Ibarruri Putri Alam merupakan putri sulung Aidit yang pernah menamatkan sekolah Kedokteran di China selama 3 tahun. Sebelum menjadi Mahasiswa kedokteran, Ibarruri sempat mengenyam pendidikan di sekolah khusus bagi anak-anak petinggi partai komunis di Uni Soviet, tepatnya di Moskow sebelum tahun 1965.
Ketika berada di Moskow tampaknya Ibarruri merasakan tekanan. Hal ini terjadi karena ayahnya adalah pemimpin komunis yang pro pada China. Sedangkan Uni Soviet merupakan rival berat China dalam dunia “perkomunisan”. Ia pun tak betah tinggal di Soviet, hingga pada akhirnya perwakilan komunis mendatangi tempat tinggal Iba di Moskow.
Orang bertubuh tambun itu rupanya mengantarkan surat yang berisi kabar buruk. Surat tersebut mengabarkan Aidit telah meninggal dunia akibat kegagalan dari peristiwa G30S/PKI 1965.
Baca Juga: Profil Mohammad Natsir, Politikus Islam Lawan Debat DN. Aidit
Ia pun semakin tak betah tinggal di Soviet, tanpa sepengetahuan banyak orang, Iba menangisi surat tersebut hingga air matanya mengalir membasahi kertas surat.
Ibarruri memutuskan permohonan pindah dari Soviet ke China. Sedang dalam hati sesungguhnya ia ingin pulang ke Tanah Air dan berkumpul dengan keluarganya di Indonesia.
Namun keadaan tak memungkinkan, sebab seluruh keluarga Aidit menjadi bulan-bulanan massa. Iba memilih menjadi Eksil ketimbang mati sia-sia, hingga tahun 1999 seiring dengan runtuhnya Orde Baru, Iba berani menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahirannya.
Awal Mula Ibarruri Putri Alam Bersekolah di Uni Soviet
Menurut Asvi Warman Adam dalam buku berjudul, “Melawan Lupa, Menepis Stigma” (2015), awal mula Ibarruri masuk jadi siswa di salah satu sekolah elit Uni Soviet setelah perkenalan ayahnya dengan pejabat-pejabat komunis berpengaruh di sana.
Ayah Ibarruri (Aidit) kemudian mengirim anaknya ke Soviet untuk belajar. Ia menempuh pendidikan di sekolah elit keluarga pemimpin partai (nomenklatur) yang terletak sekitar 40 kilometer dari luar kota Moskow.
Semenjak menginjakkan kaki pertamanya di Uni Soviet, Ibarruri Putri Alam merasa tak cocok dengan pergaulan orang-orang di sana. Hal ini yang membuatnya tak betah tinggal di Moskow.
Ketidaknyamanan tinggal di Moskow terjadi karena ada persinggungan antara blok komunis Asia dan Eropa. Persoalan ini menimpa Ibarruri karena berasal dari Asia dan ayahnya ketua partai komunis yang paling dekat dengan pemimpin komunis China Mao Zedong.
Kendati tak begitu betah tinggal di negara bersalju paling dingin seantero Eropa ini, Ibarruri tetap bertekad menyelesaikan studi dengan baik dan memuaskan untuk memenuhi amanat dari ayahanda tercinta.
Baca Juga: Kisah Pencarian Pusara DN Aidit, Ditemukan di Tempat Sampah?
Namun semangat ini patah seketika tatkala Aidit ditembak mati akibat peristiwa G30S/PKI 1965 di Jakarta. Saat mendengar kabar itu Ibarruri semakin yakin tidak menetap lagi di Soviet dan mengajukan pindah tempat tinggal di China. Pemerintah Soviet baru mengabulkan permohonan tersebut pada tahun 1970.
Menjadi Mahasiswa Kedokteran di China
Setelah administrasi kepindahannya dari Uni Soviet ke China selesai, Ibarruri Putri Alam mendaftarkan diri menjadi Mahasiswa kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri China.
Ibarruri di China nampaknya begitu banyak menemui kegembiraan. Tak seperti di Uni Soviet, di China ia cenderung menikmati masa-masa sekolah dan mulai melupakan kesedihan atas berpulangnya sang ayah.
Bahkan dalam buku biografinya berjudul, “Kisah Pengembaraan Ibarruri Putri Alam, Anak Sulung DN. Aidit” (2015), Ibarruri sendiri mengaku pemerintah komunis di China memperlakukan dirinya seperti anak pemimpin besar China: Mao Zedong.
Bahkan ia sering main-main ke tempat bekerja Mao sebagai pemimpin China. Pemimpin RRC tersebut juga pernah menulis sajak untuk Aidit sebagai bentuk penghormatan terakhir dari teman seperjuangannya.
Setelah Ibarruri lulus dari jurusan kedokteran di China, pemerintah komunis di sana kemudian menugaskan Ibarruri sebagai dokter ke beberapa negara persahabatan antara lain di Macao, Myanmar, dan Prancis.
Selain bekerja menjadi dokter umum, Ibarruri juga terkenal sebagai tenaga medis yang ringan badan. Apapun tugas kesehatan ia lakukan termasuk menjadi dokter sekaligus perawat panti jompo “aide-soignate” di Paris sampai dengan tahun 1979.
Baca Juga: Kisah DN Aidit, Remaja Agamis yang Jadi Tokoh PKI
Menjadi Eksil dan Memilih Tinggal di Paris
Hingga detik ini Ibarruri Putri Alam menjadi salah satu dari eksil, atau warga negara Indonesia yang terbuang akibat peristiwa politik G30S/PKI 1965.
Ia memilih eksil dari tanah air karena khawatir akan menjadi tahanan karena anak sulung dari gembong PKI Aidit. Ibarruri pun terlanjur nyaman hidup di Eropa, sebab di Paris masyarakat mencintai perdamaian dan bisa memaafkan segala peristiwa masa lalu sekalipun “berdarah-darah”.
Di Paris, Ibarruri juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial berbasis kesehatan. Karena berlatar belakang seorang dokter Ibarruri senang dengan kegiatan merawat pasien di luar jam praktek, menjadi pelayan panti jompo, dan memberikan sosialisasi kesehatan lainnya.
Ibarruri hidup di Prancis bersama dengan suami orang Indonesia bernama Budiman Sudharsono. Namun suaminya meninggal lebih dulu pada tanggal 5 Februari 1998 akibat kecelakaan kereta api di Paris.
Setahun Budiman meninggal, Ibarruri memberanikan diri untuk pulang ke Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun tak menginjakan kaki di tanah air.
Kendati begitu ia pulang menggunakan paspor sebagai warga negara asing. Ibarruri mengaku masih cinta pada Indonesia, sebab seenak-enaknya hidup di Paris ia tetap merasa jadi ” Anak angkat” Orang-orang Eropa. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)