Gerakan Rifa’iyah adalah protes sosial yang terjadi di Karesidenan Pekalongan pada pertengahan abad ke-19. Gerakan sosial berbasis organisasi Islam ini lahir karena ajaran Rifa’iyah yang identik dengan wahabi.
Semua orang yang bertentangan dengan syarikat Islam akan “dicap musuh”. Ajaran ini tak cocok berkembang di Hindia Belanda, apalagi kala itu Karesidenan Pekalongan sudah menjadi dominasi kelompok Islam tradisional. Ajaran Islam yang telah mengalami sinkretisme dengan pengaruh leluhur sejak zaman Hindu-Budha.
Kendati menjadi musuh Islam tradisionalis di Karesidenan Pekalongan, gerakan Rifa’iyah ini ternyata punya tujuan mulia yaitu memusuhi bersama pemerintah kolonial.
Baca Juga: Syekh Palsu Snouck Hurgronje, Siasat Belanda Kalahkan Rakyat Aceh
Pengikut Rifa’iyah gencar mempengaruhi massa untuk benci pada pemerintah Hindia Belanda, termasuk dengan pejabat lokal dari golongan pribumi.
Peristiwa ini menunjukan bahwa gerakan Rifa’iyah telah membina mental pribumi yang tertindas dan beriman kepada Allah SWT, sehingga kekuatan mereka muncul secara kolektif (bersama-sama) saling memusuhi kolonial. Hal ini menunjukan pula protes sosial yang sebentar lagi bisa mengarah pada sebuah pemberontakan.
Gerakan Rifa’iyah Memusuhi Kafir-Kafir Belanda
Menurut Nor Huda dalam buku berjudul, “Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia” (2015), gerakan utama Rifa’iyah adalah memusuhi kafir-kafir Belanda dari tanah Jawa. Mereka tidak ingin melihat keburukan terus merajalela di basis Rifa’iyah.
Oleh sebab itu cepat atau lambat kemunafikan para kafir-kafir Belanda harus musnah. Namun cara gerakan Rifa’iyah tidak mainstream seperti Perang Jawa (Diponegoro) dan Perang Padri di Sumatera Barat yang konfrontatif. Para pengikut Rifa’iyah hanya mendoktrin massa untuk menjadi Muslim yang taat.
Peristiwa ini berawal dari pulangnya pemimpin gerakan tersebut yakni Kyai Rifai dari Haramyan setelah belajar selama 8 tahun pada ulama-ulama besar di Mekkah. Karena saat itu gencar gerakan Wahabi, nampaknya Rifai terpengaruh oleh gerakan tersebut.
Hingga pada akhirnya ia pulang ke Jawa dan menyebarkan ajaran Rifa’iyah. Ajarannya cenderung unik dan baru, sebab gerakan Rifa’iyah merupakan sebuah protes sosial dari hasil elaborasi gerakan budaya dengan gerakan agama tradisional. Maka dari itu tidak konfrontatif yang mengarah pada kekerasan.
Gerakan Rifa’iyah lahir dari hasil mengakuisisi pengikut Islam tradisionalis dan mengajarkan paham Islam yang baru pada mereka. Paham baru itu isinya adalah fanatisme yang mengarah pada ajaran jihadis.
Jadi Belanda dan tokoh Islam tradisionalis khawatir hal ini bisa jadi bom waktu untuk rakyat Jawa terutama yang ada di daerah Karesidenan Pekalongan dan sekitarnya.
Gerakan Rifa’iyah terkenal cepat memperoleh pengikut, mereka berhasil memperoleh sebagian rakyat Karesidenan Pekalongan dalam waktu kurang dari 1 tahun.
Basis Gerakan Rifa’iyah yang Meresahkan Kolonial
Menurut Ahmad Adaby Darban dalam buku berjudul, “Rifa’iyah, Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah 1850-1982” (2004), gerakan Rifa’iyah pertama kali muncul pada tahun 1850 di desa Kalisalak, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dahulu daerah ini masuk dalam wilayah kekuasaan Karesidenan Pekalongan.
