Bulan Januari merupakan waktu berduka bagi trah Mataram yang membela Perang Jawa (1825-1830). Pasalnya pada bulan ini pemimpin Perang Jawa yaitu Pangeran Diponegoro wafat di Makassar. Akhir hayat Pangeran Diponegoro dilewati di Makassar, konon ia sempat terkena penyakit malaria.
Semenjak sehat dan masih kuat seperti pemuda berdarah biru, Pangeran Diponegoro tidak pernah menunjukkan kekalahannya pada Belanda. Meskipun pada kenyataan ia sudah tertangkap dan sedang menuju ke tempat pengasingan pertamanya di Manado.
Di atas geladak kapal pesiar ia tetap melawan Belanda. Diponegoro selalu menyinggung perasaan pengawal Gubernur Jenderal yang mengantarkannya ke Manado dengan menanyakan soal kebiasaan buruk apa saja yang mereka sering perbuat?
“Apakah budaya mengasingkan pemberontak menjadi agenda rutin pemerintah kolonial?” ucap Diponegoro. “Jika begitu berapa banyak orang yang tak percaya dengan Belanda?”
Bangsa Indonesia ingin merdeka dari Belanda, Diponegoro selalu mengajukan pernyataan itu di atas kapal pesiar. Sebagai seorang pahlawan sejati bahkan ia sempat menawarkan Belanda agar segera insyaf karena sebentar lagi mereka bisa terkena dampak buruk. Ya bangsa ini akan segera merdeka, Diponegoro yakin akan hal itu.
Baca Juga: Biografi Pangeran Diponegoro dan Sejarah Perang Diponegoro
Namun sampai akhir hayatnya tiba, Pangeran Diponegoro tidak sempat mengenyam kemerdekaan. Ironisnya ia wafat di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Diponegoro mangkat pada usia 69 tahun di Makassar.
Akhir Hayat Pangeran Diponegoro, Sakit-sakitan di Perjalanan Menuju Makassar
Menurut Basuki Heru dalam buku berjudul, “Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah” (2007), Pangeran Diponegoro sudah sakit saat berada di perjalanan menuju tempat pengasingannya yaitu ke Makassar.
Pada usia 69 tahun sakit-sakitan merupakan usia yang wajar, mengingat kondisi tubuh yang semakin renta dan riskan terkena penyakit. Begitupun dengan keadaan Diponegoro saat berada di atas kapal. Catatan kolonial menyebut Diponegoro sempat muntah-muntah akibat mabuk laut dan terkena penyakit malaria.
Malaria adalah penyakit yang sering menimpa orang tua kita zaman dulu. Konon penyakit malaria sulit sembuh dan sangat mematikan. Dulu belum ada vaksin dan obat mujarab untuk mengatasi penyakit tersebut. Hal ini tentu membuat seisi geladak kapal yang berasal dari keluarga Diponegoro panik.
Terutama istri dan anak-anaknya, mereka panik dan khawatir nyawa sang ayah dan suami tidak tertolong. Namun karena kuasa Tuhan yang Maha Esa, sampai tiba di Manado kondisi fisik Diponegoro masih kuat.
Perjalanan mengasingkan Diponegoro berhenti sementara di Manado. Karena berbagai urusan administrasi Belanda untuk menempatkan Diponegoro tinggal di Makassar, ajudan resmi Gubernur Jenderal Van den Bosch bernama Leutenant Knooerle memastikan dokumen dalang Perang Jawa ini pada syahbandar di Manado.
Baca Juga: Sejarah Gelar Erucakra, Populer Sejak Zaman Pangeran Diponegoro
Tidak Memperlihatkan Ekspresi Kekalahan
Kendati sedang sakit dan mengalami banyak persoalan karena penangkapan Diponegoro 28 Maret 1830 menyebabkan pembuangan ke Makassar, sebagai seorang pahlawan pembela bangsa sejati, ia sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi kekalahan.
Sebagaimana lukisan Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) yang memperlihatkan ekspresi tubuh Diponegoro yang memberontak saat tertangkap Belanda, sebetulnya ini bagian dari jiwa patriot orang Jawa yang memusuhi Belanda.
Tak tanggung-tangguh bahkan Diponegoro sempat berdebat adu argument dengan Leutenant Knooerle (ajudan Van den Bosch) tentang kebijakan hukum pembuangan. Menurut Diponegoro hukuman ini justru akan memancing banyak Perang Jawa lainnya di tanah Hindia.
Akan lahir Diponegoro-Diponegoro muda nanti yang bisa menenggelamkan eksistensi Belanda. Mereka saat ini sedang memupuk kekuatan, salah satunya berguru dan mencontoh peristiwa pembuangan dirinya ke Makassar.
Namun dengan nada pelik, Leutenant Knooerle menjawab seperti berikut: “harusnya Tuan bangga karena umur tuan saat “diasingkan” sama seperti umur Napoleon”.
Pangeran Diponegoro Wafat Bulan Januari
Ketika kapal Diponegoro tiba sementara di Manado pada 12 Juni 1830, keadaan fisik sang pangeran sedang jadi pesakitan. Namun seiring dengan adaptasi wilayah, cuaca, dan keadaan alam tubuh pria bersorban di kepala ini kembali prima.
Diponegoro menghabiskan waktu selama 3 tahun di Manado, pemerintah kolonial menarik kembali pasukan Diponegoro ke Makassar. Pada tahun 1833 Belanda menempatkan Diponegoro di sebuah penjara khusus, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam.
Kegiatan sehari-hari di penjara Diponegoro dihabiskan dengan membuat manuskrip sejarah. Ia juga produktif menulis sejarah hidupnya yang saat ini kita kenal dengan istilah “Babad Diponegoro”.
Namun ini semua tak berjalan lama. Setelah ia berhasil menuntaskan Babad Diponegoro, tepat pukul 06.30 waktu Makassar sang pangeran Perang Jawa wafat pada tanggal 8 Januari 1855.
Baca Juga: Babad Kedung Kebo, Sastra Mataram Diponegoro Mencari Wangsit
Hal ini membuat semua trah Diponegoro hancur, mereka sedih dan bingung harus ke mana arah perjuangan melawan Belanda tanpa sang pemimpin.
Meskipun demikian semangat Diponegoro tetap membara di kalangan para pejuang bangsa zaman revolusi. Bahkan namanya kerap kita temukan dalam arsip-arsip revolusi fisik sebagai penyemangat laskar dan pejuang republik saat mempertahankan kedaulatan tahun 1945-1950.
Saat ini makam Pangeran Diponegoro berada di Makassar. Saking ramai pengunjung yang ziarah ke tempat ini, Makam Diponegoro menjadi tempat wisata sejarah yang letaknya tak jauh dari pasar sentral Makassar. Nisan sang Pangeran bersebelahan dengan istrinya R. A. Retno Madubrongto yang meninggal pada tahun 1885. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)