Banjir bandang di Padaherang wilayah Pangandaran pada tahun 1939 merupakan awal terjadinya peristiwa wabah malaria di Priangan Timur. Wabah pertama kali muncul di Padaherang, beberapa wilayah di Selatan pun ikut terkena dampaknya.
Bahkan di Pangandaran korban akibat malaria banyak berjatuhan. Di daerah Kalipucang, wabah ini menjadi masalah paling utama.
Kematian selalu membayang-bayangi masyarakat di sana. Hampir seluruh pekerja kereta api di Kalipucang jadi korban malaria.
Konon mencuatnya kasus malaria yang tinggi di daerah Priangan Timur terjadi karena fenomena bencana alam yang tak selesai-selesai.
Baca Juga: Sejarah Pangandaran Pasca Pendudukan Jepang, Pemerintahan Pindah dari Ciamis ke Cilacap
Banjir di Padaherang pada tahun 1939 menyebabkan timbulnya beberapa genangan air yang tak surut-surut hampir 1 minggu lamanya.
Selain menimbulkan penyakit, banjir bandang tersebut juga menjadi masalah utama pemerintah kolonial.
Sebab selain harus memperbaiki sanitasi kesehatan masyarakat, pemerintah Belanda juga perlu merehab beberapa pembangunan vital yang rusak akibat terendam banjir.
Sejarah Banjir di Padaherang Pangandaran Penyebab Malaria Tahun 1939
Menurut koran belanda berjudul “De Noord-Ooster: Bandjir in Preanger” tanggal 17 Juli 1939, fenomena bencana alam (banjir) di Padaherang melatar belakangi terjadinya wabah malaria.
Penyakit mematikan ini tersebar hingga ke beberapa daerah termasuk Bandjar, Paledah, Kalipoetjang, dan Pangandaran.
Pemerintah bagian kesehatan Belanda menduga banyaknya kasus malaria di daerah-daerah tersebut terjadi karena timbulnya genangan air akibat banjir.
Bahkan genangan air ini muncul ke permukaan tanah hingga lama. Koran Belanda tadi mengatakan hampir satu minggu air banjir tak terserap tanah.
Hal ini menyebabkan kualitas air jadi kotor, bau, dan terkontaminasi. Akibatnya genangan air itu jadi sarang nyamuk malaria. Serangga kecil nan mematikan itu berkembang biak dengan sempurna.
Setelah 1 minggu air tak terserap tanah, telur malaria itu berubah menjadi nyamuk berbahaya. Banyak korban yang tewas akibat sengatan nyamuk tersebut.
Korbannya menyebar tidak hanya di Padaherang, tetapi juga memicu munculnya malaria di Ciamis sampai ke Tasikmalaya.
Selain karena malaria, genangan air yang lama tak terserap tanah di Padaherang jadi penyebab kerusakan gedung-gedung pemerintah kolonial.
Alhasil pemerintah negeri jajahan tersebut mengalami banyak kerugian, mengutip koran Belanda, mereka rugi hingga f. 350.000,- biaya paling mahal untuk memperbaiki tanggul yang jebol.
Malaria Menyebar ke Beberapa Wilayah
Koran Belanda mengatakan wabah malaria di Padaherang telah memicu timbulnya penyakit tersebut di Ciamis dan Tasikmalaya. Awalnya terjadi dari titik persebaran pusat di Padaherang, Bandjarsari, Bandjar, Ciamis, dan Tasikmalaya.
Sementara ke arah Selatan, wabah malaria menyebar dari arah pusat Padaherang, Paledah, Tjiawitali, Kalipoetjang, dan Pangandaran. Kendati menyebar sampai ke Ciamis dan Tasikmalaya, catatan kolonial melaporkan paling banyak korban karena malaria ada di daerah Kalipoetjang.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Pendek di Pangandaran, Tumbuhan Langka Ditemukan Pensiunan ABRI
Hal ini terjadi karena daerah tersebut merupakan rawa-rawa yang kotor. Banyak genangan air yang bisa menjadi penyebab perkembangbiakan nyamuk malaria dengan cepat.
Akibatnya puluhan hingga ratusan korban berjatuhan. Korban malaria mendominasi pegawai pembangunan jalan kereta api arah Bandjar-Pangandaran.
Selain karena keadaan alam dan iklim (musim hujan), penyebab malaria “menggila” di Kalipoetjang terjadi akibat keadaan sanitasi yang buruk. P
eristiwa ini kemudian membuat perekonomian masyarakat sekitar kacau, selain ada wabah malaria, masyarakat di Kalipoetjang juga sempat kena wabah kelaparan.
Malaria di Padaherang Menjadi Berita Nasional
Peristiwa terjadinya wabah malaria di Padaherang nampaknya tersebar ke beberapa daerah di Hindia Belanda. Bahkan kejadian memilukan ini sempat menjadi berita Nasional yang menggemparkan wilayah di Priangan Timur.
Salah satu berita Nasional yang mengabarkan Malaria di Padaherang terjadi dalam koran Belanda berjudul “De Locomotief: De Overstroominge in Bandjarsari” tanggal 14 Agustus 1939.
Baca Juga: Sejarah Pariwisata Pangandaran, Populer karena Mudahnya Transportasi
Menurut berita ini, tak jauh dari Bandjarsari (Padaherang) merupakan tempat awal merebaknya wabah Malaria di Priangan Timur.
Koran ini mengabarkan keadaan sanitasi buruk akibat banjir melatar belakangi timbulnya penyakit wabah malaria.
Sengatan nyamuk ini membahayakan semua orang, bahkan selain bisa menimbulkan demam berdarah, malaria juga cepat menyebarkan virus berbahaya dalam tubuh manusia dan mematikan.
Masyarakat di seluruh Priangan Timur bereaksi. Mereka khawatir wabah malaria dari Padaherang bisa mendominasi wilayahnya.
Saat itu belum ada teknologi pencegahan malaria seperti sekarang, mereka hanya percaya pada ramuan tradisional yang belum tentu bisa mengendalikan malaria.
Bahkan mereka sering membawa sanak keluarga yang kena malaria ke dukun. Masyarakat di Priangan Timur kala itu lebih mempercayai dukun ketimbang dokter. Lagi pula saat itu belum banyak dokter yang bisa melayani pribumi dengan baik.
Perkiraan buruk itu menjadi kenyataan. Bahkan daerah Ciamis pernah jadi sasaran seluruh masyarakat Garut-Bandung. Mereka menduga daerah itulah yang menjadi penyebab awal malaria meluas ke seluruh wilayah di Priangan Timur. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)