Achdiat Karta Mihardja merupakan seorang Begawan sastra yang terkenal pasca Perang Dunia II. Namanya muncul dalam berbagai media dan surat kabar Nasional. Achdiat tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai penulis novel Atheis yang bisa menggambarkan keadaan politik dan sosial Indonesia pada tahun 1950-an.
Begawan sastra pasca Perang Dunia II ini lahir pada tanggal 6 Maret 1911 di Cibatu Garut, Jawa Barat. Sebelum terkenal sebagai sastrawan terkemuka, pemilik nama pena Achdia K. Mihardja pernah menempati posisi pekerjaan di berbagai tempat terkenal di Jakarta.
Seperti tidak ingin melacurkan keahlian, Achdiat masih bekerja dalam ranah kepenulisan. Ia pernah menjabat sebagai Redaktur untuk beberapa media cetak dan menjadi pegawai Balai Pustaka.
Baca Juga: Syekh Muhammad Djamil Djambek, Mubaligh Pertama di Indonesia
Pengalamannya dalam dunia keredaksian itulah membuat keahlian menulis Achdiat semakin tajam, hingga pada tahun 1949 ia menerbitkan novel terkenalnya berjudul, Atheis.
Karya sastra Achdiat yang berjudul Atheis banyak mendapatkan sorotan dari berbagai pihak dan kalangan penting negara.
Selain memperoleh minat baca yang hebat, novel Atheis sempat diangkat menjadi film oleh sutradara terkenal Sjumandjaja pada tahun 1974.
Isi novel Atheis adalah gambaran seorang pemuda yang terpengaruh oleh paham Marxism-Leninism yang mempertanyakan tentang kebenaran adanya Tuhan.
Profil Achdiat Karta Mihardja, Orang Garut Jadi Begawan Sastra
Menurut Ensiklopedia Indonesia berjudul, “Achaia-Acheson” (1950), Achdiat Karta Mihardja adalah Begawan Sastra dari tanah Sunda.
Sebagai orang Sunda di desa terpencil Garut alias Cibatu, Achdiat mulai gemar dan mendalami karya sastra. Hal ini tercermin dari minat membaca Achdiat yang kencang daripada anak usia 10 tahun umumnya.
Karena kecintaan membaca karya sastra, Achdiat yang berasal dari keluarga petani sederhana meminta ayahnya untuk menyekolahkan Achdiat remaja di sekolah sastra. Ayah Achdiat menyanggupi itu, ia lalu bersekolah di Sekolah Menengah Sastra dan Kebudayaan Timur pada tahun 1932.
Setamat dari sekolah sastra Achdiat berprofesi sebagai pengajar. Ia menjadi guru sastra Indonesia yang menyenangkan karena menganggap setiap muridnya sebagai teman.
Setelah bosan dengan kerja-kerja guru, ia beralih profesi menjadi anggota redaksi dan pegawai Balai Pustaka.
Pada puncaknya, Achdiat Karta Mihardja berkarir sebagai penulis. Tulisan novel Achdiat yang berjudul “Atheis” begitu laris di pasaran. Seluruh kalangan pecinta sastra membeli karya Achdiat, mulai dari tukang becak sampai pejabat tinggi negara tak ingin ketinggalan membaca novel Achdiat.
Baca Juga: Kretek Haji Agus Salim dan Sindiran untuk Pangeran Philip
Saking derasnya minat pembaca novel tersebut akhirnya Sjumandjaja si sutradara terkenal Indonesia mengangkat kisah dalam novel “Atheis” menjadi sebuah film dengan judul yang sama. Respon penonton gembira, mereka bisa melihat alur cerita dengan layar visual yang semakin nyata.
Film “Atheis” menggambarkan situasi politik pada tahun 1950-an yang banyak drama. Kenapa banyak drama? Ya, karena pada tahun itu Indonesia sedang mengalami kepanikan demokrasi.
