubah namanya jadi Setia Budi, maka nama itulah yang pemerintah gunakan untuk mengenang jasa-jasa E. F. E. Douwes Dekker dalam memperjuangkan kebebasan bangsa Indonesia. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)