Baca Juga: Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil, Percobaan Kudeta yang Gagal
Daerah pedesaan merupakan sasaran utama Rifai untuk menyebarkan gerakan Rifa’iyah. Masyarakat desa cenderung mudah terpengaruh oleh ajaran baru asal tujuannya membela hak mereka. Gerakan Rifa’iyah muncul sebagai ksatria piningit atau kelompok yang berpihak pada rakyat kecil.
Salah satu keberpihakan gerakan ini antara lain memusuhi kebijakan kolonial. Gerakan Rifa’iyah melakukan protes sosial sebagai dorongan untuk merealisasikan hasil pemikiran Islam. Kyai Rifai ingin masyarakat bersih tidak tercemar oleh kebudayaan kosmopolit yang berbau kafir.
Pemimpin gerakan Rifa’iyah kelahiran 1789 di desa Tempuran, Kabupaten Kendal ini merupakan sosok yang idealis. Selain karena pengalaman yang luas karena sempat belajar di Haramayn, ia juga merupakan cucu penghulu landraad Kendal yang taat beragama yaitu, R.K.H. Abu Sujak alias Sutedjowidjojo.
Tak heran gerakan Rifa’iyah muncul menjadi sebuah fenomena langka yang memprotes kolonial atas dasar “tuntutan memusnahkan kaum kafir”. Hal ini tidak lain karena Rifai sudah terdidik oleh ajaran Islam yang ketat dari kakeknya yang juga seorang tokoh agama di Kendal.
Terjerat Hukum Kolonial: Rifai Diasingkan ke Ambon
Awalnya gerakan Rifa’iyah menentang praktik Islam sinkretis dan mengkritik ulama birokrat yang moderat dengan pemerintah kolonial. Namun lama kelamaan gerakan protes sosial ini jadi peluru membahayakan bagi sistem pemerintahan kolonial di Karesidenan Pekalongan.
Salah satu kritik Rifai untuk ulama moderat terhadap kolonial antara lain yaitu, “Ulama yang ikut membantu pemerintahan Belanda, maka ikut bertanggung jawab atas kebobrokan moral umat Islam”.
Kritik ini menuai kontroversi di kalangan para Ulama tradisionalis. Mereka tidak nyaman dengan ungkapan Rifai seperti itu, selain menuai fitnah hal itu juga bisa membuat pengikut Islam tradisionalis menyimpang ke ajaran mereka.
Mereka akhirnya melapor pada pemerintah kolonial untuk menindak Rifai dan gerakan Rifa’iyah. Laporan ini ada di kantor penghulu Kaliwungu yang kemudian tembus beberapa hari ke kantor kolonial di Karesidenan Pekalongan.
Baca Juga: Sejarah Penghulu Zaman Belanda, Hakim Pengadilan Islam yang Tergeser Hukum Kolonial
Mendengar berita ini pemerintah kolonial tidak menanggapi secara serius. Mereka kira ini adalah permasalahan internal antara ulama dengan ulama. Tentu masalah sepele itu seharusnya selesai di meja penghulu tidak perlu sampai tembus ke karesidenan.
Namun tak sangka gerakan Rifa’iyah semakin meluas. Salah satunya ketika pengikut Rifai tidak menaati dan mengakui Kepala Pribumi yang terpilih berdasarkan titah Belanda.
Tindakan ini merupakan bentuk melawan pemerintahan alias makar. Tak lama setelah peristiwa ini terjadi, pemerintah kolonial mengasingkan Rifai ke Ambon pada tahun 1859.
Menurut catatan kolonial Rifai wafat di Ambon pada usia 73 tahun yakni setelah 26 tahun berada di tanah pengasingan. Selain karena usia yang tak lagi muda, penyebab wafat sang pemimpin Rifaiyah adalah beban pikiran telah memperburuk kondisi tubuhnya. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)