Sukarno takut dengan kekuatan partai lain selain PNI menang, saat itu kebetulan partai kiri seperti PSI dan PKI sedang naik daun.
Karena Sukarno dekat dengan PKI tapi tidak dengan PSI maka partai Sutan Sjahrir itu dibubarkan secara paksa oleh Sukarno.
Peristiwa ini sebagian besar diangkat oleh Achdiat. Kejadian pilu sesama ideologi kiri dan tidak percaya akan Tuhan namun tetap kalah saing karena kedekatan Sukarno dengan PKI lebih kuat dari pada PSI.
Ketika Orang Garut jadi Guru Besar Sastra di Australia
Pada tahun 1961 Achdiat Karta Mihardja mendapatkan penghargaan dari Universitas Nasional Australia dengan mengangkatnya jadi guru besar sastra Indonesia di sana.
Tanpa basa-basi Achdiat yang merasa dikhianati oleh Sukarno karena membubarkan PSI memilih untuk menjadi dosen dan tinggal permanen di Australia.
Achdiat mantan Nasionalis-Kiri mendadak ingin jadi Warga Negara Asing (WNA) dan tidak mau kembali ke tanah air. Ia kecewa dengan sikap Sukarno yang dekat dengan PKI, sedangkan ia ingin Sukarno dekat dengan PSI.
Achdiat menilai Sukarno seperti kacang lupa kulitnya. Artinya dari dulu dekat dengan PSI (Sjahrir) namun khilaf dan memilih jalan keras dengan PKI sampai tahun 1965.
Kendati kecewa dan tidak ingin ke tanah air, Achdiat tetap bangga dengan Indonesia. Ia merasa menjadi Begawan Sastra di tanah kelahirannya sendiri, Indonesia.
Di Australia Achdiat terus menulis dan berkarya, meski umurnya yang tak lagi muda, tidak menyurutkan semangatnya untuk berhenti menulis.
Karena produktifitas menulis sastra, pada tahun 1971 Achdiat Karta Mihardja mendapatkan penghargaan sastrawan terbaik dari Dewan Kesenian Indonesia. Panitia penganugerahan itu menggelari Achdiat sebagai sastrawan terbaik anak bangsa.
Baca Juga: Sejarawan Ong Hok Ham dan Tulisannya yang Bikin Naik Darah Mafia Orba
Di penghujung umur yang hampir menginjak usia 90 tahun, pada 2005 silam Achdiat menerbitkan novel terbarunya berjudul, Manifesto Khalifatullah. Konon novel ini merupakan pledoi (pembelaan diri) dari tuduhan orang-orang yang menyangka Achdiat sebagai orang Atheis.
Meninggal di Australia pada Usia 99 Tahun
Di sela-sela melanjutkan tulisan tentang Otobiografinya sendiri, Achdiat si Begawan Sastra terserang penyakit Stroke pada tahun 2009. Medis terpaksa membatasi kegiatan Achdiat dengan tidak terlalu keras bekerja dan menulis proyek Otobiografinya.
Ia mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit Australia. Namun karena kondisi fisik yang sudah renta tak memungkinkan Achdiat bisa bangkit sehat seperti sebelumnya. Sampai pada pertengahan tahun 2010 Achiat kalah.
Begawan Sastra asal Cibatu itu meninggal dunia pada tanggal 8 Juli 2010 di Cancaberra Australia. Banyak kenangan berharga yang belum tersampaikan Achdiat dalam tulisan Otobiografinya. Bahkan ia terakhir kali menginjakkan kaki di tanah air sejak tahun 2005.
Meskipun Otobiografi Achdiat tidak selesai, pemerintah Indonesia menghargai jasa dan kepiawaiannya dalam dunia sastra dengan mengangkat film Atheis menjadi film terbaik anak bangsa.
Achdiat Karta Mihardja tak lekang seperti para penulis besar dunia yang menghabiskan seluruh waktu hidupnya hanya untuk sastra. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)